2. Duka
Jatuh cinta kepada Ibra, bukan sesuatu yang Manda perkirakan. Karena ketika awal mereka kenal, Manda hanya menganggap lelaki itu adalah calon anggota baru di keluarga Djayadiningrat. Apalagi umur lelaki itu dua belas tahun di atasnya, mustahil untuk jatuh cinta.
Tapi kalimat 'tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini' mungkin memang benar adanya. Semakin Manda mengenal Ibra, semakin besar pula lelaki itu menyita atensinya. Ibra yang baik hati dan jarang menunjukkan kekesalan. Ibra yang sopan. Ibra yang perhatian dan tak pernah membedakan status Manda sebagai anak pembantu. Ibra yang dewasa dan memperlakukan Esti juga Manda sebagai gadis-gadis yang butuh dilindungi. Itu semua membuat Manda terbawa perasaan. Padahal segala kecerahan yang Ibra pancarkan ditujukan kepada Esti, namun salah arah menembus hati Manda.
Ini adalah kisah klise, segiempat. Manda menyukai Ibra. Ibra menyukai Esti. Dan Esti mencintai Ragil. Ragil? Tentu mencintai Esti, setidaknya itu yang Manda tahu sebelum kejadian malam itu. Di mana Ragil memutuskan hubungan dengan Esti.
Hari-hari setelahnya diisi dengan curahan hati yang setiap malam diterima Manda dari Esti. Berulang-ulang, dengan keluhan yang sama, hingga Manda ingin protes namun tidak tega. Karena meski baik kepadanya, Esti tidak akan se-mengerti itu jika Manda butuh konsentrasi penuh untuk belajar menghadapi ujian. Ditambah, tiap hari Ibra datang khusus untuk menghibur Esti. Semua itu membuat hati Manda porak poranda, dan akhirnya memilih menghindar tiap kali lelaki itu datang.
Namun sekarang Manda tidak punya alasan untuk menghindar, ketika ia menunggu bus di halte sepulang sekolah, namun malah mobil Ibra yang datang. Menawarinya tumpangan, karena lelaki itu akan mengunjungi Esti seperti biasa.
"Manda belakangan ini sibuk, ya?" Ibra bertanya, setelah beberapa saat mereka saling diam.
Manda hanya tersenyum sekilas. "Iya."
"Dulu Abang juga sama, mendadak jadi manusia super sibuk kalau udah masa-masa ujian. Oh ya, ujian sekolahnya sudah selesai?"
"Udah."
"Wah tinggal ujian nasional dong?"
"Iya."
"Mau lanjut kuliah ke mana, nih?"
"Belum tahu." Manda menatap jemarinya yang bertautan. "Yang ada beasiswa, sama yang deket sama Ibu."
"Di kampus Abang aja gimana? Ada beasiswa, kok. Deket juga, kan?"
Manda tidak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya berkata, "Nanti dipikirin lagi."
"Iya, sekarang Manda fokus sampai selesai ujian saja. Abang yakin nilai Manda pasti bagus-bagus semua."
Manda hanya tersenyum tipis. "Aamiin."
"Nanti kalau tertarik kuliah di kampus Abang, Manda bilang aja ya. Abang bantu semuanya."
"Iya."
Namun Manda tidak akan melakukan itu. Di kota ini banyak kampus yang memberikan beasiswa, tidak hanya di tempat mengajar Ibra saja. Jadi Manda akan meminimalisir segala kemungkinan berinteraksi dengan Ibra, terutama setelah lelaki itu menjadi suami Esti.
"Oh ya, Manda-"
Ucapan Ibra terpotong, saat ponsel Manda berdering. Kening gadis delbelas tahun itu berkerut ketika menemukan nama Tante Erlin sebagai id pemanggil. Tidak biasanya.
"Halo, Tante."
"Manda? Kamu sudah keluar dari sekolah, Nak?"
Manda semakin bingung, juga khawatir ketika ia merasa suara Tante Erlin agak aneh. Seperti ... menahan tangis. "Sudah, Tante."
"Sekarang lagi di jalan?"
"Iya." Manda menggeleng bingung saat Ibra menatapnya penuh tanya. "Ada apa, Tante?"
"Kamu ... kamu jangan pulang ke rumah dulu, Nak."
"Ada apa, Tante?" Manda makin khawatir.
"Ibu ... ibu kamu di rumah sakit, Nak."
Mata Manda membulat. "I-ibu ... Ibu ... kenapa?"
Jemari tangan Manda gemetar. Setitik demi setitik air mata berjatuhan membasahi pipinya. Ia bahkan mengabaikan pertanyaan penuh nada khawatir dari Ibra.
"Kecelakaan. Manda tenang ya, Nak. Manda langsung ke sini saja, Tante kirimi alamatnya. Tenang ya, Sayang."
Manda hanya mengangguk-angguk hingga Tante Erlin memutuskan sambungan. Setelahnya ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, terisak-isak. Namun ketika sepasang lengan membungkus tubuhnya, Manda mematung. Aroma citrus bercampur kayu-kayuan memenuhi indera penciumannya.
"Ibu kenapa?"
Dengan sesenggukan, Manda menjawab, "Kecelakaan."
"Manda tenang dulu, okay? Abang antar ke rumah sakit."
Manda hanya mengangguk. Setelah Ibra melepas pelukan, Manda membuang pandangan ke luar jendela. Ia remas kuat-kuat tali tas sekolahnya. Pikirannya benar-benar kalut. Ia ketakutan. Bayangan ayahnya yang tak bernyawa di ruang IGD ketika ia berumur sepuluh tahun, memenuhi kepalanya. Manda takut sekali. Dalam hati ia terus menggumamkan doa, agar Tuhan memberinya kesempatan untuk hidup bersama ibunya lebih lama.
Sayangnya harapan hanya membawa kesakitan. Doa Manda tak terkabul. Ketika sampai di ruang ibunya, wanita itu sudah pergi. Tanpa salam atau sekadar senyum perpisahan. Meninggalkan Manda yang menangis, meraung-raung dan memohon jika semua itu hanya mimpi. Namun sebanyak Manda memohon, sebanyak itu pula ia tertampar oleh kenyataan. Manda kehilangan, dan jadi sebatang kara.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Mercusuar (Trailer)
General Fiction#miniseri 5 Alamanda tak pernah mengira bahwa ikut mengakrabkan diri dengan Ibra-lelaki yang dijodohkan dengan sahabatnya-akan berujung pada kesalahan besar. Seiring kedekatan mereka, Manda makin tak bisa mengendalikan arah hatinya. Manda merasa men...