[🏪]

1.9K 259 25
                                    

"Kita ketemu lagi."

Rasanya Giselle ingin tertawa hebat mendengar pengakuan pria yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Memang sosok di sebelahnya ini merupakan orang yang tidak ia kenal, tetapi entah mengapa sudah seperti agenda wajib sehari-harinya untuk bertemu dengan si pemilik harum lautan tersebut.

"Lo habis berantem lagi ya, sama pacar lo?"

Giselle mengangguk. Ia menurunkan minuman kalengnya dari bibirnya. "Kalau lo? Udah ditampar sama pacar lo?"

Tawa sebenarnya menguar di antara mereka. Lelaki yang kini memakai kaos garis-garis dengan paduan warna hijau putih itu tertawa hebat, seperti menyalurkan keinginan Giselle di awal saat ia datang. "Gue bahkan baru lima menit ketemu sama dia."

"Life must suck for us."

Lelaki itu mengangguk. "Gue gak tahu deh kenapa semesta suka banget begini. Padahal bukan gue yang salah, tapi kok gue terus yang kena tampar."

"Risiko cowok ganteng," aku Giselle tanpa sadar, membuat pria dengan harum air laut ini menolehkan kepalanya dengan cepat.

"Lo bilang gue ganteng?"

Giselle mengerjapkan kedua matanya. Lelaki itu sudah menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk, memastikan perkataan Giselle tadi. Perlahan Giselle mengangguk. Lagi pula dia udah dengar, ngapain juga pakai alasan-alasan.

"Lo serius?" tanyanya lagi membuat Giselle mendengus tak percaya.

"Iya, lo ganteng wahai manusia yang gak gue tahu namanya."

"Widih, gokil! Makasih."

Dari sudut matanya, Giselle dapat melihat jika lelaki ini sedang tersenyum dengan senyum lebar yang terukir pada wajahnya. Sisi baru yang gue lihat, apa karena gue bilang ganteng ya? Giselle membatin, lalu mengalihkan lagi arah pandangannya pada jalanan sepi di depannya.

Sekarang mereka berdua sedang duduk di pinggir jalan, di depan minimarket yang buka dua puluh empat jam. Sudah pukul sepuluh malam, dan keduanya kembali bertemu di tempat yang sama. Namun, jika diingat-ingat, Giselle bahkan tidak tahu nama pemuda itu. Pertemuan pertama mereka cukup absurd untuk mengenalkan nama.

Saat itu sedang musim hujan, tetapi Giselle tidak bisa bangkit dari duduknya yang dibasahi oleh tetesan air hujan. Ia sedang kesal, sampai-sampai ingin menangis jika diperbolehkan. Tetapi air matanya tertahan pada pelupuk matanya, tak sanggup untuk turun menelusuri wajahnya. Maka dari itu, Giselle mencoba untuk hujan-hujanan seperti orang tolol. Mungkin dengan begitu rasa sakit dalam dadanya hilang disapu air yang turun.

Namun, siapa sangka ada lelaki yang ikut duduk di sampingnya. Membawa minuman botol yang terbuka tutupnya, membiarkan tercampur dengan derasnya hujan. Samar-samar Giselle dapat melihat sebuah bekas luka di pipi sebelah kanannya.

"Lo gak papa?" tanya Giselle saat itu, membuat pria tersebut menoleh dengan salah satu alisnya yang terangkat.

"Gue?"

"Iya, Lo."

"Gak papa," jawabnya, "Maklum aja ya, gue habis ditampar."

Giselle langsung mengerjap kaget, tetapi tidak berani bertanya lebih lanjut. Pada kenyataannya mereka berdua adalah orang dewasa yang sama-sama asing bagi satu sama lain. Mungkin masalah pria tersebut sangat besar hingga menciptakan jejak di pipi itu.

Namun, siapa sangka seminggu kemudian mereka bertemu kembali pada tempat yang sama. Dia masih datang dengan jejak di pipi, bahkan merambat hingga ujung bibirnya berdarah. Sejujurnya Giselle amat terkejut, tetapi lagi-lagi memilih diam karena mereka orang asing.

Cuento; Jeno & GiselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang