Chapter 02

6 2 0
                                    

Aku terbangun saat matahari menerpa jendelaku. Badanku terasa sangat pegal. Aku berusaha sekuat tenaga membuka mataku. Otakku langsung memproses apa yang baru saja terjadi tadi malam. Hal gila apa yang baru saja kulakukan. Hari ini hari libur. Jadi ku putuskan untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Ponselku bergetar, ada pesan masuk dari Loys. Ia bertanya apa yang akan kulakukan hari ini. Mungkin aku akan berbelanja di pusat perbelanjaan tak jauh dari kos kami. Loys memaksa untuk ikut, jadi kubiarkan saja. 

"Tau gak? Semalem gua ga sengaja ketemu temen SMA gua. Tapi kok ga seasik lu ya?", celetuknya saat kami membeli minuman boba. Aku tertawa. Aku bertanya padanya teman-temannya seperti apa. Ia menjelaskan bahwa rata-rata temannya adalah orang ambis tentang kuliah dan jarang bersenang-senang. Senyumanku muncul saat mendengar itu. "Main ke Dufan yuk, Loys?", aku iseng mengajaknya ke Dufan. Loys yang sedang asik meminum bobanya menggerutu karena aku mengajaknya secara tiba-tiba. Namun pada akhirnya, dia mengikutiku. 

"Dua tiket, bang", ucapku pada petugas untuk membeli tiket masuk. Aku menengok kearah Loys untuk memastikan dia masih ada disana. Jaga-jaga saja, siapa tau dia hendak kabur. Aku menatapnya yang sedang tersenyum bermain ponselnya. Entah mengapa aku merasa hari ini dia tampil beda. Hoodie hitamnya nampak cocok di tubuhnya, Celana jeans? Dia cukup jarang menggunakan celana jeans. Loys lebih sering menggunakan celana katun atau bahan lain yang menurutnya nyaman dipakai. Sepatu sneakers? Setauku dia hanya memakai sepatu pantofel atau sepatu resmi lainnya. Dan rambutnya, sepertinya ia baru mencoba potongan baru yang nampak cocok di kepalanya. "Kak, ini ada promo untuk pasangan. Mendapat potongan 50%", suara petugas tiket membuyarkan lamunanku. Loys yang mendengar ada kata-kata promo langsung menyimpan ponselnya. "Okay itu saja bang, yang ada promonya". Aku tertawa. Dia selalu seperti itu ketika ada promo atau potongan harga. "Baik kak, tapi dari pihak Dufan memiliki beberapa syarat". 

Loys dan aku menghela napas secara bersamaan. Kami berhasil mendapatkan potongan harga. Dia mendengus kesal sesaat setelah kami memasuki wahana Dufan. Tangan kami dikaitkan dengan satu borgol yang menyatukan tangan kami satu sama lain. Aku tersenyum simpul melihat tanganku dan tangannya. Secara tidak sengaja aku melihatnya tersenyum sesaat tetapi langsung merubah raut wajahnya menjadi kesal. "Sudah sudah, ayo main. Kan kita kesini mau seneng-seneng", ucapku padanya saat melihat raut wajahnya. Dia tersenyum dan langsung menarik tanganku ke arah wahana bianglala. Antrian cukup panjang tetapi kami dengan sabar mengantri sambil mengobrol. "Hey Arsya. Arsyaloys!", aku mendengar suara seseorang memanggil nama Loys dari barisan depan. Loys berkata itu adalah temannya dan menarik tanganku kedepan. Tentu saja, kan tangan kami terikat borgol. "Eh ini cewe lu?", ucap teman Loys melihat tanganku dan tangannya tertaut. "Bukan anjir, yakali cewe gua model kaya Maria gini", aku tertegun mendengarnya mengucapkan hal itu. Memangnya aku seperti apa?

Kami berada di puncak ketinggian, aku asyik melihat pemandangan yang luar biasa indah. "Mar, maaf ya soal tadi. Um anyway, lu mau panggil gua Arsya aja gak? Soalnya gua lebih nyaman di panggil Arsya", aku memutar bola mataku mendengarnya. Padahal dia sendiri yang meminta di panggil Loys. Aku mengangguk menyetujui permintaannya. Memang sifatnya yang sedikit plin-plan membuatku gemas. Pemandangan dari puncak bianglala begitu indah membuat mataku tak bisa beralih. "Maria Annelisabeth", panggilnya lirih, namun aku tetap bisa mendengarnya. Aku menoleh kearahnya. Mataku membelak saat dia dengan cepat mengecup bibirku. Sesaat setelah itu, dia menarik dirinya menjauh dari badanku. "Sorry Mar, gua gak maksu-". Entah setan dari mana yang masuk ke tubuhku, aku membalas kecupannya. Mulutnya tak tinggal diam, dia melumat pelan bibirku. Sangat lembut dan hangat. Itu yang kupikirkan saat bibir kami bertemu. 

Kami turun dari bianglala dengan canggung. Sibuk dengan pikiran masing-masing mencerna apa yang barusan terjadi. "Udah lupain aja", aku menyeletuk untuk memecah suasana canggung ini. Aku menarik tangannya berlarimenuju wahana selanjutnya. Sebuah wahana yang memacu adrenalin. Dia mendengus, sebenarnya dia tidak cukup berani dengan wahana yang menyeramkan seperti ini. Sungguh pengecut memang. Tawaku terdengar jelas melihatnya menghela napas berat. Seolah sedang menghadapi kematian. "Gak ah, gua disini aja", ucapnya saat aku mengajaknya untuk menaiki wahana tersebut. Tanganku ku tarik ke atas untuk menunjukkan bahwa kami di borgol dan tidak bisa lepas sampai kami keluar Dufan. 

Dia berteriak kencang saat kami menaiki wahana ini. Melihatnya memejamkan matanya sambil berteriak membuat gelak tawaku semakin kencang. Siapa sangka seorang Arsyaloys Galen takut dengan wahana di Dufan. Tangannya mencengkram tanganku kuat. Seolah aku akan pergi meninggalkannya. 

Kami menyeruput es kopi kami. Arsya memutuskan untuk membeli kopi setelah turun dari wahana tadi. "Gila lu ya Mar! Serem banget tauk", dia mulai menceritakan betapa takutnya dia saat menaiki wahana tadi. Aku mendengarkannya dengan seksama. Melihat ekspresinya saat bercerita membuatku tersenyum. Manis sekali anak ini. Setelah puas bercerita, kami memutuskan untuk melanjutkan berkeliling dan mencoba banyak wahana. 

Hari sudah mulai sore. Matahari sudah mulai menutup dirinya, hanya tinggal semburat warna merah di langit. Aku dan Arsya duduk di pinggir danau kecil yang ada di Dufan. Hari yang sangat menyenangkan. "Maria, gua mau jujur sama lu", suaranya yang ringan namun menenangkan membuatku terfokus padanya. Aku mengangkat alisku menandakan aku bertanya apa yang akan dia katakan. Dia terdiam sejenak. Wajahnya yang terkena pantulan cahaya sore mulai terlihat cemas. Dia mengeluarkan kunci dari saku nya. Aku bertanya-tanya kunci apa itu. Kunci itu kecil, dan dia mulai membuka borgol kami. Mataku tertuju padanya. Apa yang dia lakukan. 

"Sebenernya gua yang minta petugas tadi borgol kita", dia mulai menjelaskan saat awal kami datang siang tadi. Saat pertama kali datang aku pergi ke toilet untuk buang air kecil. Pada saat itu, Arsya meminta petugas tadi membantu rencananya. Dia berkata awalnya hanya iseng saja untuk membuatku kesal padanya. Tetapi, pada sore ini dia menyadari bahwa aku sungguh sabar menghadapi tingkahnya itu. "Gua ngelakuin ini biar gua bisa ngejauh dari lu. Lu tau kan, kita udah deket banget. Banyak orang yang nanya kita pacaran atau ngga. Gua awalnya risih dengan hal itu. Makanya gua bikin kaya gini supaya lu kesel sama gua dan ngejauh dari gua.", aku terdiam mendengarkan ceritanya. Mulutku tertutup rapat. Senyum yang tadinya ada di wajahku kini memudar. "Tapi, sore ini gua nyadar. Sebenernya gua yang gabisa lepas dari lu, Mar. Kejadian di bianglala tadi buktinya", suaranya terdengar parau saat mengucapkan itu. Aku menghela napas. Tidak tahu harus berkata apa. Seolah ini adalah pernyataan cinta. Aku tidak tau harus bagaimana. Kehilangan sahabat adalah ketakutan terbesarku pada saat ini. 

Arsya melepas kalung salib yang tergantung di leher jenjangnya. Aku bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan dengan kalung itu. "Diam dulu", suaranya begitu lembut dan halus. Dia mengalungkan kalung tersebut ke leherku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aroma tubuhnya yang manis tercium di hidungku. Tangannya menyentuh leherku lembut untuk memasangkan kalung tersebut. "Hari ini gua pakai kalung kesayangan gua", ucapnya saat memakaikan kalungnya di leherku. Aku menyentuh tangannya yang masih mengalung di leherku. Dia terdiam, seolah membeku saat tanganku menyentuh tangannya. Dia menatap mataku, dan aku balik menatapnya. Matanya penuh binar, ditambah pantulan cahaya sore menambah kesan yang indah di matanya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Aku dapat merasakan napas hangatnya pada wajahku. Dia menyentuh bibirku dengan bibirnya. Lembut sekali. Aku memejamkan mataku. Merasakan ada kupu-kupu terbang di perutku. Suara detak jantungnya terdengar jelas. Setelah beberapa saat, dia melepaskan tautan bibir kami. Tangannya menyentuh helai rambutku yang jatuh menutupi telingaku. Dan dia mulai berbisik. 

My Good FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang