Aroma kopi yang begitu harum membangunkan indra penciuman tanpa permisi. Aku yang tengah terbuai mimpi seakan dipaksa bangun akan wanginya yang menggoda iman. Dinginnya AC yang membelai kulit sedikit membuatku menggigil. Dengan mata masih terpejam, kutarik selimut lebih tinggi dan meringkuk di dalamnya mencari kehangatan. Memeluk diri sendiri, bagai bayi di dalam rahim.
"Ah, ini baru nyaman," ujarku sedikit mengigau.
Tunggu dulu!
Mataku langsung terbuka. Jantungku mendadak berdetak kencang saking tegangnya. Tanganku mulai sibuk meraba-raba memastikan. Mengapa aku tidur tanpa memakai selembar kain pun? Kok bisa?
Kutarik selimut perlahan hingga kepalaku menyembul dan bisa melihat di mana diriku berada sekarang. Tempat tidur yang sedikit berantakan, suara debur ombak yang terdengar samar-samar dari pantai yang bisa terlihat dari ranjang di depan sana walaupun kelambu masih terpasang. Sinar matahari pagi yang hangat menerobos masuk dari celah-celah yang ada membuat tempat itu seakan mimpi.
Sepotong cincin yang terselip di jari manis menarik perhatianku. Aku tertegun, menyentuhnya dan memutar-mutarnya. Bayangan Karl yang tersenyum, bapak ibu yang tidak bisa menyembunyikan air mata bahagianya, teman-teman satu kantor yang begitu heboh, hingga pelukan hangat di bibir pantai. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
"Ah, jadi ini bukan mimpi," gumamku lirih.
"Dewi, kamu sudah bangun?"
Kelambu tersibak dari samping. Karl berdiri tegap menjulang dengan hanya berlilitkan handuk selutut. Dada bidangnya dibiarkan begitu terekspos dengan rambut-rambut halusnya yang kecokelatan. Terlihat begitu tampan dan seksi. Karl Werner tanpa kacamata benar-benar seperti model yang keluar dari majalah mode. Apalagi saat ia menyibakkan rambutnya yang basah ke belakang.
Mendadak kepingan ingatan berkelebat di kepalaku. Ciuman menggebu yang memercikkan api di seluruh tubuh, desahan yang membuat kulit menggeleyar, erangan yang tanpa sadar keluar dari bibir tanpa diperintah, juga sensasi kulit bertemu kulit penuh peluh yang baru pertama kali dirasakan. Apa ini? Mengapa pikiranku begitu mesum? Seketika mukaku terasa begitu panas. Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha mengusir adegan-adegan intim itu dari kepalaku.
Benarkah aku sudah melakukannya dengan Karl? Really?
"Are you okay, Dewi? Apakah kamu sakit?" nada suara Karl begitu khawatir.
Aku semakin mengkeret saat Karl telah duduk di samping ranjang, mendekatkan tubuhnya dan memeriksa dahiku. Mataku tak bisa berpaling dari bibirnya yang begitu dekat dan otot-otot perutnya yang begitu jelas seakan memanggilku untuk menyentuhnya. Aku menahan napas. Lagi-lagi ingatan tentang malam yang panas menyerang. Aku menelan ludah berkali-kali, tenggorokan mendadak menjadi kering. Perutku langsung terasa mulas dan tegang. Yah, semalam memang terjadi. Malam pertama kami sebagai suami istri.
"Kamu tidak demam," katanya lega.
Karl mengambil kacamata di atas meja kecil di samping ranjang, memakainya.
"Aku sudah memesan sarapan. Sepertinya sudah siap di teras kamar. Ayo bangun. Kita sarapan bersama." Karl memegang tanganku dan mencoba menarikku bangun dari tempat tidur.
Tapi aku berusaha tidak bergerak dan mencengkeram selimut dengan erat.
Karl melihatku dengan heran.
"Ada apa, my Maus?"
Aku tergeragap. Panggilan barunya untukku terlalu manis untuk kudengar.
"Bisakah kamu ke depan duluan, Karl? Nanti aku menyusul," kataku sambil menscreening di mana pakaianku yang kupakai semalam dan jarak ke kamar mandi.
Karl terdiam sebentar. "Apakah ada yang salah?" tanyanya sedikit was-was. "Apakah aku menyakitimu semalam saat aku menyentuhmu?"
"Apa? Ah, tidak, Karl. Bukan." Aku menggelengkan kepala keras-keras.
"Lalu kenapa?"
"Aku malu," jawabku sedikit serak dengan sangat lirih. Hampir seperti bisikan.
"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu."
"Aku malu," kataku dengan lebih keras sambil menghindari kontak mata dengannya.
"Malu kenapa?" Karl menjadi bingung. Tapi kemudian dia melihat ke arah tanganku, lalu tersenyum. "Kamu tak perlu malu, Dewi. Lagipula aku sudah melihat semuanya. Setiap sudut tanpa cela. Kalau kamu bertanya tahi lalatmu di mana saja, aku bisa menjawabnya."
Aku melongo. Cengo. Karl benar-benar barbar.
"Apakah perlu aku melepas handuk, agar kamu tidak perlu malu karena sama-sama telanjang?"
"Kaaaarl," protesku sambil menutup mulutnya dengan kedua tanganku. Aku tidak tahu semerah apa mukaku sekarang. Bagaimana dia bisa berkata sevulgar itu dengan terang-terangan?
Karl menurunkan tanganku, mendekatkan wajahnya, lalu mencium keningku lembut.
"As you wish, my Maus," ujarnya lirih sambil tersenyum, kemudian mencium bibirku singkat sebelum akhirnya berdiri. "tapi jangan lama-lama. Nanti kopinya keburu dingin. Atau aku akan membangunkanmu dengan caraku."
Kelambu kembali tersibak. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Karl berbalik.
"Dewi," panggilnya.
"Iya?"
"Last night was great."
"Karl, jangan menggodaku lagi."
"Yakin tidak mau mengulangnya pagi ini? Mumpung ada waktu sebelum check out?"
Kulempar bantal ke arahnya. Gemas sekaligus kesal. Tapi langsung ditangkapnya dengan sempurna. Karl tertawa kecil.
"Dewi,"
"Apa lagi?"
"I love you, Mrs Werner."
Jantungku berdegup kencang. Aku benar-benar tak pernah terbiasa dengan ucapan Karl yang satu itu dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman. Aku begitu mencintainya. Karl Werner, suamiku.
********
KAMU SEDANG MEMBACA
Longing for You
RomanceSekuel dari cerita My Daddy Long Legs. Cerita antara Dewi dan Karl setelah menikah.