18. Ungkapan Kedua

755 133 77
                                    

Juna tidak pernah tahu apa yang mereka perbincangkan tanpa dirinya tadi malam. Ketika empat orang itu masuk ke ruang rapat kecil di lantai tiga, ia langsung kembali ke paviliun. Duduk di balik jendela yang gordennya sesekali disingkap untuk melihat keadaan luar. Sampai pukul dua-belas malam, barulah ia menemui keberadaan Ryn yang lamat-lamat berjalan menuju kamar tamunya.

Hingga esok hari, ketika Juna melihat Ryn meregangkan otot-otot di teras kamar, ia hanya memandangi dari balik jendela. Mau bertanya perihal apa yang mereka bicarakan pun rasanya segan. Biarlah penasaran daripada tak sopan ingin tahu urusan orang.

"Lagi ngapain, Dang?" Ryn mendekati tukang kebun yang muncul dari belakang paviliun.

"Ini, habis buang daun-daun kering."

Gorden lekas ditutup saat melihat ancang-ancang wanita itu menoleh ke arahnya. Tanpa peduli apa pun, langsung berjalan menuju deretan foto-foto yang terpajang. Kertas foto berukuran kecil, yang sejak tadi ia pegang, kini dilekatkan ke dinding-bersebelahan dengan fotonya saat berada di Pulau Badi.

 Kertas foto berukuran kecil, yang sejak tadi ia pegang, kini dilekatkan ke dinding-bersebelahan dengan fotonya saat berada di Pulau Badi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Foto ini diambil pada sore hari sebelum kepulangan gadis itu ke kota, ketika dia nampak memotret lautan menggunakan kamera ponsel.

Tak jauh dari foto itu juga, sudah ia pajang foto Ryn sewaktu snorkeling. Wajahnya barangkali tidak terlihat sebab rambut menutupinya, tapi dari postur, mungkin beberapa orang akan mengenali bahwa itu Ryn. Juna tak peduli jika orang tahu. Sebab paviliunnya jarang dimasuki. Kalaupun ada yang menyadari foto Ryn terpajang di sana, dia bisa beralasan; apa salahnya memajang foto saudara ipar, kan?

"Dadang, pohon Kamelia di sini udah ada dari kapan?"

"Sejak tiga tahun lalu, Mbak. Waktu itu, Den Juna pengin nambahin tanaman yang bisa bikin halaman lebih asri."

Oke, berarti pengakuan sang pria yang mengatakan bahwa bunga di sini dia sendiri yang nanam, dapat Ryn percaya sekarang. "Lumayan lama juga ya. Aku baru tahu kalau Kamelia bisa tumbuh segini besar."

"Ini pohon yang gede-gedenya, tapi makin jauh ke paviliun Den Juna, tumbuhnya kecil-kecil karena ditanam dalam pot. Katanya biar ngga terlalu menutupi pandangan."

"Oh, gitu."

Ryn lalu membantu Dadang mengumpulkan daun-daun kering yang gugur, kemudian memasukkannya ke tong sampah.

"Dang, Mas Juna itu orangnya gimana menurut kamu?"

"Baik hati tentunya, Mbak. Suka bantu orang-orang di sekitar sini. Saya sama pekerja yang lain sering dibeliin makanan juga sama dia. Terus, walaupun sibuk kerja, Den Juna selalu menyempatkan waktu untuk mengecek kondisi taman ini, katanya bunga ini spesial."

Manggut-manggut Ryn mencerna. Matanya kembali melirik paviliun yang semua jendelanya tertutup rapat. "Mas Juna sering pulang ke rumah?"

"Kadang-kadang aja. Apalagi kalau ada acara keluarga besar kayak tadi malam. Tapi biasanya dia lebih banyak kerja di lapangan." Dadang lagi memadatkan isi tong sampah agar bisa memuat lebih banyak daun kering, begitu ia teringat sesuatu, "Eh, Mbak Ryn, nama belakangnya sama ya dengan bunga ini. Camellia, kan, Mbak?"

[✓] A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang