"Mariaa..!", suara May memenuhi ruangan praktikum yang berada di lantai dasar. Dia melambai ke arahku yang baru memasuki ruangan itu. Dengan wajah yang amat ceria dia bertanya padaku bagaimana hari liburku kemarin. begitu antusiasnya ia ketika aku mulai membuka mulut. Namun aku menutup kembali mulutku. Raut cerianya seketika berubah menjadi datar. Aku terkekeh melihat perubahan ekspresi wajahnya. Tak lama, dosen kami memasuki ruangan dan memulai kuliah kami.
"Gua denger lu kemaren jalan sama Arsya ke Dufan?", celetuk May saat ia sedang asyik meminum boba tea-nya. Aku yang hendak menelan minumku tersedak. "Tau dari mana lu?", aku berusaha mengontrol suaraku. May kembali menyeruput minumannya sambil bercerita bahwa ia mendapat informasi dari teman Arsya yang lain. "Katanya sih pas balik, dia langsung off sosmed. Temennya juga pas ketemu kek sedih banget gitu dianya. Lu apain dia weh?", mulutnya berbicara tiada jeda. Aku hanya mengangkat bahuku menandakan aku tidak tahu. Namun, di dalam diriku aku mengetahui alasan Arsya bersikap seperti itu.
Aku menyusuri jalan menuju kos ku dengan pelan. Langkah kakiku terasa berat. Hembusan nafasku terdengar jelas. Semburat matahari sore mengingatkanku pada hari kemarin. kakiku berhenti pada gerbang kos Arsya. Ku tatap jendela kamarnya yang tertutup. Menandakan tiada orang disana. Gerbang terbuka dan sosok Arsya tampil didepan mataku. Matanya sembab, rambutnya berantakan dan kaosnya sedikit terangkat. Ia sontak memalingkan wajahnya saat mata kami bertemu. "Arsya..", panggilku lirih. Dia mengabaikanku dan hanya melewatiku. Tubuh Arsya menjauh dari pandanganku. Langlahnya cepat dan tanpa ragu. Aku menghembuskan nafas panjang. Berfikir keras tentang hal yang terjadi pada kami. Suara motor yang lalu lalang membuyarkan lamunanku. Aku kembali berjalan menuju kosku.
Hari berlalu, dengan aku dan sahabatku yang tidak saling menyapa satu sama lain beberapa minggu. Aku baru sampai di kampusku. Seperti biasa, May menungguku di kelas dan telah memesankanku bangku. Mataku melihat mengitari ruangan. Arsya memasuki ruangan dan mata kami kembali bertemu. Entah mengapa, tampilan Arsya berubah 180 derajat. Ia mengenakan hoodie hitam bergambarkan tengkorak di punggungnya, celana jeans hitam yang sobek dibagian lutut, sepatu boots hitam yang mengkilat, beberapa cincin menghiasi jarinya, jam tangan dengan warna emas yang elegan bertaut di pergelangan tangannya, dan kalung rantai sebagai pelengkap. Aku mengernyitkan dahiku dan memicingkan mataku. Memastikan lelaki tersebut adalah Arsyaloys Galen. Sahabatnya yang selama ini selalu menggunakan pakaian rapi dan sopan.
Arsya berjalan mendekati bangku ku. "Arsya-", aku berusaha memanggil namanya. Namun, dengan kasar ia menabrak bahuku dan melewatiku. Mataku terbelak. Aku kaget dan hanya bisa menatap bagian belakang hoodie-nya. Ia memilih duduk di bangku belakang. Menaruh tasnya dengan sembarangan. Ia menaikkan lurus kakinya ke meja bangku tempatmya. Menutup wajahnya dengan tudung hoodie dan mulai memejamkan matanya. Teman-temannya menghampiri dan duduk mengelilinginya. Mulai mengajukan banyak pertanyaan atas perubahan seorang Arsya. Suara manusia satu sama lain bersautan. Terdengar riuh dan berisik. "Diem bisa gak?! Gak liat gua mau tidur, hah?!", suara teriakan lantang keluar dari mulut Arsya. Tak hanya aku yang kaget, May dan teman yang lain juga melongo melihat tingkahnya. Arsya yang biasanya penuh sopan santun, kini terlihat kasar dan kuat.
"Gila! Temen lu kenapa, sih? Kenapa jadi kaya gitu bentuknya?", suara May memenuhi telingaku sesaat kami keluar dari kelas. Aku mengangkat bahuku, mengisyaratkan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Didalam hatiku, aku merasa bersalah padanya. Seolah perubahan yang terjadi padanya adalah kesalahanku. Semua anak riuh membahas perubahan dari lelaki itu. Dia sangat terkenal akan sikap sopannya, pakaian yang rapi, hingga kepintaran yang tak diragukan. Namun, hari ini kami melihat sosok yang 180 derajat berbeda.
Kami memiliki kelas terakhir pada hari ini. Aku dan May duduk hendak mempersiapkan buku kami. Dosen masuk ke ruang kelas kami dan mulai mengabsen mahasiswa satu-persatu. Hingga tiba pada nama Arsya. Ia tidak ada di sudut ruangan kelas. Dosen kami bertanya-tanya. Tak biasanya Arsya telat masuk kelas. Tak lama dosen memutuskan melanjutkan absensi hingga suara pintu kelas di buka secara kasar. Arsya dengan tampilan sama masuk tanpa berkata apapundan langsung duduk di bangkunya. Mengeluarkan ponselnya dan memasang ear phone-nya. "Arsyaloys Galen! Dimana sopan santunmu?!", dosen berteriak dan menghampitri bangkunya. Arsya mendongak dan menatap mata dosen kami. Mengangkat alis sebagai jawabannya. Seluruh kelas terdiam, sangat kaget dengan apa yang terjadi. "Saya tanya sekali lagi! Dimana sopan santunmu?!", suara dosen kami terdengar hingga luar kelas.
Arsya memutar bola matanya dan berdiri. Raut wajah dan tatapan matanya seperti hendak menghancurkan dosen yang ada didepannya. "Berisik banget sih lu! Masih mending gua masih mau masuk kelas lu! Sampah! Pantes aja gua cium bau busuk. Ternyata dari lu!", suaranya meninggi mengikuti suara dosen kami. Kata-katanya membuat dosen kami terdiam. Kelas berubah hening seketika. Aku sontak berdiri dan menghampiri mereka. Aku menundukkan badanku meminta maaf pada dosen kami atas nama Arsya. Aku tidak ingin dia mendapat masalah. Dosen kami keluar dengan wajah merah menahan emosi. Aku berbalik menatap Arsya. "Arsya, lu kenapa?" aku bertanya lembut padanya. Dia hanya diam. Tangannya mendorong badanku dengan keras sehingga badanku terjatuh. Semua orang menatap kami berdua. Dengan kasar ia mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Good Friends
RomansaAku sangat kesepian pada saat itu. Hidupku menyedihkan, semuanya tampak suram. Lalu, aku bertemu dengannya. hidupnya amat ceria dan menyenangkan. Seperti itulah awal ceritaku, Maria Annelisabeth WARNING. 18+