Hai gaes. Sebelum kalian lanjut baca bab ini, aku mau memberitahukan kalau cerita ini cuma aku publish sebagian bab saja. Kalian bisa membacanya lengkap jika PDF sudah ready nanti. Harga terjangkau soalnya cuma miniseri. Jika kalian tertarik, silakan baca. Kalau nggak tertarik, bisa skip. Thank youu♥️
.
.
.1. Sadar Diri
"Ragil udah nunggu aku di depan. Bang Ibra, titip Manda ya. Dadah."
Manda hanya terdiam, menatap punggung Esti yang menjauh. Sedetik setelahnya ia melirik lelaki tiga puluh tahun di depannya, yang juga tengah memandangi kepergian Esti dengan tatapan sulit diartikan. Manda menghela napas, menunduk dan mengaduk-aduk es boba yang tadi sempat dipesankan Esti.
"Mereka ke mana?" tanya Ibra kemudian.
Manda menoleh sekilas. "Mau ke pasar malam yang dekat sini, kata Kak Esti tadi."
Ibra terdiam cukup lama sebelum mengangguk. Lelaki itu sedikit memajukan wajah, dan Manda spontan mengerjapkan mata. "Manda pengen ke pasar malam juga, nggak?"
Manda memundurkan wajahnya sedikit dan menggeleng. "Besok Manda ujian praktek."
"Ujian?" Mata Ibra membulat sebentar, sebelum menatap Manda penuh rasa bersalah. "Waduh, Abang sama Esti ganggu kamu dong."
Manda menggeleng, tersenyum tipis. "Manda udah belajar, kok."
"Maafin ya, gara-gara Abang sama Esti, Manda jadi nggak bisa belajar"
"Apa kita mau pulang aja? Nanti biar Abang jemput Esti lagi ke sini."
"Nggak usah, nanti jadi ketahuan sama Tante. Nanti Kak Esti diomelin."
Ibra menghela napas, kembali menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Manda memang selalu seperti ini sama Esti?"
Sedikit bingung, Manda memiringkan kepala. "Seperti ini gimana?"
"Mendahulukan kepentingan Esti. Menjadi tameng kalau Esti lagi melakukan sesuatu yang nggak mau Ayah dan Bunda tahu."
Manda mengangguk-angguk, tanda mengerti. Lalu ia tersenyum tipis. "Manda nggak mau Kak Esti sedih."
"Manda sayang banget sama Esti, ya?"
"Iya." Senyum Manda melebar.
Ibra bertopang dagu. "Kalau Esti udah ikut Abang besok, Manda sedih banget dong?"
Pertanyaan Ibra membuat Manda urung memasukkan sedotan ke mulut. Tiba-tiba dadanya sesak, oleh sesuatu yang hanya ia dan ibunya yang tahu penyebabnya. Ia menunduk, memandangi embun-embun yang terbentuk di permukaan luar gelas es bobanya.
"Yah jadi sedih." Ibra terdengar menyesal saat mengatakan itu. "Maafin Abang, ya." Lalu Manda spontan mendongak ketika Ibra mengusap puncak kepalanya. Lelaki itu tersenyum hangat. "Atau Manda mau ikut aja? Boleh kok, biar nanti Esti ada teman, juga."
Manda menggeleng. Sedikit terlalu cepat hingga tangan Ibra di kepalanya terlepas. Kening lelaki itu juga sempat berkerut. "Manda nggak mau ninggalin Ibu."
"Benar juga," gumam Ibra. "Bunda nggak akan izinin Ibu ikut Abang pasti, ya?"
Manda mengangguk samar, lalu mengalihkan pandangan ke arah panggung kecil di kafe outdoor ini yang sedang menampilkan seorang penyanyi. Sebisa mungkin ia hanya terfokus pada lagu Say Something yang sedang dinyanyikan. Dan lirik sedih itu makin membuat sesak di dadanya makin menjadi. Ia meremas tepian rok untuk melampiaskan.
Ingin sekali Manda mengatakan dengan jujur kepada Ibra, bahwa sedihnya bukan karena akan ditinggal Esti. Ia memang akan kehilangan jika Esti tak lagi tinggal di rumah, namun bukan karena itu ia merasa sesak sekarang. Namun kenyataan bahwa Esti dan Ibra akan menikah, membuat Manda sadar akan posisinya. Ini sepenuhnya salah Manda, yang tidak bisa mengendalikan gerak hatinya sejak mengenal Ibra selama tiga bulan ini. Ibrahim Rasyid, lelaki yang dijodohkan dengan Esti, sahabat yang ia anggap sebagai saudarinya.
Esti dan Ibra dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Saat itu Ibra terlihat menerima tanpa penolakan sedikitpun, sementara Esti menolak dengan keras. Tentu saja, karena Esti punya Ragil sebagai kekasih. Namun Tante Erlin, ibu Esti, tetap pada pendiriannya. Bahkan sampai mengancam akan mengusir Esti jika Esti menolak perjodohan dan tidak memutuskan hubungan dengan Ragil. Akhirnya Esti memohon pada Ibra untuk bekerjasama dengan berpura-pura jika Esti menyetujui perjodohan mereka, padahal sebenarnya gadis itu tak pernah putus dengan Ragil. Ibra yang baik hati, tidak ada pilihan selain menuruti.
Dan itulah, awal kedekatan Manda dan Ibra. Karena tiap kali Manda akan kencan dengan Ragil, gadis itu akan mengajak Ibra sebagai alasan agar diizinkan keluar oleh orang tuanya. Sekaligus mengajak Manda dengan dalih agar Manda bisa refreshing di masa-masa menjelang ujian. Orang tua Esti yang juga peduli kepada Manda, tak pernah keberatan untuk mengizinkan. Padahal fungsi Manda di sini hanyalah untuk menemani Ibra yang pasti akan kesepian jika Esti pergi bersama Ragil. Seperti sekarang ini.
"Lagunya sedih ya?" Ibra bertanya, setelah lagu itu selesai. "Manda sampai mau nangis."
Manda menoleh, lalu tersenyum datar. "Maaf."
"Enggak apa-apa, dong." Dengan tak terduga, Ibra mengulurkan tangan untuk mengusap sudut mata Manda dengan ibu jari. Hal itu membuat Manda tersentak dan membeku. "Sampai merah gini, matanya."
Tersadar, Manda menepis pelan tangan Ibra. Dan lelaki itu tersentak, kelihatan terkejut juga. Ibra berdeham, meringis.
"Maaf." Lelaki itu menggaruk tengkuk. "Abang kebiasaan, suka usap-usap gitu kalau Esti lagi mau nangis."
Dan Manda makin ingin menangis saat ini. Ia butuh perekat atau apa pun untuk menyangga hatinya yang terasa retak sekarang.
"Esti?"
Gumaman Ibra membuat Manda menoleh. Dahinya berkerut melihat gadis yang empat tahun lebih tua darinya itu datang mendekat, dengan wajah sembab.
"Kamu kenapa?" tanya Ibra, setelah Esti duduk di sebelahnya. Manda bisa melihat kekhawatiran di wajah lelaki itu.
"R-ragil ...," Esti menutup wajah, lalu terisak. "Ra-gil ... mutusin ... aku."
Manda terkejut bukan main. Namun matanya memanas, ketika sedetik kemudian Ibra memeluk Esti erat sambil memberikan kalimat-kalimat penenang. Setitik air mata lolos dari sudut mata Manda. Ingin sekali Manda pulang dan menangis juga di pelukan Ibu. Karena hanya Ibu yang tahu perasaannya pada Ibra.
Ibu pernah bilang, bahwa Manda harus sadar diri. Bahwa seorang Alamanda hanyalah anak pembantu yang beruntung karena diperlakukan dengan begitu baik oleh orang tua Esti, majikan mereka. Bahwa Manda tidak boleh melewati batas, dengan jatuh cinta pada Ibra-calon suami Esti. Dan Manda menyesal, karena tak menuruti Ibu yang menyuruhnya membunuh perasaan ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mercusuar (Trailer)
General Fiction#miniseri 5 Alamanda tak pernah mengira bahwa ikut mengakrabkan diri dengan Ibra-lelaki yang dijodohkan dengan sahabatnya-akan berujung pada kesalahan besar. Seiring kedekatan mereka, Manda makin tak bisa mengendalikan arah hatinya. Manda merasa men...