Hasan merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia sengaja mendinginkan ruangan akibat aktivitas yang amat melelahkan. Matanya melirik jendela yang membingkai warna-warna senja. Setidaknya, fenomena satu itu yang membuatnya masih percaya bahwa kehidupan adalah sesuatu yang tidak bisa begitu saja dipaksakan untuk sama.
Pertanyaan-pertanyaan dari para tamu yang hampir serupa tadi membuat Hasan semakin meyakini bahwa standar kehidupan manusia di sekitarnya benar-benar mengalami penyeragaman. Seakan, semua manusia seusianya akan dianggap berhasil dan sempurna jika telah menikah. Seolah, sehebat apapun prestasi yang telah diraih, tidak akan ada artinya tanpa "pasangan" hidup. Ia tak habis pikir, mengapa ada manusia yang masih tahan untuk hidup dengan tuntutan itu.
Padahal, Hasan tidak jarang menjumpai bayi yang dibuang orang tuanya di pinggir jalan. Alasannya, bukan semata-mata disebabkan oleh "kecelakaan". Pasangan muda yang belum sanggup membesarkan anak pun ikut melakukannya, membuktikan pada Hasan bahwa narasi glorifikasi pernikahan tidaklah selalu berjalan sebagaimana mestinya. Fenomena semacam itu menjadi salah satu objek yang sering dirinya potret, lalu disebarkan melalui media sosial.
Hal itu menyebabkan dirinya mulai berpikir akan marah dan menuntut pasangan yang telah menimbulkan bayi tidak berdosa harus terlempar ke dunia yang keras. Tidak minta dilahirkan, tiba-tiba dilempar. Andaikan bayi bisa bicara, mungkin pasangan muda itu akan memohon agar bisa mengembalikan semuanya seperti semula. Mendapatkan pasangan yang sadar akan hal itu, tentu saja bukan hal mudah. Oleh karena itu, tuntutan untuk menikah membuat Hasan hanya menelan ludah di bawah embusan pendingin ruangan.
"Hasan, sudah cek grup atau belum?" tanya Henry, rekan fotografernya yang sekamar.
"Belum, Mas Hen. Mana sempat aku cek hape," jawab Hasan.
"Berita duka," ucap Henry. "Sebaiknya Hasan baca sendiri, deh," lanjutnya memperlihatkan layar ponsel pada Hasan.
"Mas, ini teman seangkatanmu, 'kan? Kenapa aku juga harus ikutan baca?" tanya Hasan.
"Lah, waktu kuliah, bukannya kalian sering makan dan jalan bareng, ya?" jawab Henry.
Ucapan Henry membuat memori Hasan terbang beberapa tahun yang lalu. Apalagi, nama seseorang yang tertera pada berita duka adalah orang yang sama dengan sosok yang mengenalkan Henry padanya. Degup jantung Hasan menjadi lebih kencang dan keringat dingin bercucuran akibat potongan kejadian yang terlalu mendadak. Tak satu pun kata keluar dari mulut Hasan, bahkan untuk sekadar mengonfirmasi yang ditanyakan Henry.
Henry yang memahami bahwa ucapan itu banyak benarnya pun mengalihkan pikiran Hasan. "Ya sudah, besok mau layat ke sana atau tidak?" tawarnya.
"Boleh juga, Mas. Hari ini sudah gelap. Capek juga. Belum lagi, harus menyunting foto dan segala macam," terima Hasan. Matanya menoleh sejenak pada langit malam yang membawakan kilauan bintang. Ia pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kebetulan Henry juga masih merebahkan tubuhnya.
Pria itu bahkan tak menyadari bahwa air matanya menetes. Percikan air memang mampu membasuh tangisannya, tapi tidak dengan perasaan aneh yang masuk ke pikirannya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memakai wewangian dari sabun dan sampo yang disediakan hotel, tetapi hanya sesaat. Parfum yang diberikan oleh seseorang sebagai hadiah ulang tahunnya pun Hasan semprotkan berkali-kali ke sekujur tubuhnya agar nama itu berganti dengan orang lain.
"Hasan, kamu sudah selesai? Wangi sekali," tanya Henry. Namun, orang yang Henry tanyai itu masih mengatupkan bibirnya. Ia paham betapa terpukul perasaan Hasan, tetapi bukan berarti bisa menyembunyikan kabar duka itu. Terlebih lagi, sekotak kardus sampai ke kamar mereka saat Hasan masih membersihkan diri. "Ngomong-ngomong, tadi ada paket yang ke sini buat kamu. Itu di meja," tunjuk Henry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Akhir yang Indah Tiba
Romance"Aku baru menyadari kalau jatuh cinta padamu lebih dari yang kutahu setiap matahari terbit". "Siang yang kujumpai memang lebih terang, sayangnya ... mulai sekarang, ada hal baik yang terasa menghilang." "Ketika senja tiba, bolehkah aku memanggil nam...