Chapter 4

24 4 4
                                    

BRING ME TO MOVIE 4

To: Nara

Bentar lagi gue mati kayaknya. Gue mau ngasih wasiat, tolong bayarin hutang lengko di warung bu Wena. Ada yang ngikutin gue dari tadi, kayaknya bawa pisau, tolong panggil Pak Rtnsjfnbshgsufssss

Merasa sosok itu terus mengikutinya, Nana berlari kencang mencari tempat ramai agar bisa meminta tolong. Sayangnya itu tidak mudah, lorong gang yang ia lewati malah terasa sangat jauh. Sosok di belakangnya pun ikut berlari lalu menarik sebelah tangannya cukup kuat. Nana menjerit sekuatnya sembari menutup mata tidak sanggup melihat si pelaku. Saking takutnya, ia sampai kembali menangis sesegukan. Ponsel yang ia genggam terjatuh begitu saja.

"Buka matanya pelan pelan, jangan takut. Ini gue, yang tadi siang rela minjemin bahunya buat lo tidur."

Nana membuka matanya sekaligus tidak mengikuti intruksi si penguntit. Jarak wajah masing masing lumayan dekat sehingga Nana harus menahan napas dan diam sebentar. Kalau saja tangannya tidak langsung digenggam oleh si penguntit, dia sudah roboh karena terserang ketampanan yang tidak manusiawi. Sekarang Nana malah ingin tertawa miris karena pernah mengagungkan Roy.

"Lo ... nggak papa?" Dia memiringkan kepala menelisik ekspresi Nana. Sekali pun si penguntit sangat tampan hampir menyerupui Beomgyu, tetapi ia tidak bisa memaklumi tingkahnya yang membuat jantungan. Menarik dua tali hoodie-nya, Nana menalikannya gemas hingga kepala hoodie-nya mengerucut menenggelamkan wajah tampan itu.

"Makan tuh nggak papa!" hardik Nana masih menyimpan dendam kesumat. Setelah melewati kejadian menegangkan sampai ia harus berlari di tengah malam, Nana merobohkan diri di aspal. Kakinya lemas, jantungnya pun memompa darah lebih cepat. "Lo siapa sih? Kenapa ngikutin gue kayak penguntit?"

"Gue nggak ngikutin lo," ucapnya singkat ikut berjongkok di depan Nana seraya menjulurkan minuman dingin dari saku hoodie-nya.

"Terus?"

"Gue lindungin lo." Berhubung Nana tidak kunjung menerima pemberiannya, Ergaz membuka tutup botol minuman lalu memberikannya pada Nana yang langsung diterima kasar. Nana memalingkan wajah seraya meneguk rakus minuman pemberian Ergaz.

"Nggak lucu." Nana bersendawa. Setelah meneguknya hingga tandas, ia mengembalikan botol kosong itu kepada Ergaz sebagai bukti kekesalan.

"Iya nggak lucu, buktinya lo marah marah."

"Diem lo jelek, jangan nyaut mulu. Gue lagi emosi," hardik Nana geregetan.

"Tapi bahu gue nyaman kan buat tidur? Tadi siang lo ngiler loh, bajunya udah gue museumkan buat kenang kenangan masa tua," balas Ergaz tersenyum manis.

Seketika mulutnya menganga lebar menatap Ergaz meminta penjelasan. "Jadi ... gue beneran nggak mimpi?" Nana bergumam tidak sadar.

"Saking nyamannya sampe kebawa mimpi, ya?" Ergaz bangun diikuti oleh Nana.

"Tapi ... lo beneran yang nyamperin gue di taman? Serius?" Nana mengikuti langkah Ergaz dari belakang seraya menahan ujung hoodie-nya seperti bocah sedang dipandu oleh sang induk. Buru buru menggelengkan kepala, Nana menyangkal semua ucapan ngaco Ergaz. "Nggak mungkin, yang nyamperin gue itu pangeran surga, kenapa yang tiba tiba ngaku malah pawang setan?" Nana sibuk berceloteh seorang diri.

Sebenarnya Ergaz sedang menahan senyum saking gemasnya, karena tidak tahan, ia berbalik seraya meniup dua jari jempol dan telunjuknya sekedar memberi kekuatan sebelum menyentil dahi Nana kuat.

"Sakit begoo. Kita orang asing, ya? Nggak saling kenal. Lo jangan kurang ajar," teriak Nana memegangi dahinya yang perih.

"Lo gemes banget."

"Gue emang gemesin!"

"Ya jangan nyolot."

"Lo yang bikin gue nyolot!"

Keduanya beradu mulut. Sebelumnya Ergaz tidak pernah bersikap sefrontal ini kepada orang lain termasuk keluarga sekali pun. Bertemu dengan Nana entah kenapa membuatnya nyaman berinteraksi sesuka hati.

"Nggak baik cewek keluyuran malam malam gini. Ayo gue anter pulang," Tanpa berbalik, Ergaz menjiwir ujung lengan hoodie Nana seperti sedang membawa anak kucing.

"Jangan modus!"

"Siapa yang modus? Kalau gue nggak liat ada cowo aneh yang ngikutin lo, gue juga nggak bakal peduli," ucap Ergaz menarik Nana ke sisinya. Seketika Nana celingukan ke segala arah ingin membuktikan ucapan Ergaz. Bulu kuduknya mengacung otomatis karena takut. Dibanding iblis, dedemit dan segala antek-anteknya, Nana lebih takut kepada manusia tanpa otak dan moral.

Melirik Nana yang tiba tiba diam, Ergaz terkekeh. "Makanya jangan keluyuran malem malem, ayok gue anter balik. Nggak usah ngerasa istimewa, ya. Gue itu penyayang ke seluruh wanita."

"Dih sok paling cakep aja lo." Berhubung jam tangannya menunjukan pukul 22.45 dan jalan menuju apartemennya sudah sangat sepi. Mau tidak mau, Nana harus meruntuhkan gengsi untuk tetap mengikuti langkah Ergaz di depannya.

Hening. Keduanya berjalan seiringan tanpa obrolan menemani. Nana masa bodoh, tidak mau repot membuka percakapan. Untuk saat ini ia hanya ingin pulang cepat dan selamat. Dari kejauhan, terlihat seorang perempuan berlari tergesa gesa ke arahnya dengan penampilan acak acakan. Nana tertegun seraya menyipitkan mata agar bisa melihat dengan jelas. Sedangkan Ergaz mengernyitkan kening dan melirik Nana.

"Lo kenal?" tanya Ergaz mengode pada sosok berantakan di kejauhan sana.

"Nana! Lo nggak papa? Siapa yang ngikutin lo sambil bawa pisau? Ada yang luka? Katanya lo mau mati, kenapa sekarang masih napas?" Nara memeriksa seluruh tubuh Nana dari atas sampai ke bawah dan dari depan ke belakang. Alih alih langsung menjawab, Nana bingung harus menjelaskan dari mana terlebih dulu.

"Ra!"

"Siapa nih cowok? Atau jangan jangan dia yang mau nyelakain lo?"

"Lah anjiir bukan gitu-"

Belum menyelesaikan ucapannya, Nara langsung menarik kerah Ergaz dan menatapnya tajam. Dia yang kebingungan pun hanya diam melirik Nana untuk menjauhkan wanita gila ini darinya.

"Pasti lo 'kan yang mau nyelakain sahabat gue? Nana bilang orang yang nguntitnya pake serba hitam, nah siapa lagi kalau bukan lo?"

"Maksudnya apa?" tanya Ergaz bingung melepas paksa cengkraman Nara di kerahnya.

"Lo nguntit Nana dan mau bunuh dia, kan? Ngaku nggak!"

Nana berdiri di antara keduanya untuk meluruskan kesalahpahaman. Dilihat dari wajahnya, kentara sekali Nara sedang dilanda panik.

"Nara lo kalem dulu, jangan asal nyosor. Meski meresahkan, nih cowo niatnya baik. Gue emang diikutin sama orang, tapi dia nggak ngapa ngapain kok. Nih buktinya lobang hidung gue masih dua dan masih bisa digunakan buat napas," jelas Nana mendorong mundur Nara yang belum puas mencaci maki Ergaz.

"Udah ya, gue minta maaf kalau udah bikin kalian berdua resah. Niat awalnya cuma mau nemenin ... siapa lo namanya?" tanya Ergaz pada Nana.

"Naisila Mirdad," jawab Nana asal.

"Ya, niat awalnya cuma mau nemenin Nana pulang karena sempet ada orang asing yang nguntit dia. Omong omong gue juga satu kampus sama kalian, kok. Jadi jangan salah paham lagi, ya?!" jelas Ergaz tersenyum ramah pada Nara, tetapi melotot pada Nana.

Nara mengembuskan napas lega lalu menutup seluruh wajahnya malu. "Sorry udah salah sangka."

"Nggak papa. Mau gue anter pulang, nggak?"

"Nggak usah, Nara jago nempeleng orang kok, mau nyoba nggak?" tawar Nana tersenyum lembut pada Ergaz.

"Dengan senang hati," jawab Ergaz sopan.

Nana menggandeng Nara pergi tanpa mengucap terima kasih, sedangkan Nara yang masih memiliki sopan santun dan tau diri langsung menunduk segan seraya meminta maaf atas salah sangka dan mengucap terima kasih karena sudi direpotkan oleh Nana.



TBC

Nice To Meet You 'Arteta'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang