Jiya rasa malam belum tiba. Kenapa ia sudah bermimpi?.
Laki-laki didepannya ragu, tapi tetap melanjutkan kalimatnya. "kurasa kau lupa, pernikahan ini hanya berlaku satu tahun, ingat? Bunda juga sudah tidak sakit. Lagipula.....", kalimat laki-laki di depannya terjeda cukup lama.. "Aku memiliki wanita lain yang menunggu kepastian dariku", kembali ia berhenti, kali ini untuk menarik nafas dalam. "jadi ayo bercerai".
"Kau.... bersungguh-sungguh? Maksudku.... kau... mmmm..... kau bilang.... maksudku tiga minggu yang lalu kau...... Keputusanmu sudah final?", yang ditanya diam. Menolak pun Jiya tak akan bisa. Memangnya dia siapa?
Tak mendapat jawaban apapun, Jiya mengangguk menjawab pertanyaannya sendiri. "baiklah. Aku akan mengemasi baju-bajuku. Lalu kau dan aku ke rumah ayah dan papa. Kau hari ini sibuk?".
"Aku sengaja libur hari ini", Jiya mengangguk lagi lalu segera berlari ke kamarnya.
Jiya mulai mengemas barang-barang yang masih berantakan, hanya beberapa, karena memang tidak ia keluarkan semua. Sengaja. Ia pikir untuk apa dikeluarkan semua kalau ia hanya akan tinggal sementara di rumah ini. Jiya sadar posisinya.
2 koper, 3 kardus sedang, 1 tas punggung sedang dan beberapa tas kecil sudah siap di dalam kamar Jiya. Untung saja ia tidak membuang kardus-kardusnya dulu saat pindah ke rumah ini, jadi Jiya tidak perlu susah lagi mencari kardus baru.
Sekali lagi Jiya susuri isi kamar, takut ada yang tertinggal. Dan benar saja, ada tiga benda keramat pemicu masalah di dalam laci samping ranjangnya, hampir tertinggal. Bisa panjang urusan kalau benar tertinggal.
Setelah dirasa sudah semua, ia segera berganti baju dan sedikit berhias. Setelah siap, Jiya berlari turun dan menghampiri laki-laki yang saat ini melamun di ruang tengah. "aku sudah siap, ayo berangkat".
"Kau... tidak mau ke sana akhir pekan saja?", Jiya memandang bingung.
"Ah, kau sengaja libur hari ini karena sudah memiliki janji? Kenapa kau tak bilang? Aku sudah siap dan kau baru bilang. Baiklah, kau dan aku pergi akhir pekan saja", Jiya berbalik lesu.
"Aku tidak punya janji hari ini".
Mendengar itu, Jiya cepat berbalik. "Kalau begitu pergi sekarang saja, kau tunggu apa lagi? Jangan membuang-buang waktu, jangan membuat wanita mu menunggu lebih lama lagi. Ayo".
"Kau kunci pintunya ya, ini". Setelah memberikan kunci rumah, Jiya langsung masuk mobil dan duduk diam. Jangan pikir Jiya tidak sedih. Wanita mana yang tidak sedih kalau dalam waktu dekat ia akan bercerai.
Jiya sedih. Pasti. Ia hanya tidak mau menunjukkannya. Jiya juga lelah, ia juga ingin berhenti. Meskipun akan ada banyak hati yang sakit.
"Kau yakin akan ke sana sekarang? Kau tak ingin jalan-jalan saja hari ini? Aku bisa menemanimu seharian, dan ke sana akhir pekan".
Jiya menoleh, "Jevan", sang pemilik nama menoleh, tetap tak berekspresi. "kau sakit?", Jevan menggeleng samar.
Jiya menghela nafas, "kau aneh hari ini. Kau memberiku kabar mengejutkan dan mengatakan hal mengejutkan lainnya. Kau sangat lucu hari ini", Jiya tersenyum menjeda kalimatnya. "selama hampir setahun ini, kau hanya akan mengangguk dan menggeleng, juga tak berekspresi. Kau tak pernah tersenyum, marah juga tidak. Kau selalu diam. Aku bahkan tidak tau apa makanan kesukaan mu, hal apa yang kau sukai, apa yang kau benci".
Jiya menarik nafas dalam. Sesak. Dadanya terlalu sesak untuk ini. Tapi ia harus menyelesaikan. "kau memberiku uang, kau bertanggung jawab atas materi untukku. Tapi kau diam. Kau memberiku kebebasan melakukan apapun, tapi kau lupa menanyakan keadaanku. Kau lupa bertanya bagaimana hidupku. Aku selalu berharap kau mengatakan makananku keasinan, supku kurang garam atau tehku kurang gula. Kau lupa hal itu. Kau juga lupa untuk memarahiku. Kau lupa bertanya saat aku bahkan tidak memasak untukmu. Kau juga lupa cara berbicara selama ini. Aku mengandalkanmu, tapi ternyata kau punya orang lain yang lebih handal".
"Jevan, aku tidak punya kenangan indah bersamamu, dan dengan kota ini, jadi ayo jangan buat kenangan apapun hari ini. Aku sudah cukup sampai disini. Terima kasih atas semuanya. Semua yang kau ingat dan tidak. Kau tak perlu melakukan apapun lagi, cukup selesaikan", Jiya memandang ke depan. Sunyi. Jevan tidak tahu harus menjawab apa.
"Ayo berangkat, ini sudah sangat terlambat", suaranya bergetar, tapi senyum tetap ada di wajahnya. Jevan mengangguk dan mobil mulai melaju.
***
Waktu berlalu dengan sunyi. Tak ada yang bersedia membuka suara. Baik Jiya, Jevan ataupun sang waktu sendiri. Bahkan jika mereka melakukan perjalanan di malam hari, suasana akan sangat terasa mencekam.
"Ehm.. kau tidak keberatan jika aku minta berhenti di minimarket itu?", Jiya menunjuk satu minimarket yang terlihat dari lampu merah tempat mereka berhenti.
Jevan mengangguk, tapi Jiya tidak tahu. Jiya sepertinya lebih suka melihat jalanan daripada suaminya.
"Kau mau titip sesuatu?", Jiya menoleh setelah tangannya sedikit membuka pintu mobil. "Kau menyebalkan. Tinggal jawab tidak apa susahnya. Sebegitu bencinya kau padaku? Sampai semua pertanyaanku tak kau jawab". Segera ia keluar mobil dengan kesal.
Jevan menghela nafas. Ia rasa Jiya hari ini sedikit tidak sabaran. Selama hampir setahun tinggal bersama, belum pernah ia lihat Jiya seterbuka ini dalam hal ucapan. Selama ini Jiya hanya akan berbicara secukupnya. Setahu Jevan seperti itu.
Tak lama Jiya kembali. Membawa satu kantong plastik sedang ditangan kiri dan satu botol air mineral 1,5 liter ditangan satunya. Sedikit kesusahan dengan muka yang masih kesal. Kenapa Jevan jadi gemas melihatnya.
"Ini untukmu semua. Aku tak tau apa yang kau suka diperjalanan. Camilan favoritmu juga aku tak tahu, jadi aku ambil beberapa yang ku rasa enak. Jangan lupa minum air putihnya".
Satu hal yang Jevan tahu dari Jiya adalah Jiya merupakan penggila air putih. Kemanapun Jevan pergi, Jiya selalu menyiapkan air putih di dalam botol untuk ia bawa. Kalau Jevan meninggalkan di rumah, maka botol itu akan lebih dulu masuk mobil sebelum Jevan.
"Kau tidak membeli apapun?", Jiya menoleh cepat. "Kau berbicara padaku?".
Lagi. Jevan diam. "Aku sudah bawa bekal dari rumah. Minum juga sudah. Maaf aku menggunakan bahan makanan mu agak banyak. Kalau kau dan aku bertemu lagi akan aku ganti".
Jevan menghela nafas lagi. "Kita belum bercerai. Apa yang ada di rumah masih milikmu juga. Kau bisa gunakan semuanya".
"Kita? Belum bercerai?", Jiya tertawa miris. "Karena hari ini adalah hari perceraian yang sangat kau tunggu-tunggu. Sampai-sampai kau bisa mengatakan 'kita'? Dan belum bercerai? Kata-kata mu seolah kau sangat berat melakukan perceraian ini", Jevan menoleh.
Jiya tersenyum, "Maaf, aku sangat sensitive hari ini. Kau bisa jalankan mobilnya. Aku akan tidur".
***
Tbc 🌼🌼
Thank you 😄😄
![](https://img.wattpad.com/cover/280508963-288-k836755.jpg)