JALAN-JALAN

3 1 0
                                    

Yola sudah pamit untuk bekerja semenjak pagi buta. Gadis itu bilang ada pekerjaan mendesak yang harus segera ia selesaikan. Rinai hanya mendengus sebal, sudah biasa dan akrab sekali dengan hal mendesak yang Yola sebutkan.

Setelah selesai sarapan, Rinai mengajak April pergi jalan-jalan.

"Kamu ... sudah lama tinggal bareng ka Yola?"

Mereka kini tengah menyusuri jalan setapak. Rinai mengartikan kata jalan-jalan dengan arti yang sebenarnya. Jalan kaki.

Rinai menghitung jarinya, "sekitar dua tahun kayanya."

April manggut. Cukup lama. Pantas saja mereka terlihat begitu akrab. April bahkan mengira mereka kaka-adik kandung bila saja Rinai tidak mengatakannya kemarin malam.

Rinai mendongak, menatap langit. Ia jelas masih ingat hari pertama saat dimana dia bertemu dengan Yola. Situasi konyol nan canggung namun justru membuatnya kini tinggal serumah dengan gadis itu.

Ya, rumah yang mereka tinggali kini adalah rumah milik Yola. Tidak terlalu besar memang. Hanya terdiri dari tiga kamar ukuran kecil, satu ruang makan, dapur yang berukuran kecil serta kamar mandi. Sederhana. Tidak ada barang-barang berharga. Hanya rumah sederhana dengan kehangatan tersendiri.

"Apa kau ingin terus tinggal dengan kami?" tanya Rinai.

"Emang boleh?"

"Kayaknya sih boleh. Yola juga keliatannya suka sama kamu."

April tersenyum senang.

"Yola itu tipe orang yang kalo gak suka dia pasti ngomong. Gak ada tuh pake acara diem atau pura-pura ngambek," tutur Rinai.

Kini mereka berebelok ke jalan yang lebih besar. Ada banyak toko-toko berjejer rapih. Dari yang hanya ukuran satu kotak kecil sampai yang bertingkat-tingkat. Lalu lintas jalan yang cukup padat sempat macet, mengingat jam-jam pagi yang pastinya ramai dilalui oleh para pekerja kantoran, karyawan pabrik, dan ibu-ibu yang berniat belanja ke pasar.

Mereka memasuki salah satu toko. Manik Rinai seketika berbinar cerah, bergerilya menelisik setiap sudut isi toko. Berbanding terbalik dengan April yang seketika tertunduk lesu. Ya, mereka mendatangi toko buku. Favorit Rinai dan hal yang tidak April suka.

"Kau boleh mengambil buku apapun yang kau mau. Biar aku yang bayar."

Rinai tengah memilah novel yang berjajar di rak paling depan. April berdiri di belakangnya.

"Gak usah. Lagian buku dari kamu aja kan udah banyak," tolak April dengan halus. Rinai mengangguk. Benar juga. 

"Siapa penulis favoritmu?" tanya Rinai. Kali ini mereka berjalan ke lorong novel fantasi.

April terkesiap. Penulis favorit? Ia bahkan tidak suka membaca bagaimana mungkin ia punya penulis favorit.

"Ada sih, ya...."

"Rinai!"

Seorang gadis yang sepertinya seumuran dengan Rinai berlarian kecil mendekati mereka. Tubuhnya lebih tinggi dari Rinai dengan rambut panjang sebahu.

Demi melihat gadis itu datang, Rinai menghela nafas sebal. Dia baru saja akan berlari menghindar bila saja gadis itu tidak lebih dulu menarik bajunya.

"Hei, mau pergi kemana kau?" ancam gadis itu.

Rinai meringis.

"Dari mana kau tahu aku sedang berada di sini, Mega?"

Mega tersenyum lebar. "Jelas karena ini adalah takdir, Rinai. Hari ini aku bahkan sudah berniat untuk tidak mencarimu, memilih jalan-jalan santai ke toko buku saja ketimbang harus mengejar penulis yang suka telat deadline sepertimu. Dan ajaib, aku justru bertemu denganmu di sini."

PALETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang