Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada perpisahan mendadak, siapa yang akan menyangka kalau hari ini adalah hari terakhirku bertemu Ayah, padahal baru saja aku pamit pulang hanya untuk sekedar mandi dan mengganti bajuku yang sudah dua hari lalu belum aku ganti dikarenakan menjaganya di Rumah Sakit.
Di ambang kamar jenazah aku memandangi para perawat serta kakak-kakak-ku yang sedang sibuk memandikan Ayah, aku mengalihkan pandanganku pada tumpukan barang-barang Ayah. Baju, pampers, selimut, bantal serta alat-alat makan yang di bawakan Ibuku saat beliau dinyatakan harus dirawat, begitu mengundang kesedihan, lalu mataku tertumbuk pada satu benda, ah, itu botol madu yang baru saja aku bawakan padanya pagi ini agar ayah bisa meminumnya sedikit demi sedikit, batinku. Benda itu membuat sesak dadaku dan seketika itu pula membuat tangis-ku pecah, ada semacam luka tak kasat mata yang menggores hati begitu dalam terkait kepergian Ayah dan bergandengan erat dengan serentetan penyesalan yang menyergap. Ayah..., aku banyak salah. Aku belum sempat minta maaf pada Ayah, lirihku.
Salah seorang kakak-ku menghampiri ketika ia sudah selesai memandikan serta mengafankan Ayah. "Maafkan Ayah, ya," ujarnya sambil erat memeluk bahuku yang terguncang menahan tangis.
Mengapa harus Ayah yang dimaafkan? sementara yang memiliki segudang kesalahan adalah aku ... benakku terus saja melontarkan kalimat itu pada diri sendiri. Aku tidak memiliki daya apapun layaknya kakak-kakakku yang begitu tegar memandikan Ayah, mengafani Ayah, begitu pula Ibu yang begitu tegar melihat dan memandangi lelaki yang selama ini menjadi teman hidupnya. Pasti sangatlah berat untuk Ibu berpisah dari Ayah dengan perpisahan yang seperti ini, batinku seraya memerhatikan Ibu dengan lekat dari tempatku berdiri. Ibu dan kakak-kakakku pastilah memiliki hati yang begitu besar tidak sepertiku karena aku merasa ini seperti mimpi buruk, aku tidak mampu mengatasi rasa penyesalan serta kesedihan yang menggerogoti hati.
Selepas kami menguburkan Ayah, aku, Ibu dan kedua kakakku kembali ke rumah yang kini terasa sangat kosong juga hampa tanpa kehadirannya.
"Tara, bantu Ibu untuk menyiapkan pengajian malam ini untuk Ayah, ya," pinta Ibu membuyarkan lamunanku lalu dengan cepat aku menganggukan kepalaku dan bergegas membereskan juga menyiapkan segala sesuatu yang di perlukan.
"Tara, sudah jangan ditangisi Ayah, kasihan nanti berat langkah Ayah," Quinza, kakak pertamaku menghampiri, ikut membantuku atau lebih tepatnya mengkhawatirkan keadaanku karena menurut pengamatan mereka aku lebih terpukul ketimbang Ibu.
"Iya, Kak Quin," jawabku pendek. Aku enggan membicarakan apapun tentang Ayah saat ini karena semakin diingat semakin hatiku terasa luka.
***
Malam ini kami begitu lelah karena sedari pagi aktifitas kami sangatlah padat, dari mulai mengurus jenazah Ayah di rumah sakit sampai dengan pengajian yang diadakan pada malam hari untuk Ayah.
Banyak yang hadir pada acara pengajian Ayah, semua tetangga terlihat sama terpukulnya dengan kami, keluarga, ini disebabkan sosok Ayah begitu berpengaruh dalam pergaulan sehari-hari dengan para tetangga. Ayah dikenal sebagai sosok yang tidak pelit dan senang membantu orang lain juga seseorang yang humoris, begitu pula sosok Ayah terekam dengan sangat baik di kalangan kolega dan teman-teman perkumpulan memancingnya, kepergian Ayah meninggalkan luka dalam benak masing-masing orang yang mengenalnya.
"Ibu istirahat duluan, ya."
"Quin temani Ibu tidur ya, malam ini."
Kakakku mengkhawatirkan Ibu akan sedih karena merasa sendiri sementara kakak keduaku, Zara ditugaskan untuk menemaniku hanya saja aku berdalih meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja, sebenarnya aku hanya perlu menyendiri, itu saja maka malam ini aku tetap tidur di kamarku, sendiri.