Bab 1 Menemui Fardhan

13 2 0
                                    

Bab 1 Menemui Fardhan

~*~

Semarak hari baru mulai terasa hangat untuk sebagian orang yang masih bisa menghirup oksigen di pagi hari, tetapi berbeda denganku. Di dalam ruang persegi ini aku merasa sepi. Tak lupa juga menghela napas, duduk bersandar sambil berselonjor menopang kaki.

Kalau saja kembaranku---Asha---masih hidup, mungkin hari ini dan hari sebelumnya, bahkan hari-hari selanjutnya akan ada banyak tawa renyah yang menghiasi rumah kami. Tidak seperti sekarang, sepi dan sepi.

Oh iya, aku ini merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertama seorang laki-laki bernama Haris Fardhan dan kakak kedua yaitu perempuan. Lebih tepatnya kembaranku---Asha Fardhan. Entah apa yang terjadi saat itu sampai kemalangan menimpa keluargaku. Dan yang jadi tersangka sekaligus orang yang tertindas di rumah ini adalah kakak laki-lakiku. Semua itu membuat aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis.

Bang Haris pergi dari rumah sebab tidak tahan selalu disalahkan oleh mama dan papa. Aku juga merasa pilu tiap kali orang tuaku itu membahas penyebab kematian Asha. Untuk aku yang dulu masih remaja putih abu-abu memang belum bisa memahami dunia orang dewasa, tetapi aku tahu kalau kematian Asha ini sudah menjadi takdir. Ketetapan yang tidak mungkin bisa diubah.

Kepergian Bang Haris ini menambah daftar pilu di dalam diriku. Bagaimana tidak? Setiap hari aku dikelilingi oleh kakak, sekarang malah duduk termenung sendiri. Oke, baik. Kehidupan yang sunyi dan menyedihkan ini sudah aku jalani selama satu tahun, kalau aku tidak salah hitung. Namun, tetap saja semua ini membuat aku hampir kehilangan akal sehat dan ingin menyusul Asha detik itu juga.

Saat aku akan membaringkan tubuh, suara ponsel yang tergeletak di atas bantal di sampingku berdenting. Muncul notifikasi di sana.

Fardhan
Jadi ketemu gue gak?

Kalo gak, gue mau balik.

Oke. Pesan itu dari Fardhan. Bukan kakakku, melainkan teman kuliah yang tidak sengaja aku kenal waktu pengenalan lingkungan kampus, kami juga beda fakultas. Oh iya, awal aku tahu namanya Fardhan, aku sangat terkejut sebab namanya sama dengan nama belakangku, lebih tepatnya nama papa.

Setelah ditelusuri tidak lebih jauh hanya sekadarnya saja, aku tahu Fardhan ini bukan keturunan dari papa dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluargaku, baik dari papa maupun mama.

Dengan berat hati aku melangkah menjauh dari tempat tidur. Sebenarnya malas pergi keluar, tetapi mau bagaimana lagi? Aku ingin bertemu Fardhan, sebab ada hal yang mendorongku untuk menemuinya.

Setelah mengambil tas dan pamit pada mama, aku keluar rumah menunggu ojek online menjemput dan mengantarku ke salah satu taman di kota ini.

Fardhan, dia ini laki-laki yang sok idealis dan menyebalkan tentunya. Sikapnya yang selalu menuntut dan memandang remeh orang ini kadang membuat aku ingin sekali mencolok matanya dengan sepatuku ini. Bukan apa-apa, hanya saja dia itu harus diajarkan sikap bodo amat. Supaya tidak terlalu mengusik dan berkomentar sana-sini. Toh, memangnya dia sudah perfect tingak dewa? Menyebalkan, kan?

Sampai di taman, aku membuka resleting tas dan mencari ponsel. Berniat mengabari Fardhan, kalau aku sudah sampai di taman. Sekalian bertanya posisinya sekarang di sebelah mana.

Oke. Sambil menunggu Fardhan menjawab teleponku, kedua kaki melangkah ke arah yang entah aku sendiri bingung harus ke mana. Tetapi, yeah! Kedua mataku menangkap sosoknya. Bukan makhluk halus, tetapi Fardhan. Ya, walau sikapnya memang bisa dibilang sebelas duabelas dengan iblis, tapi, ya Fardhan masih menjadi manusia untuk saat ini. Tidak tahu lima menit kemudian, lihat saja.

"Hei, Fardhan!" aku menyerukan namanya saat sampai di belakang bangku yang didudukinya. Fardhan pun menoleh dengan ekspresi biasa saja, flat.

Oke. Sudah biasa dan bisa dimaklumi.

"Lo gak punya jam?" Tidak ramah sekali pertanyaan pertamanya ini.

Aku mengernyit. "Punyalah. Kenapa sih?"

Fardhan tidak menjawab, dia kembali menunduk, membaca buku yang sedari tadi ada dipangkuannya.

Baik, aku harus bersabar. Kan sudah terbiasa dengan sikap manusia di depan ini.

Karena tidak dipersilakan untuk duduk, akhirnya aku berjalan ke sisi lain Fardhan untuk duduk di sebelahnya. Lantas mengedarkan pandangan ke sekitar. Masih belum ada yang memulai percakapan. Aku juga masih capek. Lebih tepatnya sudah malas, pasti akan dikacangi oleh Fardhan. Jadi, biarkan dia yang memulainya.

Keberuntungan menyertaiku. Sepertinya Fardhan tidak tahan jika harus diam-diam saja di tempat ini. Lantas Fardhan bertanya, "Jadi, lo ke sini mau ngapain?"

Apa?! Kenapa pertanyaan itu sih Fardhan? Tidak ada yang lain apa?

"Kok lo nanyanya gitu sih? Kan lo sendiri yang nyuruh gue datang ke sini."

Fardhan menoleh padaku. Menutup buku dan memukul lenganku menggunakan buku yang cukup tebal juga sih kalau aku lihat. "Sakit tahu!" Tangan kiriku refleks mengelus tangan kanan yang menjadi korban kekerasan Fardhan.

"Kalau punya penyakit lupa tuh diobatin kali, Sha."

"Apaan sih? Harusnya lo yang berobat. Jadi orang tuh kalau ngomong jangan bikin bingung mulu. Dikira semua orang pintar kayak lo apa. Otak gue tuh standar, rata-rata gitu. Mohon dimaklumilah."

Fardhan mengangguk-angguk, dengan mata yang diputar ke atas. Oke, dia mengejekku. Minta di tarik nih kupingnya.

"Lo yang minta katemuan, gue yang disalahin. Dasar cewek!" ucap Fardhan pelan, tetapi masih bisa aku dengar.

Seketika aku menepuk jidat, cukup keras. Membuat laki-laki di sebelahku mendengkus sebal.

~*~

Bagaimana pendapat kalian setelah membaca bab pertamanya?

Salam Nurasfitasari14.

Terima kasih.

Minggu, 1 Agustus 2021

[ Nasha ] Pelindung NashaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang