Keesokan harinya, Darmo dan Slamet akhirnya berpamitan untuk kembali ke rumah. Mbah Purwo berpesan, jika Darmo sukses, jangan lupa untuk kembali ke Cilacap dan menyisihkan hartanya kepada warga kurang mampu di sekitar gunung tempat pertapaan Darmo. Darmo pun menyetujuinya.
Tiba di rumah, Darmo disambut pelukan Asih. Sementara Slamet langsung berpamitan untuk pulang ke rumah menemui istrinya. Dewi sendiri saat itu tengah jatuh sakit. Sehingga Asih bilang kepada Darmo jika hari itu tak berjualan sate. Karena tak ada yang membantunya di kios.
Darmo pun tak mempermasalahkannya. Dewi kemudian keluar dari kamar lalu menghampiri ayahnya yang sedang duduk mengobrol bersama ibunya di ruang tengah. Ia langsung menggeletakkan kepalanya di paha ayahnya.
"Besok kita cari rumah bu. Kita pindah dari sini, ya nduk!" kata Darmo sambil menatap ayahnya penuh harapan.
"Hah? Uang dari mana pak? Uang yang kemarin bapak berikan ke ibu mana cukup?" kata Asih.
"Bukalah bu," Darmo menyodorkan tas hitam kepada Asih.
Asih kemudian membuka tas itu dan terlihat cukup syok. Matanya berkaca-kaca menahan rasa bahagia becampur tak percaya bisa melihat uang begitu banyaknya selama hidupnya.
"Dari mana ini pak? Ya Allah... banyak sekali," kata Asih.
Dewi pun akhirnya duduk. Merebut tas yang tengah dipegang ibunya untuk ikut melihat isi di dalam tas tersebut.
"Sudah... nanti bapak ceritakan. Sekarang ayo kita antar Dewi ke dokter dan periksa kandunganmu bu. Mumpung ada uang," ajak Darmo.
Di dalam perjalanan pulang, Slamet terus memikirkan Darmo. Ia masih tak percaya Darmo melakukan hal konyol itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Darmo sudah menyetujui perjanjiannya dengan setan itu.
Yang bisa ia lakukan, ia hanya akan terus mengingatkan Darmo untuk tidak tak pernah telat menyediakan sesajen di hari Sabtu Kliwon. Ia khawatir, jika Darmo lupa, maka akan ada malapetaka yang mengancam keluarga Darmo.
Sebulan kemudian, Darmo sudah pindah rumah. Rumah yang ia tempati kini lebih besar dari yang sebelumnya, meski ia dan keluarganya masih mengontrak. Sementara rumahnya yang dulu ia kontrakkan.
Kehadiran anak kedua Darmo, Ahmad, membuat kebahagiaan Darmo semakin lengkap. Terlebih, rupiah demi rupiah terus menghampiri kehidupan Darmo. Pesugihan yang ia jalani tampak tak memiliki efek buruk bagi kehidupannya.
Hingga pada akhirnya, usaha yang dirintis Darmo pun kian berkembang. Usaha satenya semakin bertambah besar. Ia pun membuka cabang di beberapa kota di Pulau Jawa. Ia juga merintis bisnisnya ke bidang lain.
Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, semua bisnis Darmo sukses. Slamet pun ditunjuk Darmo sebagai orang kepercayaan untuk ikut mengelola bisnisnya. Kehidupan Darmo pun semakin melangit.
Ia tak lagi mengontrak rumah. Dibelilah rumah yang sangat mewah lengkap dengan segala perabotannya yang memiliki harga cukup fantastis. Termasuk beberapa unit mobil mewah.
Dengan kehidupan bak Pangeran Arab, Darmo seakan terbuai dengan kehidupan parlentenya. Ia bahkan melupakan akan perjanjian waktu itu. Ia tak lagi berkunjung Cilacap untuk menemui Mbah Purwo dan membantu warga di sekitar gunung, tempat ia menjalani ritual pesugihannya.
Padahal, beberapa kali Slamet sering mengingatkan. Namun, Darmo nampak acuh. Hal ini dipicu karena Darmo meyakini jika pesugihan itu tak akan memberikan efek buruk bagi keluarganya,
Hingga pada suatu saat, Darmo jatuh sakit. Beberapa kali ia masuk rumah sakit, namun penyakitnya itu tak kunjung sembuh. Slamet yang khawatir berinisiatif menemui Mbah Purwo untuk menanyakan perihal sakit yang diderita Darmo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati Dalam Dekapan Jenglot
HorrorCerita horor akibat pesugihan jenglot berdasarkan kisah nyata. Kisah ini ditulis sebagai pengingat, bahwa mencari kekayaan dengan jalan pintas adalah tindakan yang merugikan diri sendiri dan juga orang terdekat. Selain itu, melakukan pesugihan tidak...