🧚‍♀Deeptalk.

25 7 3
                                    

-

Gadis berbalut seragam sekolah Nufa lengkap dengan almamater dan selempangan sebelah tali tas mahal itu melangkah memasuki rumah besarnya yang terlihat amat sepi seperti rumah kosong dan berhantu. Helaan napas panjang keluar dari hidungnya kala merasa kalau suasana rumah ini sama saja seperti biasanya. Hening, senyap, sepi, dan mencekam.

Ocha menoleh, kemudian melangkah menaiki tangga menuju ke lantai 2. Langkahnya berjalan lurus sampai pada sebuah kamar yang terletak di samping perpustakaan kecil buatan papanya. Tangannya terulur mendorong pelan pintu yang awalnya sudah terbuka itu, matanya meredup tak minat menatap papanya duduk lesehan di sebelah kamar mendiang kakaknya sembari menatap sinar matahari yang langsung masuk karena papa berhadapan langsung dengan jendela kamar yang terbuka.

Pria paruh baya itu selalu meratapi nasib. Agak kurang waras karena bukannya melakukan sesuatu untuk balas dendam, papa malah sibuk melamun dan memikirkan kenangan indahnya bersama sang anak sulung tersayangnya itu. Ocha jengah, sangat. Mengurusi seorang orang tua yang kurang waras dan kerjaannya cuma meratapi nasib, membuat Ocha sebal dan menumbuhkan rasa dendam.

"Pa, come on. Kak Icha gak bakal balik kalo papa meratapi nasib doang," kata Ocha sudah jengah dengan tingkah papanya yang sama-sama saja setiap waktunya.

"So what should I do, dear?" Pertanyaan balasan papa terdengar sendu dan amat putus asa.

Ocha memutar bola mata malas, hatinya benar-benar sudah mati untuk bersimpati bahkan terhadap papanya sendiri. "Apa lagi? Papa harus balas orang yang udah buat papa kehilangan Kak Icha," jawabnya langsung.

"Will Icha be happy?" tanya papa tak yakin.

"Happy or not, it is clear you do not accept the departure of Icha. So you have to do something that makes you satisfied, Papa." Ocha mengatakannya dengan mantap.

"Can I, dear?" Tatapan mata papa tetap kosong layaknya orang yang telah kehilangan semangat hidup.

"Harus bisa," balas Ocha tegas. Tangannya terkepal kuat secara refleks karena ikut merasa emosi dan dendam. "What you think that person deserves, make him suffer as much as possible because it has taken your happiness."

"So, dear, what should I do first?" Papa menoleh perlahan ke putri bungsunya, menatapnya dengan penuh keyakinan karena turut merasa kalau balas dendam adalah hal yang terbaik.

Ocha menarik sudut bibirnya membentuk seringaian kecil. Merasa puas karena papa kini juga turut berpikir kalau dendam bisa dan harus terealisasikan karena nyawa salah satu anaknya yang telah melayang, sebagai bentuk pembalasan dari dan untuk orang yang bersangkutan.

"Well. Papa masih punya koneksi di Sukabumi, kan? Hal pertama yang harus kita lakukan, adalah membuat orang tua dan anak dari pelaku tewasnya Kak Icha terpisah dan terpecah belah."

Papa mengangkat alis, "who is they?" tanyanya langsung.

"Bahtiar Aroelino dan Saptia Maharani."

-

Asap yang keluar dari benda berbahan dasar nikotin itu sekilas menutupi wajah putih Nafi yang selalu terlihat bersinar di antara cahaya remang-remang ruangan para penghibur di pusat kota Jakarta. Bar di tengah perkotaan itu menjadi tempat favorit Nafi untuk nongkrong dan menenangkan diri.

Ditemani oleh Sifon dan Arga yang memang selalu menjadi printilannya untuk urusan dunia malam dan kebejatan. Juga sebatang rokok merek Senior yang terapit di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Nafi- menambah kesan bocah nakal pada pemuda berumur 18 tahun itu.

Ibu PeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang