AWAN menghitam kala seorang perempuan kecil berambut ikal hitam panjang sedang meraung histeris dipinggir sungai. Wajahnya dibanjiri oleh bercak-bercak air mata yang mengering. Sepertinya ia sudah lama menangis. Namun, tetap saja ia tak berhenti meracau memanggil-manggil sebuah nama. Mama.
Aku menatapnya iba dari seberang jalan. Kuputuskan untuk menghampirinya setelah lima belas menit berlalu dan tidak kutemukan orang lain berjalan melintasinya. Tempat ini benar-benar seperti tidak berpenghuni. Tak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi pada gadis kecil itu bila mobilku tidak melintasi jalanan sepi ini.
"Adik kecil, siapa namamu, Sayang?"
Mendengar lantunan tanya yang keluar dari bibirku, isakannya mereda perlahan. Kepala yang tadinya tertunduk kini mendongak dan menatap mataku dalam. Ada kepedihan yang tak terungkapkan kala aku berusaha menyusuri kedalaman tatapannya. Perempuan kecil ini ketakutan.
"Nama adek Aruna, Kakak," jawabnya lirih.
Ini pertanda baik. Ia menjawab pertanyaanku, yang artinya ia tidak takut akan kehadiranku.
"Anak pintar." Kuelus pelan puncak kepalanya. Ingin memberi kesan bahwa ia akan segera baik-baik saja.
"Kamu kenapa di sini? Orang tua kamu di mana, Sayang?" tanyaku lembut sembari jongkok di hadapannya untuk menyamakan arah pandang kami.
Air mukanya kembali muram. Dialihkannya pandangannya dariku dan menatap ke sembarang arah. Bibirnya bergetar. Setetes kristal kembali keluar dari pelupuk matanya. Astaga, sepertinya aku sudah menyentil perasaannya.
"Mama, jahat! Mama buang adek di sini, Kakak," lirihnya.
Isakannya kembali keluar. Segera kupeluk tubuhnya erat; menenangkannya.
"Shhh ... tenang ya, Sayang. Ada kakak di sini."
Berangsur-angsur tangisnya pun mereda.
"Rumah kamu di mana, Sayang?"
"Di jalan Jambu nomor dua belas, Kakak."
"Kakak antar pulang, ya?"
"Enggak mau! Adek takut, nanti Mama buang adek lagi. Mama gak suka sama adek."
"Enggak boleh ngomong gitu, Sayang."
"Emang bener, Kakak. Mama tadi yang ngantar adek di sini. Kata Mama mau pergi sebentar, tapi sampai sekarang gak dateng-dateng. Adek emang udah nguping semalem kalo Mama sama Nenek nyusun rencana buat buang adek," tuturnya serius.
Astaga, kisahnya mirip sepertiku.
"Kak, Adek salah apa, sih? Kok Mama tega buang adek?" tanyanya polos dengan air mata yang kembali merembes di wajah sendunya.
Aku menatapnya miris. Seolah melihat cerminan diriku di masa lalu.
"Kamu gak salah apa-apa, kok, Sayang. Mama kamu yang salah udah jahatin gadis manis kayak kamu. Udah, kamu gak usah sedih lagi. Kamu itu istimewa, kamu itu berharga. Kamu anak yang hebat. Kamu anak kuat dan pasti bisa ngelewatin semua ini." Aku tidak tahu harus berbuat apa, tapi semoga ucapanku berhasil menenangkannya.
Kubuka ransel biru yang sedari tadi menempel di punggungku. Kuambil sebuah buku diari tebal berwarna biru muda polos yang baru saja kubeli tadi dari toko buku. Lalu, kuberikan pada gadis kecil ini.
"Ini, kakak ada hadiah spesial untuk kamu, Aruna."
Diterimanya diari pemberianku dengan mata berbinar. Kesedihan dari rautnya menguap begitu saja. Aku lega melihatnya.
"Terima kasih, Kakak cantik!" serunya girang. Pandangannya tak lepas dari diari itu.
"Mulai sekarang, apa pun perasaan yang ada di hati kamu, luapkan dalam diari ini, oke? Dia sahabat kamu sekarang," ucapku.
"Ooh gitu, ya, Kakak. Asyik! Adek punya sahabat sekarang. Kalo gitu adek beri nama dia Bluri. Iya! Namanya sekarang Bluri."
"Apa itu artinya?" tanyaku penasaran.
"Kata Bapak, biru itu bahasa inggrisnya blue. Kan buku ini warna biru, jadi adek namain bluri yang artinya blue diari. Gitu, Kakak."
Aku terkekeh pelan, "anak pintar." Kuelus kembali puncak kepala Aruna.
"Kamu sudah dapat hadiah dari kakak, kan? Sekarang kamu kakak antar pulang, ya?"
Aruna mengangguk tanpa ragu. Kugenggam lembut tangan kirinya dan kami pun berjalan beriringan menuju mobil yang sedari tadi kutinggal dengan mesin yang masih menyala diseberang jalan. Untung saja tidak ada manusia jahat.
Begitu masuk ke dalam mobil, kutatap lagi perempuan kecil yang mengenakan dress warna biru muda itu. Ia sepertinya sangat menyukai diari pemberianku yang secara tak sengaja berwarna senada dengan gaunnya.
"Kita berangkat, ya, Sayang?" tanyaku pada Aruna.
Ia membalas dengan anggukan dan senyum yang begitu manis.
Kujalankan perlahan mobil yang kukemudikan ini. Sepertinya aku sudah tahu harus menulis kisah apa untuk fiksi karanganku selanjutnya.
Perlahan, gerimis turun dan menyapa bumi seiring melesatnya kendaraan beroda empat ini. Alam seolah menemani batinku yang mulai merancang kisah baru untuk nanti kutuang dalam untaian paragraf.
Hai, Bluri!
Hidupku mungkin akan penuh cerita
dengan ragam peristiwa yang
belum tentu akan dipenuhi tawa.
Namun, aku yakin pasti bisa melewatinya.
Kota Lemang,01 September 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
HAI, BLURI!
Teen Fiction【ONGOING】 ______________________ Panggil ia Aruna. Si gadis pemilik buku diari berwarna biru yang begitu taat pada segala titah papanya. Gadis polos yang kesehariannya begitu monoton. Tidak ada kekasih sampai ia menyelesaikan studinya. Hingga Aruna...