Unjungan Kalen Sema

12 8 0
                                    

Wa Yadil sudah memulai membaca mantra doa menggunakan bahasa jawa, terdapat kemenyan didepannya asap kemenyan mengepul keatas sampai menyentuh atap tenda. Tangan warga mengada seperti mengamini doa Wa Yadil selaku pemuka adat, iya! banyak sekali warga yang hadir dalam acar unjungan Buyut Kalen Sema diadakan setiap satu tahun sekali bukan hanya mereka yang menetap didesan namun mereka yang dari kota juga ikut pulang merayakan Unjungan tersebut.
Unjungan tradsi yang ada sejak zaman nenek moyang dulu untuk mengenang jasa-jasa leluhur yang sudah mendahuli kita tertidur lelap di dalam tanah. Teradisi Unjungan dilakukan dipemakaman umum dengan disajikan tontonan wayang kulit dan sandiwara atau lebih dikenal ketoprak kalau di Jakarta. Waraga mengunjungi pemkaman sejak tabuh gong dibunyikan sekitar pukul jam 08:00, mereka membawa tumpeng ayam dan berbagai jenis buha-buhan segar yang nantinya akan diletkan disebuah balai kosong, konon katanya tumpeng ayam dan buah-buahan segar tersebut akan disajikan kepada roh-roh leluhur, meski pada akhirnya akan dimakan besama ditempat itu juga, dari situlah tercipta suasana yang berbeda dalam Unjungan memberikan kesan menarik dan berharga karena bisa berkumpul dengan sneak keluarga yang dari kota atau masih berada didesa.
Wa Yadil masih membaca mantra doa menggunakan pengeras suara agar orang-orang yang duduknya jauh dari Wa Yadil bisa terdengar. Suasana seperti ini tidak akan aku lewatkan untuk memfoto kegiatan langka di Jakarta, iya! Saya hanya fotografer biasa asli dari Jakarta dan lebih suka memfoto budaya-budaya yang ada ditanah air salah satunya budaya Unjungan ini yang ada di Kabupaten Indramayu tepatnya desa Kiajaran Kulon Blok Pelabuhan.
Bacaan mantra doa dari Wa Yadil telah selesai dengan diakhiri suara gong wayang kulit dan diganti dengan tetalu wayang kulit sehingga suasana semakin meriah ditambah lagi saut-sautan suara dalang “walele…walele….” Begitulah kurang lebih suaranya. Warga desa segera berdiri melihat panitia Unjungan yang mengambil ayam, nasi dan buah-buahan lalu dimasukan kedalam kardus bekas air mineral. Oh iya! Ada satu makanan lagi yang belum saya sebutkan namanya lepet nasi yang dicampur kacang lalu dikemas menggunakan daun pisang dan dikat seperti pocongan menjadi tiga ikatan, konon katanya makanan ini perlambang atau mengingatkan kita akan kematian.
Lepet juga tidak luput dari target ku untuk di foto, terkadang aku juga meminta bantuan warga disekitar untuk memakan lepet lalu aku foto mereka yang dimana latar belakang tempatnya pemakaman. Kalian bisa bayangin bagaimana makan lepet ditengah pemkaman dengan banyak orang dalam suasana meriah pasti akan terlihat indah dan terkesan bukan.
Azan zuhur terdengar dari masjid desa semua aktifitas dihentikan bahkan ada beberapa warga yang pulang kerumah membawa tumpeng dan buha-buhan yang masih tersisa katanya mereka akan kembali lagi sekitar 14:00 untuk melihat tontonan yang ada.
“Mas Hadiri sini” teriak Wa Yadil memanggil ku.
Sebagai tamu aku nurut saja mendekati Wa Yadil “iya Wa ada apa?” tanya ku.
“makan dulu sini” tawarnya sambil memberikan piring kosong.
Aku terdiam bingung mau menolak atau menerima karena pososi disitu masih banyak orang yang melototi ku apalagi ditengah-tengah kerumanan ada pak kuwu atau kepala desa yang ikut serta dalam memeriahkan acara Unjungan Buyut Kalen Sema.
“sudah jangan malu-malu mas” lanjut Wa Yadil memaksa ku untuk memegang piring yang diberikannya.
Dengan sedikit ragu saya ambil piring tersebut dan mulai mengambil nasi dan ayam sebagai lauknya. Ini yang pertama kali aku melebur menjadi satu dalam acara adat yang sering sekali aku ikuti untuk memfoto momen-momen langka bahkan jarang aku temui apalagi di Jakarta. Benar kata waraga desa katakan ketika aku makan nasi tumpeng dan ayam bersama waraga yang ikut serta memeriahkan begitu tersa ikatan persaudaraannya meski aku bukan asli orang Indramayu. ‘sungguh hebat leluhur dulu bisa menyatukan warganya dengan adat sesakral ini’ begitu lah batin saya merenung sambil memasukan nasi kedalam mulut.
“bagaimana Mas Hadri rasanya?” tanya Wa Yadil dengan senyum dibibirnya.
Saya tersenyum lalu menelan nasi yang sudah berada didalam mulut “enak dan nikmat wa” kata ku mebmbalas pertanyaan wa Yadil.
“enak karena geratis nikmatnya karena ngga bayar ya Mas… hehehe” guyon Wa Yadil lalu tertawa kecil “nanti malam Mas kalau mau foto-foto, acaranya jauh lebih ramai” tambah Wa Yadil memberi tahu.
“iya nanti malam aku kemari lagi masih butuh banyak foto buat diseleksi mencari mana yang bagus”
“kalau mau cari foto yang bagus dan menarik mending yang di foto wanita-wanita saja Mas, apalagi yang aduhai bodinya…. Hehehe” kembali Wa Yadil guyon menggoda ku.
Aku hanya membalas dengan tawa mengikuti Wa Yadil meski didalam benak saya mengumpat ‘gila nih orang tua mikirnya masih wanita-wanita aduhai saja’.
“Mas Hadiri jangan pernah berprasangka buruk dengan adat-adat seperti ini meski agama kita tidak mengajarakannya tetapi leluhur kita meninggalkannya itu semua punya maksud tertentu, aku yakin Mas Hadiri juga pasti paham kan bagaimana rasanya menyatu dengan adat dan kebiasan nenek moyang” kata Wa Yadil mengingatkan ku agar kita tidak boleh menghujat adat nenek moyang.
Aku yakin Wa Yadil berbicara begitu ke aku karena dia menganggap aku orang kota yang kurang percaya dengan adat-adat semacam ini, namun setelah makan besama tadi bukan hanya percaya yang muncul dalam diri saya mengenai adat namun rasa kebersamaan yang sulit aku dapatkan tapi kini aku dapatkan disini bersama adat peninggalan leluhur.
“iya Wa aku paham hal tersebut, bagaimana juga budaya itu pakaian bangsa yang harus kita jaga rapi”
“syukur lah kalau Mas Hadri paham” kata Wa Yadil dengan senyumnya yang mengembang.
Wa Yadil berdiri dari duduknya manakala pek kepala desa hendak pergi dari balai, bukan hanya Wa Yadil semua wargai yang ada juga ikut berdiri begitu pula dengan ku. Hal ini dilakukan sebagai tanda menghormati pejabat desa yang sudah berjasa banyak dalam memakmurkan dan mensejatrahkan rakyatnya. Setelah bersalaman dengan Wa Yadil pak kuwu atau pak kepala desa segera pergi meninggalkan balai diantar pamong-pamong desa.
Lelaki tua yang kurang lebih umurnya sekitar lima puluh tahunan itu duduk kembali sambil menarik ku seperti ada hal penting yang ingin dibicarakan aku pun nurut saja duduk disamping Wa Yadil.
“biasanya setiap malam Unjungan Buyut Sema selalu hadir ditengah-tengah kerumanan melihat anak cucunya” bisik Wa Yadil ditelinga saya.
Sontak hal tersebut membuat saya kaget dan melototkan mata ‘apa yang dikatakan Wa Yadil benar kah?, ah! Paling-paling becanda’ tepis saya berpikir positif mengeni perkataan Wa Yadil. [ ].

Cerpen "Lakon Dermayuan"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang