Bonus Chapter (1)

1K 102 2
                                    

Sudah seminggu berlau Aline masih terbaring di ranjang rumah sakit. Ruangan VVIP ini menjadi tempat perawatan Aline. Valdo yang menjaganya tidak menyangka akan menerima ruangan terbaik demi kenyamanan Aline. Di tambah dua pria yang bertugas menjaga Aline di depan ruang rawatnya. Pihak rumah sakit mengatakan demi keaman pasien. Karena pasiennya ini sangat istimewa.

Sedangkan Bibinya hanya mengetahui kabar Aline sebagai kecelakaan mobil. Pihak berwajib mengatakan untuk menyembunyikan insiden itu rapat-rapat terutama pada keluarganya.

"Ini pesan Nak Aline. Tolong hargai permintaannya," kata Pria yang datang menyelamatkan Aline waktu itu.

"Nngg, Ssstt!" 

Valdo bangkit dari duduknya dan mendekat ke asal suara. Aline bergerak pelan dan perlahan membuka matanya. Valdo yang mendapati itu segera menekan tombol untuk memanggil dokter yang merawatnya. 

"Kak Aline!" panggil Valdo senang. Matanya berkaca-kaca setelah menunggu seminggu lamanya, akhirnya Kakaknya sadar.

Dokter dan perawat yang bertugas merawat Aline pun datang terburu-buru. Mereka mengecek keadaannya dengan teliti. Menanyakan beberapa hal untuk memastikan keadaan pasiennya baik-baik saja.

"Syukurlah, Nak Aline sudah membaik. Saya hanya menambahkan dosis penyembuh lukanya untuk memercepat keadaan Nak Aline," kata Dokter Sam.

"Kalau begitu, Kami undur diri. Tolong biarkan Nak Aline beristirahat untuk beberapa hari kedepan," kata Dokter Sam dan berlalu dari pandangan.

Aline menatap Valdo yang terlihat sangat kucel. Mata sembab, wajah tidak sedap, dan rambut layaknya bulu kambing yang tidak terawat.

"Aku tidak menyangka, Adikku bisa sangat jelek," celetuk Aline bergurau. 

"Kakak...," rengek Valdo dan memberikan segelas air untuk Aline.

"Berapa hari Kakak di sini?" tanya Aline penasaran karena melihat perubahan drastis adiknya.

"Seminggu," jawabnya singkat.

"Hhmm," gumam Aline terlihat santai. Dan yang terkejut adalah Valdo. Sesantai itu Kakaknya mengetahui berbaring di rumah sakit hampir seminggu?

"Kakak sering kayak gini?" tanya Valdo sendu. Sebenarnya Ia sudah mengetahui cerita lengkapnya dari orang yang mengenal Kakaknya. Bagaimana kehidupannya, apa yang selalu dihadapi, bahkan tentang Aline yang hampir mati.

"Jangan pikirkan. Itu masa lalu. Yang penting sekarang Kakak akan hidup dengan kalian," jawab Aline mengetahui arti dari raut wajah adiknya.

"Jangan beritahu Bibi," kata Aline memerintah.

Valdo mengangguk dan berkata, "Semua sudah diurus sama rekan-rekan Kakak."

Valdo menggenggam tangan Aline dan menatap penuh haru pada Kakaknya.

"Makasih untuk tetap hidup, Kak."

Tanpa sadar Valdo menangis tepat di hadapan Aline. Menatap dirinya penuh sayang dan syukur yang berlimpah. Aline mengulas senyum manis dan mengelus puncak kepala Valdo.

"Sudah Kakak katakan, Laki-laki tidak boleh menangis karena hal kecil ini!" celetuk Aline dan mendorong kening Adiknya untuk menyadarkan situasi.

*****

Aline berdiri di koridor lantai 3. Ia hendak masuk ke kelasnya untuk menuntaskan pendidikannya. Sangat disayangkan kalau Ia pergi hanya alasan insiden mengerikan itu. Ia tidak perlu menghindar untuk menyamarkan identitasnya, karena sekarang Aline hidup sebagai Aline biasa. Pun pihak sekolah sudah mengatur semua anak untuk tutup mulut, jika mendapati berita ini tersebar maka akan berurusan dengan Pak Presiden tanpa perantara. Dengan arti lain, Aline berada di bawah naungan Pak Presiden.

Aline menatap tajam pria yang menghalangi jalannya. Semua anak angkatannya menyaksikan mereka berdua penuh ketegangan. Nyatanya semua ini berawal dari Pria brengsek itu. Tatapan Aline siap menguliti pria itu yang terus menunduk takut. Wajahnya menyiratkan rasa penyesalan mendalam.

"Jangan menghalangi jalan," kata Aline setelah terdiam cukup menyeramkan. Baron berdehem mengatur suaranya agar terdengar normal. Ia mulai menatap Aline penuh sungguh-sungguh.

"Maaf," kata Baron tulus dan kembali menunduk. Ia tidak berani melihat mata Aline yang bisa saja membunuhnya. Sorot mata Aline membuat siapapun mundur sebelum bertarung.

"Maaf sudah menyebabkan kekacauan itu," kata Baron lagi.

Diam. Aline hanya diam menunggu kalimat selanjutnya.

"Maaf melibatkanmu sampai terluka seperti ini," lanjutnya seraya menatap lengan Aline yang masih terperban, rahang bawah yang terdapat plaster luka, dan pastinya area perut Aline terbelit perban yang menyesakkan.

"Aku ... benar-benar minta maaf," ucap Baron dan berlutut di hadapan Aline. 

Aksi Baron cukup mengejutkan. Berlutut untuk mengungkapkan penyesalannya. Posisi mereka seperti seorang Pria yang mendamba wanitanya untuk tidak pergi. Tapi di sini, Baron memohon maaf sebesar-besarnya.

Aline berdecak dan mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya. Ia pun memerintahkan Baron untuk berdiri.

"Kamu ingin Aku memaafkanmu?" tanya Aline.

Baron mengangguk kuat dan menunggu perkataan Aline selanjutnya.

"Jangan. Ganggu. Kehidupan. Tenangku!" lanjut Aline penuh penekanan di setiap katanya. 

Baron menatap tidak percaya. Aline berlalu dan dengan sengaja menabrak bahu Baron hingga Pria itu terdorong sedikit ke belakang. Tidak lupa Aline memberikan tatapan tajamnya sebagai peringatan terakhir agar tidak menyusahkan hidupnya. Langkahnya cukup ringan dan Ia siap menerima pelajaran baru untuk pengalaman kehidupan sebagai orang biasa. 

Aline mengulas senyum bersahabt pada Cecil ; yang pernah bermasalah dengannya ; yang menatapnya penuh takut. Serta pada Geng Demon yang tidak lagi berani menghadapnya. Berniat hati ingin lebih bersahabat tapi apalah daya ornag-orang menjauhinya karena segan.

"Pria tidak boleh menunjukkan rasa takutnya," ucap Aline dan menepuk pundak Demon diakhiri senyum manisnya.

Demon mengerjap beberapa kali menyadarkan diri dari perkataan Aline. 

ALINE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang