Keesokan harinya, Darmo, Slamet, Mbah Purwo dan kedua muridnya kembali ke gunung, tempat dimana Darmo akan melakukan pertapaan. Sebelum petang, kelima orang tersebut sudah tiba disana. Azan maghrib berkumandang.Darmo dan Slamet meminta izin kepada Mbah Purwo untuk salat terlebih dahulu. Mbah Purwo mengiyakan. Sementara ia dan kedua muridnya masuk dulu ke lokasi melewati gerbang utama. Selepas salat, Slamet pun meyakinkan sekali lagi atas niat Darmo mencari pesugihan itu.
"Mo, yakinkan hati dulu. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," kata Slamet.
"Aku sudah mantap Met, jika jalan ini salah di mata Allah, aku akan berdoa agar diampuni kesalahanku. Yang aku pikirkan sekarang adalah nasib Asih, Dewi dan si jabang bayi. Supaya mereka bisa hidup Bahagia selepas ini. Itu saja," ucap Darmo.
Mereka berdua akhirnya menyusul Mbah Purwo. Mbah Purwo sendiri sudah menunggu di jalan setapak dimana itu merupakan trek meunuju ke arah puncak.
Mereka berlima akhirnya melanjutkan perjalanan sebelum kumandang azan Isya terdengar. Memang saat itu, lokasi gunung tengah ramai-ramainya pengunjung. Namun, untuk petilasan yang akan digunakan Darmo bertapa, sudah disterilkan.
Juru kunci sudah menutup akses pengunjung ke petilasan itu. Mungkin itu adalah permintaan dari Mbah Purwo. Tiba di petilasan, Mbah Purwo mengeluarkan sejumlah barang yang akan digunakan untuk ritual.
Termasuk sesajen yang sudah disiapkan sebelumnya. Digelarlah sebuah tikar yang mirip dengan tikar yang kerap digunakan untuk memakamkan jenazah. Pun demikian dengan dupa, kemenyan, minyak candu, aneka kembang, dan keris pusaka milik Mbah Purwo diletakkan di atas tikar itu.
Mbah Purwo kemudian duduk kemudian memejamkan mata sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya mengeluarkan sejumlah mantra. Tak lama kemudian angin ribut datang. Pohon-pohon besar di sekeliling mereka berdecit seperti akan tumbang.
Namun, angin ribut itu langsung berhenti setelah Mbah Purwo menyudahi ritual dan memanggil Darmo untuk duduk di sampingnya. Mbah Purwo mendekati telinga Darmo dan membisikkan isyarat sesuatu. Kepala Darmo mengangguk, memberi isyarat apa yang Mbah Purwo katakan kepadanya.
"Saya tinggal, nanti saya kesini lagi sebelum subuh," kata Mbah Purwo.
"Iya mbah, doakan saya agar mendapat restu," ucap Darmo disusul anggukkan kepala Mbah Purwo.
Mereka berempat lantas turun meninggalkan Darmo sendirian di petilasan itu. Tiba di pelataran bawah, Mbah Purwo mengajak untuk beristirahat menunggu selesainya pertapaan Darmo, tepatnya di satu bangunan yang cukup besar di lokasi gunung itu.
Slamet yang penasaran kemudian melemparkan beberapa pertanyaan kepada Mbah Purwo.
"Mohon maaf mbah, saya mau tanya. Apa Darmo tidak apa-apa ditinggal sendiri? Takutnya kenapa-kenapa atau mendapat gangguan," ucap Slamet.
"Kamu tidak perlu khawatir, penunggu petilasan sudah mengizinkan," kata Mbah Purwo.
Cukup lama akhirnya mereka menunggu Darmo bertapa. Kedua murid Mbah Purwo memutuskan untuk tidur terlebih dulu. Sementara Slamet dan Mbah Purwo tetap terjaga.
Sekitar pukul setengah satu malam, angin ribut itu kembali datang. Mbah Purwo kemudian berdiri dan berjalan menjauhi bangunan. Slamet mengikuti langkah Mbah Purwo.
"Saya akan menunggu," ucap Mbah Purwo sambil matanya mengarah ke arah petilasan yang tengah digunakan Darmo bertapa di gunung itu.
Tak lama kemudian, muncul sebuah kilatan cahaya berwarna kemerahan dari langit dan seperti menuju untuk mendarat ke arah petilasan itu. Slamet pun terkaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati Dalam Dekapan Jenglot
HorrorCerita horor akibat pesugihan jenglot berdasarkan kisah nyata. Kisah ini ditulis sebagai pengingat, bahwa mencari kekayaan dengan jalan pintas adalah tindakan yang merugikan diri sendiri dan juga orang terdekat. Selain itu, melakukan pesugihan tidak...