3. Di Malang
Hari-hari yang Manda lalui setelah ibunya pergi, terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dulu saat ayahnya pergi, Manda masih punya Ibu sebagai pegangan dan penopang. Namun sekarang ia tak punya apa-apa di kedua tangan untuk dipegang.
Esti dan kedua orang tuanya memang selalu menghibur, memberi perlindungan juga kepedulian layaknya keluarga. Ibra dan kedua orang tuanya yang memang mengenal Manda, juga sesekali datang. Namun itu tak cukup untuk Manda. Ia hanya ingin ibunya. Seseorang yang secara penuh mengetahui dan mengerti perasaannya. Atau jika itu memang tak bisa, biarkan Manda yang ikut saja. Menyusul Ibu pergi, sepertinya akan terasa lebih baik. Tetapi itu semua tak terjadi juga. Manda tetap masih hidup, meski hatinya remuk.
"Sudah bikin keputusan, Man?"
Manda yang sedari tadi merenung, memandangi pohon jambu di pinggir jalan, seketika menoleh. Ia menggeleng. "Aku nggak tahu."
Rifki, lelaki yang duduk di sebelahnya di bangku taman ini, menghela napas. "Aku masih berharap kamu terima salah satunya, Man. Akan lebih bagus kalau pilihan kamu sama kayak aku."
Manda menoleh sepenuhnya kepada teman sebangkunya di kelas dua belas ini. "Rifki udah bikin pilihan?"
Rifki mengangguk. "Aku pilih Yogyakarta."
"Yogya?" Rifki mengangguk. "Bukannya dulu kamu pengen ke Malang?"
"Itu kan dulu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku lebih sreg yang di Yogya." Rifki tersenyum kecil. "Nggak ada yang konstan di dunia ini, Manda. Berubah itu manusiawi."
Manda mengangguk samar. Ia menatap telapak tangannya yang terbuka. "Hidupku juga nggak konstan. Berubah ... seratus delapan puluh derajat."
Rifki kembali menghela napas. Sebelah tangan lelaki itu menepuk-nepuk bahu Manda. "It's okay, Man. Nggak apa-apa sekarang sedih, perlahan sakitnya akan nggak kerasa sakit kok."
Manda memiringkan kepala, menatap teman terdekat yang ia punya di sekolah ini. "Rifki kasihan sama aku?"
"Enggaklah." Rifki terkekeh. "Kamu lupa kalau aku juga nggak punya orang tua? Dikasihani itu nggak nyaman, Man. Yang aku rasain ke kamu lebih ke empati. Karena aku pernah berada di posisi kamu, rasanya kepengen mati tapi masih aja hidup dan bernapas." Rifki menerawang, lalu tertawa. "Ngeselin banget pokoknya."
Manda mengangguk, mengiyakan. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Ya, memang benar. Hanya orang yang pernah mengalami seperti kita, yang bisa benar-benar mengerti. Rifki memang senasib dengannya, nyaris mirip. Yatim piatu. Penerima beasiswa di sekolah. Dan bahkan sekarang, saat mereka menerima undangan jalur beasiswa di universitas, tempatnya pun sama. Malang dan Yogyakarta. Tapi ... apa itu artinya Manda harus mengikuti Rifki untuk memilih berkuliah di Yogyakarta?
"Kamu udah kasih tahu orang tua angkat kamu soal beasiswa itu?"
Manda mendesah, kemudian menggeleng. "Nanti aku kasih tahu, kalau mereka udah pulang."
"Tuh!" Dengan dagu, Rifki menunjuk sebuah mobil yang barusan melintas.
Manda menoleh. Dan benar saja, itu adalah mobil orang tua Esti. Mungkin ini saatnya Manda memberitahu mereka.
"Ya udah, ayo aku antar pulang." Rifki berdiri dan menarik Manda agar ikut bangkit.
"Kenapa harus diantar?" tanya Manda. "Kan cuma jalan sepuluh rumah dari sini."
"Biar kamu nggak ilang diculik hantu. Kan sayang. Jelek-jelek gini, kamu temanku satu-satunya."
Manda cemberut, membuat Rifki terkekeh. Akhirnya ia membiarkan lelaki itu mengantarnya. Mereka berjalan beriringan, dengan Rifki yang banyak bicara, dan Manda yang menimpali sesekali. Manda memang pendiam, tidak seperti Esti yang humble. Mungkin itulah yang membuat Ibra terlihat sangat menyukai Esti bahkan tak pernah canggung untuk saling bercanda. Berbeda jika dengan Manda. Meski sangat ramah, namun Ibra terlihat kaku jika bersama Manda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mercusuar (Trailer)
General Fiction#miniseri 5 Alamanda tak pernah mengira bahwa ikut mengakrabkan diri dengan Ibra-lelaki yang dijodohkan dengan sahabatnya-akan berujung pada kesalahan besar. Seiring kedekatan mereka, Manda makin tak bisa mengendalikan arah hatinya. Manda merasa men...