PROLOG

31 8 11
                                    

Sang mentari mulai menampakkan sinarnya ke seluruh kota yang bumi hadapkan secara bergantian. Perlahan-lahan, warna langit berubah sesuai gelombang yang atmosfer biaskan. Kehangatannya mengundang makhluk yang disinarinya untuk beranjak dari alam mimpi, meski sekadar untuk meregangkan badan.
Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke ponsel Alex Albrecht Palaguna. Bibirnya tersenyum saat memeriksa nama penelepon yang tertera. Panggilan itu berasal dari tunangannya. Semalam, mereka baru saja berkencan--sebuah aktivitas rutin mingguan yang mereka lakukan untuk menambah kedekatan. Kemarin, Alex menonton film di rumah tunangannya sambil memakan camilan yang Alex bawa sebelum sampai ke rumah itu.
"Rise and shine, darling!" sapa Alex duluan.
"Ih, masih hidup ya, kamu!" seru tunangannya di seberang suara.
"Masih, lah. Kamu ngga mungkin dong, nikah sama orang lain?" balas Alex.
"Kamu sedang apa, nih?" tanya lawan bicara Alex.
"Baru mau mandi. Aku harus siap-siap berangkat kerja," jawab Alex.
"Oh, gitu. Oke, buruan mandi, ya. Jangan sampe pasienmu pingsan semua gara-gara dokternya belum mandi," dukung sang tunangan.
"Semalam menyenangkan," ujar Alex.
"Hahahaha. Padahal biasanya kamu nggak suka genre romantis. Minggu depan kita nonton film anak-anak saja, ya. Soalnya ngga mungkin kita kasih tontonan genre lain kalau anak kita masih kecil," balas perempuan itu.
"Bisa aja deh kamu," jawab Alex.
"Iya. Calon istrinya Alex Albrecht Palaguna memang serba bisa. Apalagi bikin jatuh cinta," ucap tunangannya.
Alex terkekeh ringan mendengar ocehan tunangannya. "Oke, sudah hampir terlambat. Sampai jumpa, Thalita!" tutup Alex. Pria itu pun bersiap-siap untuk bekerja.
Sudah empat tahun berlalu semenjak Alex lulus dari Fakultas Kedokteran di salah satu kampus ternama. Saat ini, dirinya telah menjadi dokter di rumah sakit. Sudah hampir satu tahun pula semenjak Thalita, perempuan yang tadi meneleponnya, menjadi tunangan Alex. Mereka dipertemukan karena kedekatan masing-masing orang tua.
Thalita adalah perempuan yang selalu mendukung Alex, meskipun mereka baru bertunangan satu tahun yang lalu. Dirinya banyak membantu Alex dalam meringankan beban mentalnya, sebab perempuan itu memiliki latar belakang keilmuan psikologi. Mereka saling percaya bahwa pasangan itu bisa mendukung satu sama lain.
Setiap kali ada kesempatan beristirahat, Alex selalu merenungkan betapa bersyukurnya ia telah bebas dari apa yang selama ini dikonstruksikan sebagai "quarter life crisis". Kehadiran Thalita sebagai tunangan dan karirnya yang mulai menanjak sebelum usia 30 membuat pria itu terkadang menangisi kebaikan yang Tuhan berikan padanya. Hal penting yang perlu Alex prioritaskan sekarang adalah meningkatkan performanya di tempat kerja.

Soundtrack:

***

Siang itu, Jaka Andreas Ardhitama meminum kopi amerikano di kafe tempat dirinya akan bertemu teman-teman kuliahnya. Tak lama kemudian, matanya menangkap wajah seorang perempuan yang sudah lama dikenalinya. Di belakang perempuan itu, seorang pria yang merupakan teman Jaka menyusul langkahnya. Senyuman Jaka pun merekah tatkala menyambut kedua temannya itu.
"Lama tidak jumpa, Hilda dan Daniel!" sapanya.
"Ah, kangen banget!" seru Hilda.
"Bagaimana kabarmu, Jaka?" tanya Daniel. Tangannya memegang buku menu makanan yang disodorkan oleh pelayan.
"Baik. Kalian pesan makanan dulu saja," jawab Jaka.
"Oke. Mau pesan apa, sayang?" tanya Daniel pada gadis di sampingnya.
Setelah menelusuri gambar dan deskripsi pada menu yang tersedia, Hilda pun menyebutkan nama menu yang ingin dicobanya. "Mi goreng sosis dan wafel es krim vanila". Daniel pun mengulangi ucapan Hilda. Setelah semua pesanan ditentukan, pelayan itu pun pergi.
"Eh, Jaka. Aku tuh pesan wafel karena kamu juga pesan. Boleh kucoba dulu, ngga? Sepertinya kamu belum menyentuhnya," izin Hilda. Jaka pun mengizinkan gadis itu dengan mendorong piringnya. Raut wajah Hilda penuh kegirangan saat melihat dan memakan sebagian wafel itu.
"Hilda, sebentar!" seru Daniel. Rupanya, pria itu membersihkan tepi bibir Hilda yang kotor akibat makanan itu. Setelah itu, Hilda memberikan senyuman termanisnya pada Daniel.
Jaka yang semula melipat tangan di dada pun akhirnya menggerakkan kembali bibirnya. "Kalian sudah berpacaran, ya?" tanya Jaka.
"Yah, begitulah," jawab mereka bersamaan. Tak lama kemudian, pesanan pun datang. Sekali lagi, Hilda tampak senang melihat makanan yang tersaji di hadapannya.
"Kamu bahagia banget, ya, Hilda? Sepertinya besok lagi aku harus sering mengajakmu ke sini untuk berkencan, ya?" komentar Daniel. Hilda pun membalasnya dengan anggukkan. Helaan napas berat keluar dari Daniel karena baru mengetahui sisi dari kekasihnya yang itu.
"Ngomong-ngomong, aku belum mengucapkan selamat kepada kalian berdua karena sudah jadian," tutur Jaka ketika mereka berdua menelan suapan pertamanya. "Selamat, ya!" lanjut Jaka kemudian.
"Terima kasih, Jaka," balas Hilda. Kekasihnya pun berbalik tanya, "bagaimana denganmu, Jaka? Sudah ada pacar?"
"Haha," balas Jaka. "Aku masih belum selesai menjelajahi dunia ini. Masih sibuk dengan pekerjaan juga. Walaupun aku ingin punya skill yang lebih, tapi prioritasku bukan ke sana dulu," lanjutnya.
"Padahal, kamu orang pertama di angkatan kita yang dapat pekerjaan tetap di perusahaan terkenal pertama kali, tapi masih bisa berkata begitu," ujar Daniel.
"Sudah, Daniel. Jangan bicarakan urutan seakan itu sebuah balapan," nasihat Hilda.
"Betul sekali. Kau harus rajin-rajin mendengarkan kekasihmu, Daniel. Hilda adalah orang yang bijaksana," timpal Jaka.
"Yah, lagipula, aku dan Hilda juga tidak kalah darimu, kok. Takdir sepertinya masih berbaik hati pada kita," jawab Daniel saat sebuah pesan masuk ke grup obrolan mereka.

Sampai Akhir yang Indah TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang