Bab 4 Menelepon

10 2 0
                                    

Bab 4 Menelepon

~*~

Kentara sekali gurat tegang di wajah semua saudaraku saat mama mengucapkan kalimat yang menyakitkan itu. Seperti tidak memiliki perasaan. Namun, ya, mama mungkin masih belum mengikhlaskan kepergian Asha. Sampai Om Adam berkata, "Sudahlah, kita ikhlaskan kepergian Asha. Toh semua itu sudah takdir dan bukan sepenuhnya kesalahan Haris. Ka---"

"Jangan sebut nama anak itu lagi. Muak saya!" teriak mama, langsung diseret keluar oleh papa, sebab mengganggu ketenangan Nissa yang sedang beristirahat.

Aku hanya bisa menggeleng melihat kelakuan orang tuaku itu. Tidak habis pikir, mau sampai kapan mama membenci Bang Haris? Kalau begini, bagaimana nanti jika Bang Haris bersedia untuk pulang, namun mama dan papa tidak mengizinkan? Masa aku harus menyuruh Bang Haris untuk mengontrak rumah sih?

Tak kusangka, ponsel yang sedari tadi aku pegang bergetar. Terlihat notifikasi telepon dari Fardhan. Laki-laki ini tidak bisa melihat situasi apa, ya? Kemarin-kemarin aku butuhkan dia malah pergi. Sekarang malah menelepon ketika aku sedang menjenguk orang sakit. Kalau tidak diangkat, aku pasti kehilangan informasi penting darinya nanti.

"Em ... Om sama Nissa, aku izin keluar bentar, ya? Mau jawab telepon." Berjalan keluar setelah mendapat izin.

Di depan rumah aku langsung menelepon balik Fardhan, sebab beberapa detik sebelumnya panggilan dari Fardhan itu mati. Mungkin dia kelamaan menunggu, jadi dimatikan. Tapi, kalau ada perlu seharusnya dia sabar menunggu.

Lama juga Fardhan tidak menjawab teleponku, atau mungkin dia ingin balas dendam sebab tadi aku tidak langsung menjawabnya. Aduh, dramatis banget teman laki-lakiku yang satu ini kalau memang benar seperti itu.

"Hallo, Fardhan, ada apa?"

"Hem ... lama amat sih lo jawab teleponnya. Besok gue mau ketemu, mau minta tolong sih. Jangan lupa di taman kayak waktu itu, ya. Thanks."

Tungggu. Enak saja dia memutuskan sepihak. Toh, aku kan belum tentu menyutujui permintaanya.

"Gak bisa gitu dong, kesannya lo bos gue. Enak aja nyuruh-nyuruh."

Terdengar helaan napas di sana, sampai akhirnya Fardhan berkata, "Ya udah. Lo bisa ketemu gue kapan? Sekalian nih kalau lo mau ketemu supir gue. Bisa ngobrol panjang nanti lo sama dia."

"Serius lo?" Sambar aku terlalu antusias. Kapan lagi coba Fardhan berbuat baik?

"Ish, bawel, mau atau enggak? Ya udah besok, ya. Jangan lupa jam sepuluh pagi di taman."

Fardhan memutuskan sambungan telepon. Sedangkan aku masih diam di sini, ingin protes, tapi besok adalah kesempatan untukku. Tidak mungkin juga aku melewatkannya. Toh, sudah lama juga aku ingin bertemu Bang Haris.

Lagian nih ya, salah Bang Haris juga. Kenapa harus ganti nomor plus nge-block semua akun sosial mediaku coba. Padahal kan kalau mau kabur, tidak harus memutuskan silaturahmi dengan adiknya. Kalau diingat, yang sering mencecar Bang Haris itu kan mama dan papa saja, aku tidak pernah ikutan.

"Nasha, ngapain bengong di sini? Ayo masuk, kita makan." Om Adam menepuk pundakku dengan wajah yang terlihat lelah.

"Maaf, Om. Nasha belum lapar, mau ke kamar Nissa aja deh nemenin dia biar gak kesepian." Aku tersenyum lalu mengikuti Om Adam untuk kembali masuk.

Di dalam sini, perdebatan tentang Bang Haris sudah mulai reda. Tidak sepanas tadi, yang satu pro yang satunya lagi kontra. Dan yang paling sedih adalah, orang tua laki-laki yang sedang digunjingkan itulah yang kontra.

~*~

"Dari mana aja, lo?" tanya Rania sambil menyedot es cappucino saat aku sudah memesan minuman juga.

Aku tak lantas menjawab, malah sedang mengeluarkan buku catatan berisi rencana pencarian kakakku. Rania yang bingung dengan sikapku itu hanya mengangkat sebelah alis. Seolah bertanya, "Ngapain sih, lo?"

Aku menatapnya. "Gue mau cari Abang gue. Lo tahu kan udah lama banget dia kabur dari rumah. Gue tuh---"

"Mau nyari ke mana?" Rania memindahkan gelas minumannya ke samping. Tak lama setelah itu, minuman yang aku pesan pun tersaji di depan mata.

"Makasih," ucapku pada pelayan itu.

"Oh iya, telepon gue waktu itu gak diangkat. Parah banget lo, padahal gue mau cerita soal Nana gue tahu. Dia kem---"

"Stop!" Satu tanganku menjulur ke depan, hampir membengkap wajah Rania. "Gak usah bahas Nana dulu. Sekarang gue mau fokus cari Bang Haris. Dan lo harus bantu gue. Oke?"

Setelah menyedot sedikit es lemon ini aku membalikkan kertas ke halaman yang penuh dengan rencana yang telah aku buat sebelumnya. Berniat untuk membagi informasi ini pada Rania. Supaya dia ada kerjaan selain menggibahkan bias-nya itu. Juga biar Bang Haris cepat ketemu kalau ramai orang yang membantu.

"Oh tunggu! Fardhan ngajak gue ketemuan besok. Lo harus ikut, ya."

Wajah Rania berubah, kedua matanya membulat. Hampir saja dia menyemburkan minuman yang disedotnya tadi. "Gak salah denger gue? Siapa tadi lo bilang ... Fardhan?"

Aku mengangguk mantap. "Memangnya kenapa sih?"

Rania menggeleng. "Aneh aja. Tumben tuh orang ... biasanya kan males banget sosialisasi sama lo."

"Terserah deh, yang penting gue harus mengorek informasi dari dia. Soalnya besok gue mau ketemuan juga sama supirnya," ucapku bersemangat, sampai tidak menyadari kalau mulut Rania siap menyembur kembali.

~*~

Gimana hari kalian hari ini?

Salam Nurasfitasari14.

Rabu, 4 Agustus 2021

[ Nasha ] Pelindung NashaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang