KAWIN KIYAI

4 1 0
                                    


K A W I N   K I Y A I
S-Dimaksum1
1Penulis: Ds. Kiajaran Kulon, Blok. Pelabuhan, Rt/Rw. 14/04, Kec. Lohbener-Indramayu

Proyek tanah di desa Loyang kerap terjadi manakala musim kemaru tiba, mobil-mobil besar berkeliweran membuat debunya berhamburan, keramik teras rumahlah yang menjadi imbasnya meski sudah berkali-kali disapu. Tanah yang diambil dari sawah dekat hutan Sinang akan dijual ke beberapa warga yang membutuhkan tanah tersebut untuk pengurugan empang atau lobang lain yang ingin digunakan untuk mendirikan bangunan.
Sarman atau lebih sering dikenal Kang Sar beliau mandor proyek tanah yang tengah digarap di desa Loyang, Kang Sar aslinya orang Losarang karena kedekatannya dengan pejabat-pejabat daerah beliau diberi kepercayaan untuk memegang proyek yang berada di desa Loyang. Beliau menyewa rumah waraga untuk ditinggali bersama pekerja-pekerjanya agar tidak bolak-balik Loyang-Losarang yang jaraknya lumayan jauh.
Setiap malam Kang Sar dan salah satu pekerja kepercayaannya Darso nongkrong diwarung kecil dekat Masjid hanya untuk sekedar ngopi dan melepas lelah. Darso aslinya orang Larangan beliau ikut dengan Kang Sar setelah menikah dengan teman istrinya Kang Sar, teman istrinya Darso sering mengeluh karena suaminya tersebut tidak bekerja-kerja merasa kasihan Kang Sar menawari pekerjaan di proyek menjadi sopir truk karena Kang Sar tahu jika Darso bisa menyetir.
“Kang, ko esuk kita ijin balik dikit pengen ngenekaken duwit ning Kisem” kata Darso sambil menyruput kopinya.
Kang Sar menyeruput kopinya dengan pelan “yawis asal embene langsung mene maning”
“iya Kang, bengi gah wis ana ning Loyang”
“Yawis, karo nyambat delengen anak karo rabine kita pada waras beli”
“tenang ko kita lewat mono sedurung meng umah”
Kang Sar merogoh saku celannya mengeluarkan dompet “kih titip duwit wenekaken ning Liah, karo warakaken maaf kitane durung bisa balik”
“yawis iya Kang, ko tek sampeaken ning rabine dika”
Kang Sar tidak menjawab ia hanya menyeruput kopinya sambil memandang kubah masjid Loyang. Setiap kali menatap kubah masjid jantung Kang Sar bergetar ada rasa takut dengan akherat, hatinya ingin masuk ke masjid dan beribadah didalamnya namun tubuhnya masih belum siap untuk bertemu dengan sang pemilik masjid.
Dari gapura masjid keluar wanita muda dengan kerudung terselempang dikepalanya begitu saja, wajahnya terus menunduk manakali melewati Kang Sar dan Darso yang tengah duduk diwarung. Tidak jauh dari situ entah apa yang jatuh membuat si wanita berhenti sejenak mencari benda yang jatuh bolak-balik sebanyak tiga kali, hal tersebut membuat Kang Sar dan Darso kebingungan lalu mendekati wanita muda tersebut.
“lagi nggati apa Nok?” Tanya Darso penasaran.
Mendengar suara Darso wanita muda kaget dan menengadakan kepala tepat ke mereka berdua tatapnnya tajam apalagi ketika melihat lelaki tinggi tegap dengan kumis tipisnya dan berpenampilan rapih berbeda dengan Darso di samping Kang Sar.
“Eh, iki Kang nggati Pin ekene Mimi nepluk” kata wanita tersebut sedikit malu-malu.
“Pin, kayangapa bentuke Nok?” kembali Darso bertanya.
“bentuke kembang warnane emas”
“yawis senoke meneng dikit endah kita sing gati” kata Darso langsung menysuri jalan dan rumput-rumput disamping jalan tersebut.
Wanita tersebut hanya berdiam diri tepat di samping Kang Sar dengan jantung berdebar-debar. Sedangkan lelaki berkumis tipis disamingnya masih memperhatikan Darso yang tengah menyibaki rumput-rumput.
“Kesuwn Kang” kata wanita disampingnya tiba-tiba.
Kang Sar langsung menengok ke arah wanita tersebut “eh, sing gati Darso dudu kita” Kata Kang Sar terdengar gerogi dengan senyum anehnya.
“diwakili meng Kakang bae” katanya sambil tersipuh.
Kang Sar tersenyum “barian gah masih durung ketemu wis kesuwun”
“ora apa-apa Kang, dudu masalah ketemu embuh beline tapi niate” katanya pelan sambil memandang Darso.
“yawis kita gah melu nggati bokat bae kita sing gati mah ketemu” kata Kang Sar sambil melirik ke arah wanita disampingnya.
Kang Sar meminjam senter di warung mencari pin miliki Ibu si wanita yang barusan keluar dari gerbang masjid. Dengan penerangan yang cukup Kang Sar melihat pantulan berkilau tidak jauh dari tempat Wanita tersebut berdiri, senter terus ia arahkan ke dekat si wanita sampai terlihat jelaslah wajah putih nan cantik wanita tersebut dengan titik hitam kecil dibawah pojok mata kanannya terlihat indah.
“Kang serab ih” kata wanita tersebut sambil menutup matanya.
“eh, punten Nok orang sengaja” kata Kang Sar langsung mematikan senternya dan mengambil benda kecil tepat dibawa kaki wanita tersebut.
Si wanita memundurkan badannya manakal Kang Sar hendak mengambil benda tersebut rupanya ada sedikit rasa curiga kepada lelaki berkumis tipis.
“ih lagi apa Kang?” kata si Wanita kaget.
“aih punten Nok, ikih” kata Kang Sar memberikan pin bentuk bunga berwarna ke emasan.
Setelah mengambil pin tesebut rupanya si wanita merasa malu sudah menaruh curiga pada lelaki berkumis tipis.
“Kesuwn pisan Kang, wis ketemu” terlihat senyum dibibirnya membuat Kang Sar semakin terpesona pada wanita dihadapannya, dasar lelaki lihat cantik langsung lupa dengan yang dirumah.
“iya Nok kalem bae, Kita seneng bisa ngebantu senok” Kang Sar tersenyum tipis.
Pipi si wanita memerah senyumnya terlihat malu-malu “Punten arane Kakang sapa ya?”
“Sarman, beluk bae Kang Sar” tatapan matanya tajam masih dengan senyum tipis di bibirnya.
“Saminih” katanya tiba-tiba.
“ah . . .” Kata Kang Sar sambil mendekatkan wajahnya.
“Saminih arane kita Kang” katanya sambil menundukan kepala.
Kang Sar langsung memundurkan badannya kembali sambil tersenyum genit pada wanita disampingnya, si wanita hanya tersenyum menundukan kepala sambil malu-malu dan sesekali melirik ke arah Kang Sar lelaki tampan mandor proyek tanah.
***
Satu minggu berlalu terlihat Kang Sar tengah duduk diatas sofa tepat dihadapannya duduk wanita cantik berambut panjang dan terlihat jelas senyum di bibirnya. Tatapan mereka mengisyaratakan asmara tengah terjalin diantara keduanya, oh lelaki mana yang tidak tergoda dengan Saminih perimadona desa Loyang.
“Nok, kaya-kayane Kakang seneng pisan ning senok” kata Kang Sar sambil menatap Saminih.
Terlihat rona merah di pipi wanita ayu tersebut “apa maning kita Kang, baka awan sering kebayang, baka bengi sering ke impi” Saminih langsung menundukan kepalanya malu mungkin.
“sing bener sih Nok” Kang Sar mendekatkan wajahnya menengok Saminih yang tengah malu-malu.
“beneran Kang, kita gah ora ngerti nang apa bisa demen ning wong sing duwe rabi” wajah Saminih menandakan jika ia tengah serius “embuh karena rupane, apa karena eman karo kasih sayange . . . Kita ora apa-apa beli dikawin asal uripe dijamin, tapi lamon bisa padu kawin kiya bae Kang endah Mimi karo Mama sing nyakseni” senyum tipis terlihat dibibir Saminih penuh harapan.
“Senoke bagen mung dadi simpenane Kakang?”
“senajan urip kelanti, ditiliki mung seminggu sepisan, Kita bagen Kang . . . cintane kita wis bereg-beregan ning Kang Sar” raut wajahnya masih terlihat serius bahwa ia sangat bersungguh-sungguh.
“baka iya mengkonon engko dina Senen Kakang bakal marek ning wong tuane senok, ngelamar Senok Saminih sing ayu dewak”
“sing bener Kang, ora ngebohongi kan?”
“ora bakal bisa bohong Kakang ning senok, omongane kita sungguh-sungguh sing jero kalbu”
“bagen apa lamon bohong?”
Kang Sar meraih tangan Saminih menggenggamnya dengan erat “lamon Kakang bohong Kakang begen edan Nok, ora bisa dadi siji karo senok” katanya lalu mencium tangan Saminih.
Wanita ayu dengan titik hitam dibawah matanya tersenyum malu akan perlakuan Kang Sar yang handal dalam merayu.
***
Pernikahan tanpa janur kuning yang melengkung terlihat berlangsung dengan saksi Darso dan kedua orang tua Saminih. Sahnya pernikahan selesai melapalkan mantra sakti dan diakhiri dengan ciuman hangat di kening Saminih, senyum bahagia terlihat mengembang diantara keduanya meski sejujurnya di dalam hati Kang Sar ada rasa yang mengganjal akan bayangan anak istrinya mendadak muncul begitu saja. Namun yang jauh tetaplah jauh yang dekat memang nikmat untuk dipandang begitulah peribahasanya bagi Kang Sar saat ini.
Setelah penghulu pergi meninggalkan kediaman orang tua Saminih, Kang Sar menggandeng wanita ayu disampingnya masuk kedalam kamar mungkin sudah tidak sabar bermanja dengan simpananya.
Setelah beradu diatas ranjang Kang Sar terlihat terdiam seperti ada hal yang di kahwatirkan entah apa, hal ini membuat istri mudanya penasaran akan sikap suaminya mendadak berubah. Saminih berlendot ditubuh Kang Sar yang tengah terduduk diatas ranjang masih tidak memakai baju begitu pula Saminih yang hanya menutupi dadanya dengan selimut.
“nang apa Kang? tiba-tiba ngelamun” suaranya lembut.
Kang Sar tersenyum sambil memandang ke arah Saminih “ora apa-apa Nok, lagi mikiri polahan” katanya beralasan.
“aih, bokat lagi mikiri wong ning umah” masih dengan senyumnya.
Kang Sar merangkul tubuh Saminih mendekatkan wajahnya lalu berkata “ora Nok, masa iya ning inggiran ana wong seayu senok Kakang mikir sing ning kana-kana . . . koyang rugine lamon iya mengkonon Nok” katanya dibesar-besarkan merayu Saminih yang semakin erat berlendot ke Kang Sar.
***
Sudah hampir satu bulan Kang Sar belum juga pulang ke Losarang dengan alasan tengah sibuk-sibuknya di proyek dan mengarang cerita jika iya tengah ada proyek tambahan pada istrinya manakala menitip pesan dan uang pada Darso. Meski tiap minggu Kang Sar memberikan uang dan menitip kabar pada Darso, seorang istri tetap merasa kurang lengkap rasanya jika belum bertemu sang suami apalagi Kang Sar sudah hampir satu bulan belum juga pulang, wajar jika Liah kahwatir.
Di teras rumah setiap sore Liah menunggu Kang Sar duduknya menghadap ke selatan berharap lelakinya datang “duh ya, Kang Sar wis arep olih sewulan ora balik-balik . . . ora weruh apa kita kih kangen” gumamnya sendirian.
Wajah putih nan cantik Liah terlihat menyorot manakala mentari sore bersinar, ia Liah meski sudah beranak satu masih tetap cantik apalagi tiap sore ia bersolek menunggu suaminya dengan harapan jika Kang Sar pulang ia terlihat cantik memikat lelaki berkumis tipis tersebut.
“duh kita wis ora tahan pisan mendem kangen ning dika Kang, baka wis mengekenen mah enake tek parani bae ning Loyange . . . baka wis mentog kana mah gampang bisa takon-takon ning sapa bae” kembali gumamnya dengan raut wajah yang menandakan kegelisahan.
***
Suasana proyek di desa Loyang masih terasa ramai dengan ditandai berkeliwerannya mobil besar membawa tanah. Rumah kecil bercat hijau tidak jauh dari lapangan terlihat lelaki berkumis tipis tengah memberikan uang pada lelaki yang kurang lebih supir truk terlihat di depannya terdapat mobil proyek, setelah menerima uang lelaki tersbut langsung pergi mengendarai truknya.
Belum lama truk pergi tiba-tiba dari sebarang jalan terlihat wanita yang membawa anaknya menuju ke arah rumah Kang Sar. Melihat Liah yang datang sontak membuat Kang Sar kaget akan kedatangan istri pertamnya, bagaimana tidak kedatangan Liah secara mendadak belum ada persiapan apa-apa terutama jika ia tahu tentang Saminih.
“Kang Sar, beneran Kang Sar kan?” kata Liah masih tidak percaya.
Tingkah yang aneh dengan wajah yang bodoh “Liah, mene ora warah-warah dikit”
“sengaja Kang pengen mai kejutan ning Kang Sar, barian gah Liah wis kangen pisan Kang” katanya yang langsung merangkul pinggang Kang Sar.
Ditengah percakapan mereka keluar Saminih membawa kopi dan gorengan pisang yang sengaja akan dihidangkan ke Kang Sar. Melihat wanita keluar dari dalam rumah Liah sedikit kaget bahkan cukup lama menatap Saminih sampai pada akirnya bertanya pada Kang Sar.
“kuwen sapa Kang? Pembantu” kata Liah wajahnya menegang.
Kang Sar masih tertegum dengan wajah bodonya, ingin membenarkan apa yang dikatakan Liah takut jika Saminih tersinggung namun ia juga bingung harus beralasan apa.
Saminih langsng menaruh kopi dan gorengan pisang di meja seblah Kang Sar duduk dan menyalmi tangan Liah “punten Yu” katanya sambil menyalami tangan Liah “dodok dikit Yu” lanjut katanya langsung menuntun Liah duduk disamping Kang Sar.
Sedangkan Kang Sar masih terlihat bingung bahakan tangannya tidah henti-henti menghelus jidatnya.
“ko kita manjing dikit ya Yu, ngemet inungan” kata Saminih yang langsung berlalu.
Liah kembali menatap Kang Sar “sapa Kang? Ngomonga aja meneng bae” nadanya sedikit ditinggikan.
“rabi enomo kita” suaranya pelan dan sedikit ditekan “maaf Li Kakang ngerasa salah, kakang hilaf” lanjut kata Kang Sar memohon ke Liah.
“pantesan arep sewulan lawase dika ora balik-balik mengumah, ora kelingan karo anak lan rabi. Nyatane dika ning kene kawin maning ya Kang” ndanya datar tatapan mata Liah berbinar.
“maaf Li Kakang hilaf”
“enggal dina tek tonggon balike, dangdan kosi berikut amber baka dika teka mung kita sing dideleng wong paling ayu ning Losarang. Eeh nyatane ora teka-teka pantesan wis ana wong wadon sing ngeremedi kontole” suaranya semakin tinggi.
“iya Li Kakang salah, maaf maaf Li”
“sekiyen ngaku salah ya Kang, mau mah ora kelingan karo senang, ora kelingan karo kita. Wong wadon mau bae sing ana ning pikirane dika, iya ora Kang” air mata Liah menetes.
“ora mengkonon Li Kakang masih kelingan ning Liah karo Senang, tapi . . .”
“tapi apa Kang? Wis aja alesan maning sekiyen kita wis weru sifate dika kayang apa, wis kedeleng kabeh yen dika iku wong lanang tembelek, wong lanang laka tanggung jawabe ning rabi”
“maaf Lih Kakang hilaf, Kakang ngerasa salah”
Liah menyapu air matanya berusaha tegar “kecewa Kang, adoh-adoh sing Losarang meng Loyang jare dewek arep nemoni laki sing dadi pujahan hati. Tapi menotog mene malah ngelara hati” tangannya kembali menyapu ari mata “wis kang kita arep balik bae, bokat dika eman ning senang susulen meng Losarang. . . Tapi baka dika eman ning wadon mau menenga ning kene kita wis ora butuh dika” lanjut Kata Liah yang langsung menarik tangan anaknya pergi meninggalkan kediaman Kang Sar dan Saminih.
Dari dalam Saminih keluar dengan wajah cemasnya dan terlihat bengkak disekitar matanya mungki habis menangis mendengar pertengkaran antara Kang Sar dan Liah. Saminih masih berdiri di pintu tidak berani mendekati Kang Sar yang sedang kacau persaannya, sedangkan Kang Sar terlihat seteres memikirkan posisinya.
Cukup lama Kang Sar berdiam diri pada akhirnya berlari mengejar Liah istrinya sedangkan Saminih hanya terdiam sambil menangis di depan pintu. Sampai di jembatan Kang Sar telat ternyata Liah sudah menaiki ojek satu-satunya yang masih menarik penumpang.
“Hhhhaaaaaaa . . .” teriak Kang Sar sejadi-jadinya.
Lelaki berkumis tipis tersebut terlihat setres pikirannya kacau tatapan matanya berbinar-binar. Entah apa yang ada diotaknnya Kang Sar langsung naik keatas  jembatan dan langsung menceburkan dirinya ke sungai yang tengah deras-derasnya. [ ].
- S E L E S A I -

Cerpen "Lakon Dermayuan"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang