[👵🏻]

1K 185 33
                                    


___________


Meskipun pagi ini tidak Giselle rasakan seperti biasanya, mentari tetap melakukan tugasnya untuk bersinar. Cahaya-cahayanya mulai mengintip ribut dari balik gorden, memaksa Giselle yang entah mengapa seperti tidak ada tenaga untuk terbangun. Sesaat Giselle merengut tak suka, kemudian kembali melanjutkan bunga tidurnya.

Baru dua detik matanya terpejam, bel rumah berbunyi. Berkali-kali tanpa kesabaran, membuat Giselle terbangun dengan kening yang berkedut-kedut. Siapa juga yang bertamu di Hari Minggu penuh kedamaian ini?

Dengan lunglai Giselle berjalan, melangkahi satu demi satu keramik lantai hingga sampai ke pintu depan. Ia harus menarik napas panjang sebelum tangannya meraih kenop pintu. Siapa pun manusia di balik daun pintu ini, akan Giselle habisi tanpa terkecuali.

Namun, sudah puluhan kali Giselle mencoba, kenop pintu itu tidak bisa ia gapai. Seperti tidak tersentuh, tidak bisa diotak-atik. Bel pintu juga tak mau kalah, selalu berbunyi memekakkan telinga Giselle yang masih berusaha membuka pintu.

Ada rasa aneh terbesit dalam jiwanya, tapi Giselle mencoba untuk acuh. Ia mencari jalan lain, seperti mengambil ponsel yang anehnya juga tidak bisa disentuh.

Kenapa? Giselle memutar otak dengan panik. Kehidupannya bukan drama penuh skenario horor ataupun mistis. Atau mungkin ini mimpi?

"GISELLE! BUKA PINTUNYA!"

Teriakan yang kembali mengejutkan sang empu rumah, membuat Giselle sontak mendekati lagi pintu depannya. Tangannya kembali mencoba, tetapi semua benda seakan tak berwujud.

Gak mungkin.

"GISELLE! GUE JENO! BUKA PINTUNYA KALAU LO DI DALEM!"

"Gue di dalem!" Giselle ikut berteriak. Siapa saja yang mendengar teriakan Jeno juga pasti ikut panik karena ada gedoran yang menyertainya. "Tapi pintunya gak bisa di buka, Jen!"

"GISELLE! GUE DOBRAK PINTUNYA SEKARANG KALAU LO MASIH GAK JAWAB GUE!"

Ponsel berdering, pintu yang diketuk tak sabaran, serta teriakan memanggil nama Giselle yang tak henti-henti dilakukan oleh Jeno. Semua terasa sangat ribut, tapi tak ada satu pun yang bisa Giselle lakukan. Ia panik, panik sekali sampai rasanya tidak bisa bernapas dengan teratur. Kedua netranya menatap lamat-lamat pintu di depannya, berharap Jeno bisa masuk dan menemukannya yang bak anak bebek kehilangan induknya.

"GUE DOBRAK YA! DALAM HITUNGAN KE TIGA!"

Satu,

Dua,

Tiga.

'BRAK!'

Senyum semringah langsung tercipta pada wajah Giselle. Jeno jelas bisa diandalkan. "JEN! MAKASIH BA—"

"GISELLE! LO DIMANA?!"

Giselle membeku.

Jelas-jelas perempuan itu berdiri tepat di hadapan Jeno yang tidak karu-karuan. Jelas-jelas Giselle sudah ada dengan senyum leganya. Jelas-jelas ia hampir memeluk pria yang lebih tinggi daripada dirinya.

Namun, mengapa seakan Giselle tak kasat mata?

"Jen, gue di depan lo?"

"GISELLE?!"

Jeno seperti tak mendengar apa-apa. Dia berjalan tergesa memasuki rumah, dengan tak sengaja melewati Giselle tanpa oleng sedikit pun.

Sebenarnya apa yang terjadi? Batin Giselle bergejolak panik. Ia mengikuti langkah Jeno, sembari meneriaki kalau dirinya sudah ada di sisi laki-laki itu.

Cuento; Jeno & GiselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang