Pertemuan

34 7 0
                                    

Matahari bersinar cerah. Kicau burung terdengar saling bersahutan. Bunga-bunga mulai bermekaran, seiring dimulainya musim semi yang hangat. Dua orang anak laki-laki tengah melintasi jalan setapak. Tampak yang berbadan kecil tengah duduk manis di atas pundak yang lebih besar.

"Kak, kita mau beli apa hari ini?"

"Hmm apa ya? Kau ingin apa, Anila?"

"Aku?"

"Ya, apa yang kau inginkan?"

"Aku ingin daging, Kak. Daging ayam, daging sapi, daging kambing, daging ... daging apa saja pokoknya daging!"

"Duh, duh ... cuma daging apa yang ada di pikiranmu? Memang kau bisa memakan semuanya?"

"Bisa, dong. Lihat, perutku ini buktinya!"

Keduanya tertawa bersama, menunjukkan betapa akrabnya sepasang kakak beradik itu.

"Anila, kalau kau makan terlalu banyak, aku tidak akan kuat lagi menggendongmu di pundak seperti ini, loh."

"Ah, Kakak ... aku kan masih kecil, masa Kakak tidak kuat? Huuumph!" Anila memasang wajah masam.

"Ahahaha ... ayolah, Anila. Aku hanya bercanda. Jangan cemberut gitu , dong. Nanti kubelikan daging, deh ."

"Horeee ... Kakak memang baik. jawab Anila sambil menarik-narik rambut Arutala."

"Aduh— duh, jangan menarik rambutku, Anila!"

"Habisnya, rambut Kakak panjang sekali. Kalau Kakak tidak memotongnya, Kakak akan terlihat seperti Kak Kirana, loh."

"Hei, ayolah Kirana itu perempuan, aku ini laki-laki."

"Ber— can — da," ucap Anila sambil menjulurkan lidahnya.

Mereka tertawa kembali.

Tak terasa, mereka pun sampai di depan gerbang kayu yang besar menjulang. Tampak beberapa orang berbadan tegap membawa tombak berjaga di depan gerbang.

"Kakak, coba lihat itu!"

Anila menunjuk ke arah gerbang. Arutala memalingkan wajahnya, mengikuti telunjuk Anila.

"Siapa mereka? Mereka terlihat keren sekali."

"Oh itu ... mereka adalah bretya, seperti pasukan yang menjaga kota ini."

"Bretya? Aku tidak pernah melihat mereka di desa kita."

"Tidak ada Bretya di desa kita. Bretya hanya ada di kota-kota besar seperti Samidawara ini."

"Eehh, kenapa seperti itu?"

Arutala berpikir sejenak. Ia tidak pernah memikirkannya sebelumnya.

"Yaa ... mungkin karena desa kita sudah cukup aman, jadi buat apa ada bretya, ahahaha ...."

"Kakak, jawabanmu meragukan," ucap Anila dengan wajah sinis.

Ya ... mau bagaimana lagi. Aku pun tidak tahu, batin Arutala.

Mereka melangkah maju, memasuki padatnya kota di pagi hari yang cerah.

"Kakak, turunkan aku."

Anila melompat turun dari pundak Arutala. Seketika ia berlari menuju kerumunan.

"Hei, Anila. Jangan berlarian seperti itu!"

Ya ampun, dasar anak kecil.

***

"Hei, bocah kurang ajar! Kembali kau!"

"Gawat gawat! Dia marah besar!"

"Sudah kubilang kan, Aruna. Ini ide yang buruk."

"Kau benar, Gana. Seharusnya kita tidak mengikuti perkataan Aruna."

"Aah sudahlah, kalau kita tidak melakukannya, paman penjual itu tidak akan jera. Dia harus diberi pelajaran."

"Tapi—"

"Ssstt, diamlah! Sekarang ikuti perkataanku. Kita harus berpencar. Nadi, kau ke arah sana. Dan Gana, kau ke arah sebaliknya."

"Bagaimana denganmu Aruna?"

"Hehehe ... itu rahasia," jawab Aruna cengar-cengir sendiri.

"Apa-apaan itu?"

"Dasar kau ini, Aruna!"

Obrolan ketiga bocah itu terhenti ketika seorang pria berbadan gemuk memergoki mereka.

"Di sana kau rupanya, Bocah! Jangan lari kau!"

"Sampai ketemu lagi. Jika kalian tidak ingin tertangkap maka larilah!"

Aruna mengambil langkah seribu. Ia melompat ke atas atap bangunan.

"Dasar Aruna, tentu saja dia tidak akan dikejar oleh paman itu!"

"Lebih baik kita segera lari, Nadi. Sampai nanti."

Nadi dan Gana pun segera berlari. Entah siapakah yang akan dikejar oleh penjual itu, mereka pun tak pernah tahu.

"Ahahaha ... aku penasaran siapakah yang bakal dikejar paman itu. Nadi atau Gana, ya?"

"Hei Bocah, berhenti!"

"Apa!"

"Aruna terkejut melihat paman itu justru mengejarnya. Ia tak menyangka penjual itu dapat mengikutinya melompati atap-atap bangunan."

"Aaaahh, kenapa malah jadi begini? Kenapa aku yang harus dikejar?"

Aruna menambah kecepatannya. Ia mencoba untuk melewati rute yang sulit agar ia dapat lepas dari kejaran penjual itu. Namun, penjual itu tetap saja dapat mengikutinya.

"Ayolah, Paman. Yang benar saja? Ini sungguh tidak masuk akal!"

Bukan hari keberuntungan Aruna, di salah satu atap bangunan yang dilewatinya, ia salah mengambil langkah. Kakinya menginjak udara, melayang bebas, membuatnya terhuyung jatuh dari atap bangunan di pinggir sungai yang mengalir deras.

"Aaaaa!"

Beruntung penjual itu menangkap ujung celana Aruna. Ia selamat dari derasnya air sungai. Namun, tidak dengan rotinya yang ia ambil dari penjual itu, jatuh dan tergulung derasnya arus sungai.

***

"Kalian lagi kalian lagi. Kapan kalian akan jera, hah!" bentak pria itu kepada tiga bocah di depannya.

"Hei, kalian. Bagaimana kalian bisa tertangkap?" bisik Aruna kepada kedua temannya.

"Paman itu punya karyawan yang membantunya," larinya sangat cepat, jawab Nadi.

"Kalau kau, Gana, bagaimana denganmu?"

"Itu salahmu. Ujung jalan yang kau tunjukkan padaku berakhir di tempat ini lagi. Kau mau membuatku mati, ya!"

"Maaf-maaf. Aku tidak tahu kalau itu akan terjadi. Ahahaha...." jawab Aruna polos.

"Hei, kalian! Dengarkan aku, kenapa kalian berbicara sendiri?"

"Paman, sebenarnya kami melakukan ini karena salahmu."

"Salahku?"

"Ya, benar. Kemarin ketika kami datang ke sini dan meminta roti itu baik-baik, kau malah mengusir kami."

"Apa katamu! Memangnya toko ini punya leluhurmu, hah! Kalian membuatku kesal! Pergilah sebelum aku memanggil bretya untuk menangkap kalian! Jangan pernah kembali lagi!"

"Dengan penuh rasa takut, mereka segera bangkit dan berlari."

"Paman jahat! Weekkk!" ejek Aruna sambil menjulurkan lidahnya seraya meninggalkan tempat itu.

"Dasar bocah!"

Dari kejauhan, Arutala dan Anila sekilas memperhatikan kejadian itu.

"Kakak, aku mau roti."

"Roti?"

"Ya, kak. Roti yang di sana itu."

"Baiklah, ayo kita beli."

***

GrahanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang