"DEMI apaaa??? Lo jadian sama Ray???" Lengkingan suara Klara memenuhi ruang kamar pada pagi ini, sehingga Rena harus memberi kode dengan merapatkan telunjuknya ke bibir.
Sedangkan Sagitta, tampak santai menanggapi sambil mengompres kakinya menggunakan es. Tidak ada raut percaya di wajahnya. "Ini baru 1 Januari ya, bukan 1 April."
"Gue serius!" Timpal Rena, menekankan ucapannya.
"Bentar... bentar... otak gue yang mungil dan imut ini, belum ngerti," Klara menyahut lagi sambil menyentuh kepalanya, dramatis. "Jelasin, deh! Kenapa kalian bisa tiba-tiba pacaran? Padahal, Ray kemarin masih cosplay jadi manusia dingin kayak Adam."
Bibir Rena mendadak terkunci setelah dicecar oleh Klara. Tidak mungkin, kan, ia akan sekonyong-konyong menceritakan tentang apa yang terjadi tadi malam? Saat ia dengan beraninya memeluk Ray? Saat menyatakan perasaannya sambil menangis?
Ah, kalau diingat-ingat lagi, rasanya masih malu!
"Ya... pokoknya gitu, deh," Rena hanya mengangkat bahu sambil tersenyum-senyum sipu sebagai pengganti jawaban.
"Rena," Sagitta rela menghentikan mengompres kakinya demi beringsut ke dekat dua sahabatnya yang duduk di ujung tempat tidur. "Belum sampai dua puluh empat jam, kok. Masih bisa lo putusin dengan alasan khilaf," ujarnya, memasang raut wajah paling serius.
"Kenapa? Gue suka dia, kok."
Jawaban Rena justru tidak terduga, memancing Sagitta spontan bergidik menatapanya. "Si dukun santet itu pake mantra apa ke lo?"
"Mantra cinta," giliran Klara yang menjawab sembil terkekeh, sehingga semakin merah pula kedua pipi Rena. "Akhirnya, ya. Ada juga yang bikin lo jatuh hati selain buku," sambungnya, masih menggoda.
"Apaan sih!" Rena beranjak dari tengah-tengah mereka untuk menyembunyikan wajahnya yang merona dan cepat-cepat mengganti pembahasan. "Eh, udah jam sembilan, nih. Jadi ke kebun stroberi, nggak?"
Klara beralih melihat jam tangannya. "Oh, iya!" Ia refleks bangkit, menyambar cardigan serta mini bag-nya. Begitu juga dengan Sagitta, yang segera menyusul turun dari tempat tidur. "Eh tunggu, gue ikut!"
"Tapi, kaki lo, kan, masih sakit."
"Udah nggak apa-apa, kok," Sagitta membantah tatapan ragu Rena dengan memamerkan kakinya yang sudah bisa digerak-gerakkan.
Dan akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit dari vila, tibalah mereka di lereng bukit, yang langsung disambut udara sejuk serta keindahan ribuan pohon stroberi yang berjejer di lahan seluas 3 hektar.
Kesempatan ini pun digunakan Ray untuk selalu berada di dekat Rena. Wajahnya sudah kembali terlihat berseri-seri setelah perasaannya yang dulu bertepuk sebelah tangan, akhirnya berbalas.
Statusnya sebagai 'bucin' selama bertahun-tahun, akhirnya telah naik derajat menjadi seorang pacar. Seorang pacar!
Ray rasanya ingin berguling-guling di bukit ini sekarang juga saking bahagianya.
"Ren," ia mengusap tengkuknya, canggung namun tetap tak berhenti mengulum senyum. "Jadi... ini hari kedua kita pacaran, ya?"
Sesaat, Rena mengalihkan pandangan, kemudian mengangguk kecil untuk menjawab laki-laki di sampingnya. Ia juga tak kalah canggung. Untuk menatap Ray saja, rasanya masih berdebar. Terlebih, jika kejadian tadi malam kembali terbayang di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidup Ini Menyebalkan, Tapi Aku Tidak Boleh Mengakhirinya
Novela Juvenil🏅CERITA BERKUALITAS🏅 🔎BUTUH PENERBIT🔍