Sinar matahari menembus rimbunnya dedaunan, menyilaukan wajah Arutala yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia meluruskan tangannya dan mencoba untuk duduk. Kepalanya terasa pusing, ia berusaha untuk mendapatkan pandangannya kembali yang masih terasa kabur.
"Aaahh...." Arutala memegangi kepalanya, "apa yang terjadi padaku?"
Setelah berhasil mendapatkan pandangannya kembali, Arutala melihat ke sekitar.
"Kenapa aku tidur di sini? Apa yang sudah kualami?"
Arutala berusaha mengingat apa yang ia lakukan sebelumnya, namun ia tidak menemukannya dalam memorinya. Di saat ia bangkit berdiri, ia teringat akan sesuatu.
"Oh ya, Anila!"
Arutala memanggil-manggil nama adiknya, berusaha menemukan lokasinya berada.
"Anila! Anila! Di mana kau?"
"Aku di sini, Kak."
Arutala segera bergegas menuju sumber suara itu, rasa khawatir menyelimuti dirinya. Ia mendapati adiknya yang baru saja terbangun, masih membersihkan kotoran di matanya.
"Kau tidak apa-apa, Anila?"
"Aku tidak apa-apa, Kak. Kakak dari mana barusan?"
"Eee ... aku tidak ingat. Yang penting kau baik-baik saja."
"Hah, tidak ingat?"
Arutala melihat barang bawaannya berada di samping tempat adiknya tertidur dan segera meraihnya.
"Ayo kita pulang, Anila. Kau bisa berjalan sendiri, kan?"
Anila mengangguk pelan.
***
Sebenarnya apa yang kulakukan tidur di tempat seperti itu? Apa yang sudah terjadi padaku? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?
Anila keheranan melihat kakaknya yang diam membisu, tenggelam dalam lamunannya.
"Ada apa, Kak?"
"Ah, tidak ada apa-apa, Anila. Aku hanya bingung saja kenapa kita tidur di tempat seperti itu."
"Bukankah kemarin kita pergi berbelanja ke Samidawara. Kemudian yang kutahu aku tertidur saat perjalanan pulang."
Arutala memegang benda kecil yang mengikat rambutnya. Akhirnya, ia dapat mengingat apa yang sebelumnya ia lakukan.
Oh, begitu rupanya. Mungkin aku sangat kelelahan sehingga tertidur saat beristirahat di tepi jalan.
"Kak apakah kau baik-baik saja?"
"I—iya, Anila. Aku baik-baik saja, kok. Sepertinya aku sangat kelelahan sehingga tertidur di tempat tadi. Hahaha."
Suara keroncongan terdengar dari perut Anila, begitu pula Arutala.
"Kak, aku lapar."
"Iya, Anila. Aku juga. Tahan dulu sebentar, sesampainya di rumah aku akan memasakkan makanan untukmu."
Tak terasa mereka telah sampai di desa mereka, Desa Dumaya. Desa yang asri dan terletak di kaki Pegunungan Blawucala. Ia dan Anila telah tinggal bersama sejak kecil di desa itu. Mereka adalah dua bersaudara yatim piatu. Saat mereka kecil, seluruh warga desa membantu memenuhi kebutuhan mereka. Tak heran semua warga desa mengenal baik kedua kakak beradik itu.
"Halo Arutala, halo Anila," ucap sepasang suami istri dari halaman sebuah rumah. Tubuh keriput dan nada suara beratnya menunjukkan tuanya umur mereka.
"Halo Kakek, halo Nenek," jawab Anila ramah.
"Dari mana saja kalian? Sejak kemarin aku tak melihat kalian berdua," tanya sang kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grahana
ActionArutala, seorang remaja laki-laki yatim piatu hidup bahagia bersama adiknya di sebuah desa yang indah dan asri di kaki pegunungan. Suatu hari, ia bertemu dengan remaja yang sebaya dan bernasib sama dengannya saat berkunjung ke kota bernama Aruna. P...