Esoknya Ayah sering bertanya tentang Alvin dan pendapatku tentangnya. Tak banyak yang bisa kujawab, karena memang dulu sama sekali nggak dekat. Hanya sekadar tahu, kalau ia anak nge-hits di Fakultas Ekonomi kala itu.
"Dipikirin lagi betul-betul, Nak. Sudah banyak lho sebenarnya yang ngelamar, tapi kok ya ditolak terus. Umurmu itu sudah mateng, sudah waktunya mikir masa depan. Ayah sama Ibu juga pengen cepet-cepet nggendong cucu," ucap Ayah saat aku bersiap pergi bertemu Pipit.
"Iya, nanti dicicil, Yah." Aku mencium punggung tangan Ayah.
"Apanya yang dicicil?"
"Cicil bikin cucunya dulu," jawabku sambil ngacir keluar rumah.
"Woalah, nyebut, Nak. Nyebut!"
Aku tergelak mendengar teriakan Ayah dan segera melajukan motor sebelum dikutuk jadi Sandra Dewi. Selama perjalanan aku kepikiran ucapan Ayah. Tentang buat cucu? Bukan, bukan, tentang masa depan.
Kehadiran Alvin, rasanya kayak kejatuhan uang dari pesawat terbang. Demi apa, sih, Alvin tiba-tiba dateng ke kehidupanku?
Ingatanku seperti berputar ke masa lalu, tentang masa-masa kuliah. Kayaknya dulu aku nggak pernah dekat dengannya, apalagi sampai punya hubungan spesial. Tapi kenapa ia tiba-tiba melamar?
Ah, aku harus menyeledikinya!
***
"Jangan mimpi, deh. Masih pagi gini!"
Pipit tak percaya kalau kemarin adalah uang Alvin, ditambah ia juga melamarku.
"Serah kalau nggak percaya. Ngapain juga aku bohong." Aku kembali memasukkan pentol dower ke mulut.
Suasana Solo di Sabtu pagi ini sangat sejuk karena semalam habis hujan. Kami duduk di kursi taman Balekambang, niatnya mau olahraga lari-lari keliling taman, tapi malah lari ke gerobak jualan abang-abang pinggir jalan.
"Nggak percaya, ah. Lagian tahu sendiri selera Alvin itu kayak Sandra, Bella, yang good looking gitulah. Bukan indomie geprek macam kita, eh kamu aja ding. Aku mah udah punya cowok."
"Punya cowok doang, tapi nggak dinikah-nikahin."
"Lagi ngumpulin modal doi, Mir. Doain ngapa, kamu mah."
Aku tergelak. Pipit memang sudah pacaran lima tahun, kalau buat nyicil motor kayaknya udah lunas itu.
"Tapi kalau emang bener Alvin ngelamar, terima aja."
Aku mendesah panjang. "Masih takut."
"Masih kebayang yang dulu?"
Aku mengangguk.
"Nggak semua laki-laki kayak Om-mu itu. Buktinya ayahmu, papaku, bapaknya Ika, semua baik, kan?"
"Pengennya gitu, tapi rasanya masih trauma."
Kali ini Pipit tak lagi membalas, ia hanya mengangguk-angguk sambil menikmati batagor.
"Eh, jangan-jangan Alvin deketin kamu itu syarat dari Mbah dukun kali, biar usahanya laris. Katamu dia punya usaha kepiting, kan?"
"Syarat gimana?"
"Ya suruh cari perawan buat persembahan ke Mbah Dukun, terus ntar disembur. Bruhh!"
"Nggak usah pakai kuah bisa?" Aku mengusap wajah yang terkena semburan rasa batagor dengan tisu. "Tumbal dong?" lanjutku.
Pipit meringis, lalu mengangguk yakin. "Bisa jadi. Harus diselidiki bener-bener. Nah, katamu Alvin kemarin ngajakin ketemu sama kakaknya, kan? Kamu harus waspada, jangan-jangan pas pulang kamu tinggal nama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlalu Tampan
HumorBagaimana rasanya tiba-tiba dilamar pria tertampan di kampus?