Bandung, 25 Februari 2019
Suara kricikan yang bersumber dari perasan air kompres kini menaungi kamar sang Ibu tercinta, Lestari. Berpadu dengan suara jangkrik di malam hari menjadikan suasana terasa lebih sunyi, apalagi mengingat rumah Harsa yang keberadaannya dikelilingi oleh pohon bambu dan jati.
Keberadaan rumah Harsa memang tidak strategis, letaknya itu sedikit masuk kedalam pedesaan yang kebetulan desa tersebut dikenal dengan banyaknya ratusan pohon bambu bertebaran. Mungkin jika orang lain tinggal di pedesaan Harsa, mereka akan terus mengeluh tidak betah karena sangat susah untuk mendapatkan sinyal.
Berbalik 180 derajat dengan Harsa, lelaki yang tahun ini menginjak angka 17 justru tidak pernah mengeluh sama sekali. Harsa malah bersyukur, bisa menempati lingkungan yang dikelilingi para warga berhati baik dan selalu bersedia membantunya mulai dari hal sekecilpun.
Seperti suatu kejadian waktu Harsa masih umur 10 tahun, ketika dia nekat mencabuti pohon ubi Cilembu di perkebunan milik ibunya yang jaraknya jauh dari rumah. Saat hendak dicabut, rasanya sangat keras, hingga telapak tangan Harsa memerah sangking lamanya ia berusaha mencabuti ubi tersebut. Sekitar 40 menit lamanya ia tidak berhasil, Pak Hardi— tetangga Harsa tak sengaja melihat anak itu kesulitan hingga menangis emosi. Langsung saja Pak Hardi datang membantu Harsa, bersamaan dengan gelakan tawa khas bapak-bapak yang terkesan meremehkan bocah itu.
Sebuah anugerah besar dirinya dapat dibesarkan di Bandung, sebuah kota asri dengan sejuta kenangan masa kecil yang tentunya akan tersimpan abadi didalam memori.
"Harsa, kunaon teh kamu belum tidur?" Ibu tiba-tiba bertanya setelah sekian lama kedua matanya terpejam, bukan terpejam karena terlelap, melainkan terpejam menikmati hangatnya kain kompres yang sudah Harsa celupkan berkali-kali.
Harsa tersenyum tipis, tatapan yang diberikan kepada Ibunya tidak pernah berubah dari dulu, terlihat sangat tulus. "Sakedap deui, ah. Harsa tau Ibu belum tidur, makanya Harsa masih disini," jawab Harsa dengan suara lembut, berlanjut tangan kanannya yang bergerak mendarat di pipi Ibu, lalu diusapkannya dengan pelan.
"Ya ngga boleh begitu atuh, Har-"
"Sssttt, iya iya Harsa bakalan tidur kalo udah denger ibu ngorok," Ibu sontak tergelak mendengarnya, kemudian menepuk lengan Harsa pelan dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik kesamping. Lantas Harsa hanya cengengesan seraya menjauhkan badan saat Ibu hendak kembali memukul tipis lengannya.
Suasana seperti inilah yang sering Harsa rasakan saat sedang bersama Ibu, sekejap rasanya hangat walaupun udara di Bandung terkadang sangat dingin. Selain itu, momen-momen seperti inilah yang Harsa nanti-nantikan setiap malam, meski dirinya sudah kekurangan satu anggota yaitu Abah, yang telah pergi meninggalkan kewajibannya sebagai kepala keluarga, mengingat hanya karena masa perekonomian dulu sangat susah untuk jaya.
"Ya masa Ibu kudu ngorok dulu baru kamu bisa tidur, Har? Maneh mah aya-aya wae."
"Ya ibu tinggal merem wae, ntar juga lama-lama ngorok kayak gini nih..." lelaki ini tiba-tiba menghadap lurus kedepan sambil menarik nafasnya dalam-dalam seperti sedang bersiap melakukan sesuatu. Dan detik kemudian...
Ngookk!
Harsa sontak berkacak pinggang layaknya pahlawan superhero, hingga kedua matanya ikut terpejam dan gelakan tawanya yang sengaja dibuat-buat. "Dengerkan, Bu? Nah kayak tadi lah kira-kira suara ngoroknya Ib-,"
Ngookk...
Harsa terkejut bukan main saat indra pendengarnya menangkap sebuah susulan suara ngorok yang baru saja dibuatnya, lantas kepala Harsa menoleh kesamping, mendapati Ibunya yang sudah tertidur pulas dengan suara ngoroknya yang terus bersinambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our 40 Days || Lee Haechan
Novela JuvenilKala itu, tahun 2006. Sebuah pertemuan di depan papan peringkat sekolah bukan hanya awal dari persaingan, tapi juga awal dari sebuah perasaan yang tak terduga. Seperti dua bintang yang terpisah di malam hari, mereka saling menatap namun tak pernah b...