"Nih minum lu", suara ringannya terdengar kecil bersamaan dengan suara riuhnya mahasiswa kantin fakultas kami. Setelah diskusi kasus tadi, Loys mengajakku pergi ke kantin untuk membeli beberapa makanan ringan dan minum. Ia mengoceh tentang ramainya kantin tadi sembari berjalan menuju kelas. Beberapa pria merangkulnya sesaat setelah kami tiba di kelas. Mereka tertawa dan bercanda seolah lupa ada aku yang terdiam disamping Loys. "Eh iya, kenalin, temen baru kelompok diskusi gua tadi, namanya Maria.". Mereka melihatku dan bergantian menjulurkan tangannya untuk berkenalan denganku. Setelah itu, aku melihat keseluruhan kelas untuk mencari kursi kosong. Kelas sudah cukup ramai dan penuh. Aku sedikit khawatir tidak mendapat kursi untuk kelas hari ini. "Udah, duduk samping gua aja, kosong kok", aku tersenyum mendengar suara itu. Seolah mengerti dan menenangkan kekhawatiranku.
"Good morning, Loys". Sudah beberapa bulan berlalu, kami semakin dekat. Ditambah kos kami yang bersebelahan membuat kami semakin sering bertemu. Aku menghampirinya yang baru menutup gerbang kos nya. Dia mulai mengeluh betapa terganggu nya dia dengan suara tetangga kosnya yang berisik, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kami bercerita sambil berjalan menuju kampus. Aku tertawa mendengar cerita-cerita konyolnya. "Eh lu makin seneng ketawa ya akhir-akhir ini. Inget gak, dulu pas kita pertama kali ketemu. Judes banget muka lu. Tapi gapapa, justru pas itu gua jadi penasaran. Pengen kenalan sama lu", celetuknya. Dia tidak tahu bahwa dia yang membuatku ceria.
"Mar, abis ini makan yuk di mall seberang. Bosen gua sama makanan kantin". Loys menggerutu setelah kelas selesai. Aku yang sedang membereskan tasku setuju dengan gagasannya. Kami menyebrangi jembatan, tentu saja sembari mengobrol. "Eh lu kenapa gak cari pacar aja sih Loys?", aku menyeletuk asal. "Gak ah, gua pemilih banget soal cewe", dia menyebutkan runtutan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pacarnya. Aku tertawa menanggapi ucaapannya. Sungguh pemilih, dan bukan orang sepertiku. Tentu saja.
Aku berbaring setelah pulang dari mall seberang. Membiarkan tas ku tergeletak di kamar kosku. Aku sangat lelah, tapi menyenangkan. Ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk dari Loys, memberitahuku tentang tugas kuliah untuk lusa. Besok adalah hari libur, tetapi dia sungguh rajin sudah mengerjakan tugas kami. Aku lelah soal kuliah, jadi ku hiraukan pesannya dan berseluncur di media sosialku. Lalu, muncul sebuah iklan tentang aplikasi kencan. Karena aku cukup bosan, aku unduh aplikasi tersebut di ponselku. Aku berinteraksi dengan beberapa orang di aplikasi itu. Ada satu orang yang cukup menarik, namanya Wilson. Dia sungguh ramah dan kami bercakap banyak via pesan. Dia mengajakku bertemu dan makan di suatu restoran esok hari. Kurasa cukup menyenangkan berbincang dengannya, jadi kusetujui untuk makan bersamanya.
Esoknya, jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Aku bersiap untuk bertemu Wilson hari ini. Gaun berwarna merah marun se lutut menghiasi tubuhku. Kupadukan dengan sepatu boot bertwarna hitam. Tak lupa membawa tas selempangku yang senada dengan warna sepatuku hari ini. Aku berdiri di depan kosku, menunggu Wilson menjemputku. "Wah, kau cantik sekali", ucap seorang pria yang baru datang disampingku. Ia menggunakan kemeja putih dipadukan dengan hoodie hitam. Celana jeans panjang berwarna hitam. Raut wajahnya sangat cerah. Sepertinya ini Wilson.
"Kau ingin makan apa nona cantik?", tanya Wilson sesaat setelah kami sampai di restoran. Aku tersenyum dan berkata bahwa aku ingin makan makanan jepang. Ia memesan menu yang sama. Kami banyak bercerita tentang satu sama lain sembari menunggu makanan dihidangkan. Setelah makan. Dia mengusulkan untuk menonton film di bioskop. Aku menyetujuinya, toh waktuku masih banyak. Kami duduk di krsi barisan paling atas. Entah mengapa dia memesan kursi yang paling atas. Film pun di mulai.
Wilson menautkan tangannya di tanganku. "Dingin", ucapnya. ku biarkan tangannya memegangi tanganku, bioskop memang dingin. Tangannya menyusuri tanganku. Jemariku dipegang olehnya satu per satu. Aku cukup merasa baik-baik saja dengan itu. Lalu, wajahnya menoleh kearahku. Matanya menatapku lama. Seolah aku terhipnotis dengan itu, aku terdiam. Membisu. Wajahnya perlahan mendekati wajahku. Aku hanya bisa menatapnya. Seluruh tubuhku seolah membeku. Tidak bisa menggerakan anggota badanku. Wilson menautkan bibirnya di bibirku. Mataku membelak. Aku ingin mendorongnya tetapi percuma, badanku tidak bisa digerakkan. Tangannya mulai menyusuri tubuhku. Memegang dadaku dan meremasnya. "Ahh", suaraku keluar begitu saja dari mulutku. Tangannya terus menyusuri tubuhku berpindah ke punggungku. Aku reflek menegakkan punggungku.Tangannya terus kebawah hingga sampai pada pantatku. Ia meremasnya kencang. Suara yang sama keluar lagi dari mulutku. Bibirnya tak melepaskan bibiku. Ia tersenyum mendengar reaksiku. "Kau menyukainya?", aku terdiam. Hanya bisa menatapya dan bertanya dalam hati apa yang baru saja ia lakukan. "Baiklah jika seperti itu, aku akan membawamu ke suatu tempat setelah ini", ucapnya lembut.
Kami tiba di suatu bangunan. Hotel lebih tepatnya, aku bingung dan bertanya-tanya pada Wilson apa yang akan kita lakukan disini. Dia menenangkanku dan terus berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Dia menggandengku menelusuri kamar-kamar dan sampai pada satu kamar dengan nuansa modern. Kasurnya berwarna putih layaknya kasur pada umumnya. "Sini duduk", ia menepuk kasur disebelahnya. Aku duduk perlahan sembari menatapnya. Berusaha mencari jawaban apa yang akan kita lakukan disini. "Udah taruh aja tasnya", ia menyeletuk karena melihat aku masih menggenggam erat tasku.
Wilson mendekatkan wajahnya ke wajahku lagi. Aku takut, jadi kupejamkan mataku. Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku berusaha membuka mata, bibir Wilson sudah menempel pada bibirku. Ia mulai melumat pelan bibirku. Tangannya memegang tengkukku. Mencegahku untuk bergerak. Lumatannya turun ke leherku. Aku merasa sangat geli. "Desah saja", ucapnya dengan suara serak. "Ahh", desahanku lepas begitu saja setelah dia mengucapkannya. Tangannya menyusuri perutku dan naik menuju dadaku. Bibirnya berpindah ke telingaku. Rasanya sangat geli. Secara tiba-tiba dia meremas dadaku kencang. Desahanku semakin keras ketika dia melakukan itu. Tangannya secara kasar membuka gaun dan bra ku. Ciumannya turun ke dadaku. Dia menggigit kecil putingku.
Tangannya yang bebas menyentuh celana dalamku. "Ah, sudah basah", ucapnya sambil tersenyum. "Sudah cukup Wil", balasku. Dengan kencang dia menggigit putingku. Desahanku semakin menggila. Dia melepaskan celana dalamku dengan kasar. Mengarahkan mulutnya ke arah klitorisku. Lidahnya menyentuhku, rasanya seperti aku terbang ke langit. Jujur, rasanya sangat geli. Tapi entah mengapa, rasanya enak. Jari tengahnya masuk ke vaginaku, menyentuh dindingku. Kakiku menutup secara refleks. Dia membuka paksa kakiku dan menarik jarinya keluar masuk vaginaku kencang.
Wilson mengarahkan miliknya ke vaginaku. Menekan dan memaksanya masuk di bawah sana. Ia memaju mundurkan badannya, badanku bergetar merasakan sesuatu yang keras masuk di dalamku. Mataku terpejam, mulutku terbuka seolah membiarkannya melumat bibirku. Dia semakin kencang menggerakkan tubuhnya. Entah mengapa aku merasakan sesuatu hendak keluar dari tubuhku. Aku memegang lengannya erat. Dia mencekikku dan menggerakan tubuhnya semakin brutal. Dia mencabut miliknya dan langsung mengarahkan ke perutku. Cairan putih kental membasahi perutku. Aku terengah-engah, berpikir hal bodoh apa yang barusan kulakukan. Mengapa aku membiarkannya melakukan ini?. Semuanya campur aduk didalam kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Good Friends
RomanceAku sangat kesepian pada saat itu. Hidupku menyedihkan, semuanya tampak suram. Lalu, aku bertemu dengannya. hidupnya amat ceria dan menyenangkan. Seperti itulah awal ceritaku, Maria Annelisabeth WARNING. 18+