Kidung 2

439 97 31
                                    

Lelaki berperawakan tinggi nan tegap itu kembali dengan wajah berseri, berbeda sekali ketika dirinya berangkat tadi. Nampak sekali kebahagiaannya kini, seakan habis menerima emas satu kilo secara cuma-cuma dari pemerintah.

"Cakra, lihat kawanmu itu, mengerikan sekali datang-datang pasang wajah tersenyum lebar macam badut hantu yang kita tonton di layar lebar pekan lalu." Bagya senggol lengan kekasihnya, wajahnya melirik sinis pada Kara yang baru saja pijakan kaki di pintu pagar.

"Dia sedang senang, dinda. Itu nampak lebih baik daripada lihatnya bermuram durja macam tak ada harapan hidup." Balas Cakra, elus punggung tangan lembut sang kekasih yang bersemayam di atas pahanya.

"Masalahnya, dia bisa begitu senang karena apa?" Tanya si cerewet, di detik berikutnya mata sipit bak bulan sabitnya mendelik menyadari sesuatu, "Jangan-jangan benar dia terpukau pada kawanku lalu menanyakan asmanya?"

Bibir tipis ditutup telapak tangan berjemari lentik, mata sekali lagi melirik pada Kara yang kini telah berada di hadapannya.

"Mengapa dengan mata melotot itu, Bagya? Aku tahu bahwa aku tampan, tapi kondisikan netramu, aku tak tertarik padamu."

Pukulan melayang amat kencang, bahkan rasanya seperti dihantam dengan pentungan petugas keamanan saking sakitnya.

"Ini sakit, Bagya!! Gila, tanganmu itu terbuat dari daging atau besi bangunan?" Aduh Kara, usap bahunya yang nyeri bukan kepalang.

"Rasakan! Sudi sekali aku tertarik padamu, hitam! Harusnya aku pukul saja bibirmu itu hingga bercucur darah."

Kara meringis, bayangkan bibirnya terkena hantam maut dari tangan cap besi bangunan milik Bagya sungguh mengerikan.

Decakan didengar dari Cakra, tangan sang kekasih yang tersimpan di pinggang dilonggarkan kemudian digenggam keduanya.

"Kalian bila tak bertengkar sedetik saja apa tidak bisa? Pengang sekali pendengaranku tangkap suara cekcok setiap saat. Semut saja berlari melihat kalian adu mulut. Sudahi kalau tak ingin kuadukan pada lurah desa." Komentar si yang paling tinggi, sungguh jengah dibuat oleh dua orang terdekatnya.

Kara pula Bagya saling lempar dengusan, tak sudi pandang satu sama lain, seakan satu lirikan dan temu pandang saja dapat buat netra mereka mencuat dari sarang.

"Kara, ada apa denganmu? Roman mukamu sungguh bahagia. Sesuatu terjadi ketika kami bertolak lebih dulu?" Tanya Cakra, suaranya melembut. Tangan besarnya menarik pergelangan tangan sang kawan untuk turut duduk bersamanya dan Bagya.

Wajah muram Kara terganti kembali oleh binar yang tadi tersemat kala datang.

"Tentu saja ada, Cakra. Engkau ingin dengar apa khabar gembira yang aku dapat?" Balas Kara.

Cakra mengangguk, "Tentu, khabarkan padaku. Akan kudengar."

Bagya yang semula ogah kini tertarik, turut menatap Kara yang tengah berbunga.

"Apakah tentang kawanku, Kara?" Tanyanya, entah enyah kemana perasaan berapi-api ingin menonjok tadi, dirinya kini lebih tertarik tentang khabar bahagia dari kawan kekasihnya.

"Betul, Bagya. Tentang kawanmu yang juwita."

Senyum jahil Bagya terukir,

"Haaa, lihatlah siapa yang tengah terkesima oleh si juwita." Ledeknya, "Sudah engkau dapat namanya?"

"Tentu saja." Kepala Kara mengangguk, pandangan menjurus ke halaman berbunga di hadapan, "Nama dia endah seendah suaranya, sejuwita parasnya, sejelita senyumnya. Durga Karna, lelaki jelita bak Dewi Durga."

Durga Kara [KAISOO] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang