Tumbuh 7

13 5 17
                                    

"Doni tadi meneleponku." Ungkap gian setelah menyebut pesanan pada seorang pelayan yang menawarinya. Aku langsung antusias untuk mendengarnya. Bahkan, kesedihan yang kurasakan beberapa waktu lalu hilang begitu saja.

"Dia bilang, ibumu sekarang benar ada di Jogja." Lanjut gian membuat perasaanku tidak karuan. Aku langsung antusias dan merasa bahagia mendengarnya. Aku ingin sekali bertemu dengan ibuku.

"Lalu? Bagaimana dia?" Tanyaku segera pada gian.

Gian sempat diam beberapa detik. Sampai dia kembali menatap aku.

"Aku tidak tahu dia bagaimana? Tapi doni bilang..." Jeda sejenak, aku tidak sabar. Aku penasaran. "...ibumu di rumah sakit." Lanjut gian membuatku seperti di sambar petir.

"Ibu kenapa? Kenapa bisa di rumah sakit?" Aku menarik tangan gian meremasnya kencang. Gian hanya diam menerima apa yang aku lakukan pada dirinya. Mungkin dia mengerti bagaimana perasaanku? Sampai saat aku menangis pun dia hanya diam saja tanpa mengeluarkan satu kalimat pun.

"Mas, kopinya." Seorang pelayan datang meletakkan kopi hitam pesanan gian. Aku masih menangis tidak memperdulikan tatapan bingung pelayan itu. Gian Mencoba memberi kode pada pelayan itu bahwa tidak ada apa apa yang harus di buat bingung. Lalu pelayan itu pun berlalu pergi.

"Kamu mau menemuinya?" Tanya gian memastikan. Aku diam beberapa saat untuk sedikit berpikir, lalu aku mengangguk dan menatapnya.

"Akan ku temani." Dia tersenyum sangat sempurna hari ini untukku. Aku sedikit terharu atas semua kerja kerasnya. Tiga tahun lebih dia berusaha mencari informasi tentang ibuku. Aku langsung memeluknya erat, tanda bahwa aku sangat berterima kasih padanya karena sudah mau aku repotkan. Aku juga bahagia, karena dia sudah hadir dan mau membantuku untuk hal apapun.

"Sudah. Hapus air matamu. Aku tidak suka melihatmu menangis." Dia mencoba mengusap air mataku. Aku tidak peduli kalaupun hari ini Bima datang lagi dan memarahiku.

"Terima kasih, gian."

Gian tertawa dan mendorong wajahku pelan.

Terima kasih banyak. Untuk banyak hal yang sudah kamu lakukan untukku. Untuk setiap usahamu yang tidak pernah kamu eluh kan karena gagal mengetahui informasi tentang ibuku. Untuk setiap semangat mu untukku dalam menghadapi mas Bima. Kita tidak sedarah, gian. Tapi perlakuanmu padaku menggambarkan kalau kamu itu adalah kakak kandungku. Seburuk apapun kamu menurut orang, Dimata ku, kamu lebih dari baik.

Aku tidak pernah bisa berkata jujur apa yang ada di dalam perasaanku. Tapi semoga, setiap tingkah yang aku lakukan untukmu, cukup membuatmu mengerti, kalau aku menyayangimu.

"Heh." Lambaian tangannya didepan wajahku membuat diriku terkejut.

"Ngelamunin apa kamu?" Tanyanya. Aku hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan.

"Oh iya, aku masih penasaran sama pria tadi. Boleh dong cerita?" Aku kira gian sudah melupakan pria tadi, ternyata dia masih ingin mengungkitnya.

"Aku tidak tahu dia siapa?"

"Kok bisa tidak tahu?" Tanya gian dengan memicingkan matanya.

"Sumpah, dia datang aja tiba tiba. Temanku juga bukan." Ujar ku sedikit malas kalau harus membahas pria itu.

Gian tertawa. Aku pun hanya menggelengkan kepala. Bingung juga sih sama pria yang ngaku namanya Aksa itu. Kok bisa sih dia gangguin aku terus? Aku saja tidak mengenalnya sama sekali. Apa memang ada hal yang dia incar dari diriku? Tapi apa? Aku tidak seistimewa itu untuk jadi incaran. Aku juga bahkan bukan anak sultan. Aku orang biasa yang jauh banget dari kata mewah, ataupun istimewa.

TumbuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang