Tumbuh 11

3 0 0
                                    




Sesampainya di rumah sakit medika jogja, aku dan gian tidak langsung masuk ke dalam rumah sakit. Gian bilang, kita harus menunggu doni dulu untuk menjemput kita. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu, akhirnya doni datang menghampiri kita.

"Bagaimana keadaan ibu?" Aku langsung melontarkan tanya pada lelaki yang mempunyai tubuh lumayan tinggi itu.

Pria itu tersenyum padaku dan gian secara bergantian. Gian memberikan isyarat pada lelaki itu untuk menjawab pertanyaan ku.

"Ibumu baik baik saja." Jawabnya singkat. Kemudian dia langsung mengajak kami untuk berjalan mengikutinya.

Sebenarnya banyak sekali rasa yang hatiku rasakan saat ini. Senang, gugup, bingung mau memulai dari mana nanti saat bertemu? Dan banyak hal lainnya yang merundung hatiku.

Selama aku berjalan, aku tidak henti hentinya memeriksa wajahku lewat layar ponsel karena aku sangat takut terlihat lesu di depan ibu nanti. Aku hanya ingin memperlihatkan padanya kalau selama ini aku baik baik saja walaupun tidak ada dia di hidupku di waktu yang selama itu.

Langkah Doni, pria yang membawa kami berhenti di depan ruang nomor 24. Seketika hatiku ikut berhenti merasakan apa yang aku rasakan selama perjalanan tadi. Jantungku serasa berhenti berdetak bersamaan mataku yang melihat pintu kamar itu.

Melihat aku yang tiba-tiba seperti patung, gian memegang bahuku pelan dan menatapku.

"Kamu tidak papa, tara?" Tanyanya padaku.

Aku sedikit tersentak, namun aku langsung kembali sadar dan melirik gian di barengi senyum tipis ku.

"Aku tidak papa." Jawabku.

"Kemarin saya sudah memberitahu ibumu, kalau ada yang mau bertemu dengannya." Ucap doni menatapku.

"Lalu dia bilang apa?" Tanyaku penasaran.

"Dia cuma bertanya siapa yang mau bertemu dengannya?" Jawab pria itu.

"Lalu, kamu menjawabnya?" Tanyaku lagi.

Dia menggeleng.
"Saya selalu mengingat pesan gian." Jawabnya.

Kalimatnya membuat aku langsung melirik gian yang kini sedang menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku baca.

"Kamu bilang apa?" Tanyaku pada pria yang tatapannya tidak bisa aku baca itu.

Dia hanya mengedik kan bahunya.

"Masuk sana, ibumu sudah menunggu lama itu." Ucapnya mengalihkan pertanyaan ku.

"Aku takut ibu tidak mau bertemu aku gian." Ungkap ku pada gian. Aku risau karena pertanyaan itu yang selalu terputar di kepalaku, "apa ibu mau menemui ku?"

Gian memegang bahuku lalu tersenyum.
"Seorang ibu, tidak ada yang tidak mau bertemu anaknya, apalagi kalau anak itu sudah sangat lama ia tinggalkan." Jeda sejenak. "Masuklah, dia pasti merindukanmu."

Aku diam sejenak, menunduk, mencoba terus mengontrol perasaan perasaan aneh dan segala kerisauan dan kegundahan. Aku menatap gian kembali. "Temani aku."

"Aku akan selalu menemanimu."

Lalu aku mengangguk.

Aku membuka pintu ber cat putih itu perlahan. Aku melihat seorang wanita yang tengah terbaring di atas ranjang sana. Dia melirikku saat menyadari kalau ada seseorang yang membuka pintu kamar inapnya.

Dia masih mengawasi setiap gerak gerik ku. Gian mendorong pelan tubuhku untuk masuk dan berjalan menghampiri wanita itu.

Dia tidak mengeluarkan suara apa apa selain hanya terus menatap dan mengikuti kemana aku berjalan.

TumbuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang