The Begining

18 2 0
                                    

Maria Annelisabeth, itulah namaku. Gadis berusia 18 tahun yang baru lulus Sekolah Menengah Atas di suatu kota kecil dengan jurusan IPA. Dahulu aku adalah gadis yang sangat ceria. Dikelilingi oleh banyak orang baik dan penuh berkat. Penuh dengan senyuman dan kebahagiaan. Tidak pernah sekalipun meneteskan air mata kesedihan. Hingga kejadian itu dimulai. 

"Siapa yang bersedia satu kelompok dengan Maria?", ibu guru menanyakan kepada para siswa di kelas. Semuanya menggeleng. Aku hanya terdiam di bangku depan dengan muka yang datar. "Praba saja bu!", Salah satu siswa lelaki menyeletuk sambil tertawa. Semuanya ikut tertawa sambil melihat kearahku. Lalu, lelaki yang bernama Praba itu melempar jaket yang ia genggam kepada temannya. "Gila kau ya! mana mau aku satu kelompok dengannya!". Ibu guru melerai keduanya dan memutuskan memilihkan kelompok untukku. 

Aku berjalan santai melihat pepohonan yang ada di taman belakang sekolahku. Berharap sesuatu yang indah terjadi di hidupku. Aku cukup lelah dengan keadaanku yang sekarang. Mereka menjauhiku tanpa aku tahu alasannya. Mereka selalu bergosip buruk tentangku.Pohon yang bertiup angin membuatku tak sadar ada suara langkah kaki mengejutkanku. "Hey, sedang apa kau disini? Kembalilah ke kelas. Guru akan datang", ucap lelaki berjaket merah itu. Aku menggeleng pelan, berharap dia pergi dari pandanganku. Dia berjalan mendekat ke arahku. "Aku minta maaf soal tadi, aku tidak bermaksud menjelekkanmu atau apapun, aku hanya tidak ingin teman-teman mengejekku hanya karena aku satu kelompok denganmu". Aku mengangguk mengiyakan kata-katanya. 

Waktu terus berlalu, suram seperti biasanya. Aku melihat jam tanganku, menunggu sepupuku datang. Kami akan berangkat ke ibukota untuk melanjutkan studi kuliah. Dia datang membawa dua cup kopi ditangannya, menyerahkan salah satunya kepadaku. Tak lama setelah itu, suara pengumuman bahwa pesawat yang akan kami naiki akan segera berangkat. Sepupuku berjalan ke arah pesawat itu sambil tersenyum senang, seolah dia akan liburan ke luar negeri. Sangat berbeda denganku yang memasang wajah datar dan hanya berharap semuanya akan berubah. 

Hari ini adalah hari pertamaku kuliah. Aku memakai sepatuku dan melambaikan tangan ke arah saudaraku, mengisyarakatkan aku akan berangkat. Setelah sampai di kelas, seorang wanita menyapaku hangat. May namanya, wanita cantik berkulit putih bermata lebar, rambutnya berwarna coklat sebahu, senyumnya manis sekali. Kami pertama kali berkenalan saat pengenalan kampus. "Aku sudah memesankan bangku untuk kita berdua.", ujarnya. Kami pun duduk dengan tenang. Mata kuliah hari ini adalah anatomi, cukup banyak yang harus dihafalkan dan dipelajari, ditambah dosen kami yang keras dan galak. Aku menghela napas, menatap ke arah jendela. Tugas kami cukup banyak hari ini. 

Keesokannya aku terbangun pukul 7 pagi. Matahari mulai muncul ditengah awan yang tebal akibat polusi. Dengan mata yang masih separuh terpejam aku bersiap untuk kembali kuliah. Saudaraku merapikan tas besarnya dan mengatakan ia akan kembali ke kota kecil kami. "Kau tak apa aku tinggal sendirian?", katanya. Mataku yang masih sedikit terpejam berkedip dan aku mengangguk. Bahuku juga ikut bergerak seolah berkata aku akan baik-baik saja. 

Aku berjalan melewati lorong yang sangat terang. Kegiatanku hari ini adalah diskusi kasus. Kasus yang dimaksud bukan berarti kasus kejahatan maupun kriminal, tetapi kasus penyakit yang akan kami pecahkan secara berkelompok. Ini adalah diskusi kasus pertamaku, aku cukup khawatir karena aku belum mengenal kelompokku. Tiba di ruangasn diskusi kami, aku melihat ke seluruh ruangan. Hanya tinggal beberapa kursi yang kosong. Terdapat satu kursi kosong didepan papan tulis, disampingnya terdapat kursi yang ada tas hitam yang dirawat rapi oleh pemiliknya. Aku menaruh tasku dan duduk dikursiku sambil bermain ponselku. Seseorang menepuk bahuku, aku menengok kearah orang tersebut. 

"Hai, namaku Loys. Arsyaloys", ucap pemilik tas rapi tersebut. Lelaki bertubuh berisi, matanya sipit, kulitnya putih, dan berkacamata. Jaketnya yang tebal berwarna biru membuatnya tampak makin berisi. Kalung salib menggantung di lehernya. Ia mengajukan tangannya mengajakku bersalaman. "Aku Maria", tanganku menjabat tangannya. Hangat, tangannya begitu hangat dan nyaman. Diskusi dimulai dan dipimpin oleh ketua kelompok. Loys, lelaki itu terus mengajakku mengobrol secara berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dosen. Dia terus mengoceh tentang banyak hal, seperti makanan lezat di ibukota, dosen yang galak, hingga kota asalnya. Aku mendengarkan sambil tersenyum kecil memperhatikannya. Dia begitu ceria dan semangat saat menceritakan hal-hal itu. Seolah membawa energi yang nyaman kepadaku.


My Good FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang