Meleleh

261 14 1
                                    

"Inget, nanti jangan lama-lama lihat matanya Alvin atau kakaknya. Takutnya ada pelet, terus kamu kelepek-kelepek dan dibawa pulang buat tumbal!" ucap Pipit saat kami masuk ke area food court di Solo Grand Mall.

"Iya, iya. Lagian mana kuat aku lihat dia lama-lama, yang ada pingsan di tempat," balasku sambil mengantre membeli dua es teh cup. "Pokoknya aku harus kuat iman!"

Kebiasaan dari dulu, kalau pengen cuci mata di akhir bulan, cukup beli es teh lalu jalan-jalan muterin Mall sampai capek. Terus makan di luar yang lebih murah, tapi kalau awal bulan ... sama aja.

Suasana Mall sangat ramai, kebetulan hari ini sedang ada pertunjukan di panggung kecil, ada tiga orang di sana pianis, gitaris, dan penyanyi semua laki-laki.

Tadi aku sudah menghubungi Alvin kalau bertemu di sini saja, ia pun menyanggupi. Aku juga memberitahukan di mana posisiku. Beberapa saat kemudian, Alvin terlihat muncul dari eskalator, luar biasa pesonanya, dan aku lihat banyak pasang mata yang memperhatikannya.

Loh, baru sadar kok Alvin sendirian? Kakaknya mana?

Pria berkaus merah itu berjalan mendekat, semakin dekat dan membuat detak jantungku makin tak karuan. Semoga nggak copot.

"Aku pesen dulu, ya." Ia meletakkan kunci dan ponselnya di meja, lalu kembali pergi.

Aku berbalik menatap Pipit yang sedang makan di pojokan, dia malah terlihat sibuk makan dan menelepon entah dengan siapa.

Tak berapa lama, Alvin kembali dengan membawa nomor meja di tangannya. Nomor itu nanti yang akan memudahkan waiters mengantar pesanan, karena di sini ada berbagai macam jenis makanan dengan penjual yang berbeda-beda.

"Sendirian? Kakakmu?" tanyaku akhirnya setelah dia duduk di hadapanku.

"Nanti nyusul, dia masih ada acara."

Aku mengangguk-angguk. "Oh."

"Kamu sendirian?" tanyanya.

Aku mengangguk sedikit ragu.

"Nggak pesen makanan?" Matanya terarah pada cup es teh di depanku.

Mana bisa makan, minum aja rasanya kayak nelen pasir. Ini seperti kencan pertamaku selama hidup.

Aku menggeleng. "Tadi udah makan."

"Oh." Alvin mengedarkan pandangan. "Lama banget aku nggak ke sini, terakhir kayaknya pas mau sidang skripsi. Pusing belajar, malah lari ke sini."

Aku hanya mengangguk-angguk sambil menyeruput es teh yang sudah berbunyi pertanda habis. Weh, perasaan tadi masih banyak. Bocor pasti ini.

Alvin terkekeh, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tertunda karena pesanan sudah datang. Ada dua minuman dan dua steak ayam, aku menelan ludah karena memang lemah kalau udah berhadapan sama makanan. Aku segera memandang ke sisi lain, mencoba menikmati lagu yang dinyanyikan di panggung kecil itu.

Setelah waiters pergi, Alvin menyodorkan makanan dan minuman tadi ke arahku.

"Buatmu."

Tadinya aku mau langsung menerima, tetapi ingat ucapan Pipit, "Kalau ditawarin makan atau minum jangan mau, siapa tahu udah dijampi-jampi."

Aku hanya menelan ludah, sedangkan dia di sana asik makan semeja penuh.

"Tenang, ini nggak ada peletnya. Tanpa pelet pun aku bisa ngebuat kamu jatuh cinta."

Tunggu, jantungku. Ah ... ketusuk mulut buaya!

Tanganku bergerak, niatnya mau ambil garpu buat makan steak, eh malah kepegang piring besinya yang masih panas. "Aduh, dingin!"

Terlalu TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang