Kidung Katresnan

498 94 55
                                    

Kara kian resah, ini sudah terlampau lama dari waktu yang telah dijanjikan. Surya sudah semakin naik di cakrawala, tetapi mengapa Durga tak kunjung tiba?

Perasaan tak mengenakkan meliputi hati, berkali-kali dirinya berlari menuju pagar guna pastikan pujaan hati telah sampai di ujung jalan, sungguh disayangkan sosok manis itu tetap tak tampakkan parasnya di sana.

“Oh Yang Esa, apa yang terjadi? Mengapa hati hamba tak karuan rasanya?” bisiknya, diri kembali bangkit dan berlari menuju ruang tamu. “Bagya!” serunya.

Obrolan sepasang kekasih itu berhenti.

“Ada apa, Kara? Durga belum tiba?” tanya Bagya.

Kara menggeleng, “Tunjukkan padaku dimana kediamannya, perasaanku sungguh tak karuan dibuatnya. Aku akan menjemputnya.”

Bagya kerutkan dahi, dirinya ikut rasakan kecemasan yang sama.

“Ada di ujung desa. Jika engkau mau, aku akan tunjukkan. Firasatku menunjukkan ketidakbenaran.” balasnya.

Kara mengangguk setuju, Cakra turut berdiri.

“Biarkan aku yang membawa keretanya.” tawarnya.

Setelahnya ketiga pemuda itu pergi tinggalkan rumah dengan kereta kuda sebagai kendaraan. Cakra mengendalikannya dengan lihai, kuda melaju dengan kencang membelah jalanan desa. Penduduk mengumpat kasar ketika kereta melintas tanpa permisi, namun baik Cakra maupun Kara tak mengindahkannya, terus saja melaju menuju rumah Durga di ujung desa.

Kereta berhenti tepat di depan rumah ketika Bagya meminta kekasihnya untuk menghentikan lajuan.

Kara dengan segera turun dari pedati, berlari cepat menuju pintu rumah yang terbuka lebar. Matanya membola menyorot pecahan pot bunga serta serakan tanah merah dan pupuk kompos di sekitarnya.

“Durga,” bisiknya, selaras dengan jatuhnya air mata dari pelupuk mata.

Pandangnya mengedar ke penjuru rumah dan terkunci pada sebuah pintu salah satu ruangan. Paninggal kian membola kala dengar suara erang serta tawa menggelegar seseorang.

“Bajingan keparat!” umpatnya.

Pintu kayu itu ditendangnya hingga menjeblak dan tunjukkan empat orang pria di sana. Nafasnya tercekat di tenggorokan saksikan lelaki pujaannya terbaring tak berdaya di atas ranjang digagahi tiga pria keparat.

Mata Durga melirik lemah ke arah Kara, mulutnya tak bisa ungkapkan apa-apa karena terbungkam kejantanan ayahnya. Lubang bawahnya dihajar dengan tak berperi oleh dua teman ayahnya secara bersamaan.

‘Engkau pastilah amat jijik dan membenci diri ini, Kara…’

“DURJANA JAHANNAM!!” Kara berteriak murka, menerjang naik ke ranjang dan menendang kepala ayah Durga hingga jatuh menghantam keras meja nakas.

Dua kawan ayah Durga mendelik, buru-buru lepaskan kejantanan dari liang tuk jauhi hajaran Kara, sungguh disayangkan mereka tak bisa lolos, tendangan tak kalah kencang terkam wajah mereka hingga tersungkur kesakitan di lantai macam kawan pertama.

Kara kembali menghampiri ayah Durga, mencekik lehernya kemudian meninju wajahnya berulang kali tanpa ampun sama sekali.

“MATILAH ENGKAU, KEPARAT!! DURJANA BUSUK SEPERTIMU TAK PANTAS PIJAKKAN KAKI DI BENTALA SANG HYANG ESA. BAHKAN, JAHANNAM PUN AKAN MEMUNTAHKAN ENGKAU KARENA TAK PANTAS BAGI ENGKAU HINGGAP DI SEGALA PENJURU!! BEDEBAH GILA PANTAS BINASA!!”

Darah mengucur deras dari mulut dan hidung ayah Durga. Tak perlu susah bagi Kara mengetahui yang mana ayah lelaki pujaannya, Bagya telah menjelaskan ciri-cirinya selagi mereka melaju beberapa saat lalu.

Durga Kara [KAISOO] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang