Berburuk Sangka

562 28 0
                                    


Darmo tengah memanaskan motornya untuk bersiap-siap menuju kios tempat di mana ia berjualan sate ayam. Kios sate ayamnya jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya.

Sementara Asih, istrinya, tengah memasukkan bumbu kacang ke dalam panci di dapur.

 "Bu, cepet, keburu siang," teriak Darmo. 

 "Iya pak. Tolong dong panggilin Dewi, suruh dia beli kecap. Soalnya kecapnya tinggal sedikit. Takutnya nanti kurang," sahut Asih.

Dewi adalah anak pertama Darmo dan Asih. Usianya masih 15 tahun. Sebentar lagi Dewi akan memiliki adik. Sebab Asih saat itu tengah mengandung anak kedua. Usia kandungannya menginjak 8 bulan.

Setelah segala sesuatunya siap, pasutri itu kemudian berangkat menuju ke kios sate ayamnya. Sementara Dewi ditinggal di rumah dan ditugasi oleh Asih untuk mencuci perkakas bekas membuat adonan sate.

Tiba di kios, keduanya langsung bergegas menyiapkan dagangannya. Darmo lantas menyalakan arang di tempat pembakaran. 

 "Semoga hari ini laku banyak ya, pak," keluh Asih sambil menata tusukan sate yang dibungkus daun pisang di etalase gerobak.

Memang, hampir setahun ini, usaha dagangan sate ayam milik Darmo dan Asih sangat lesu. Hal ini disebabkan adanya pesaing lain yang juga ikut menjual sate ayam tak jauh dari kiosnya. Meski hanya berupa tenda pinggir jalan, namun sate ayam pesaingnya itu sangat ramai pembeli.

Maklum, pesaingnya asli berasal dari Madura. Tentu saja, rasa sate dan bumbunya yang khas begitu diminati oleh para penikmat sate di nusantara. Padahal untuk segi harga, sate milik Darmo lebih murah.

Sudah dua tahun ini Darmo menggeluti usaha sate ayamnya. Ia berjualan sate ayam karena harus tetap menafkahi keluarga setelah sebelumnya ia di PHK menjadi seorang sopir di salah satu perusahaan distributor makanan ringan.

Namun, karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan, di mana salah satu manager-nya melakukan penggelapan uang, terpaksa Darmo harus dirumahkan. Pada akhirnya ia pun ikhlas menerima kenyataan itu.

Uang pesangon yang ia dapatkan lantas dijadikan modal untuk berjualan sate. Awalnya, memang dagangan sate ayamnya terbilang ramai. Karena rasa satenya -bumbunya hampir mirip dengan rasa sate khas Klaten.

Namun, sejak kehadiran pedagang sate asal Madura itu, pelanggannya semakin hari semakin menyusut. Darmo sempat berpikir yang tidak-tidak atas seretnya rezeki yang ia alami akhir-akhir ini. 

 "Bu, apa kita diguna-guna ya biar dagangan kita tidak laku?" tanyanya kepada Asih.

"Hush... Jangan suudzon pak, mungkin memang lagi waktunya begini. Namanya orang dagang, kadang ramai, kadang sepi," timpal Asih sedikit menenangkan Darmo.

"Tapi ini sudah hampir setahun lho bu, sebelum kamu hamil juga sudah mulai sepi. Apalagi sebentar lagi kamu mau melahirkan. Uang dari mana? Biaya sewa kios juga masih belum ada," keluh Darmo sedikit kesal menanggapi jawaban Asih.

Asih kemudian meminta Darmo untuk beristighfar, sekaligus menasihati agar Darmo untuk rajin lagi beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah. Memang, sejak dagangannya sepi, Darmo lebih sering meninggalkan kewajibannya sebagai umat muslim.

Darmo lebih sering melamun di waktu-waktu senggangnya. Hari itu lagi-lagi bukanlah hari yang cukup beruntung. Dagangan sate ayamnya hanya laku sekitar 15 porsi dari 75 porsi yang sudah disiapkan dari rumah.

Padahal dulu, tak kurang mereka bisa menyiapkan 150 porsi setiap harinya. Dan rata-rata, dagangannya selalu habis terjual setiap harinya.

Tiba di rumah, Asih langsung memasukkan dagangan daging sate ayamnya yang masih tersisa ke dalam kulkas. Berharap, daging ayamnya tidak busuk dan bisa dijual kembali keesokan harinya. 

Mati Dalam Dekapan JenglotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang