Maaf yah tulisan berantakan.
Masih pemula, masih belajar menulis🙏Tilahu.., Tilahu.., Tilahu...
Teriak seorang ibu dari balik gerbang sekolah. Aku sangat kenal suara itu, suara wanita yang telah menghadirkan ku ke dunia. Kumenoleh kearah jendela diikuti beberapa pasang mata temanku.
Kebetulan jendelah kelas menghadap ke gerbang sekolah, jadi aku bisa melihat wanita hebat itu sedang menawarkan ikan kebeberapa orang guruku. Keringat mengucur dari wajahnya yang menghitam karena terik matahari.
"Itu ibumu?" tanya salah seorang temanku.
"Iya." jawabku dengan senyuman.
"Kamu tidak malu ibumu seorang penjual ikan?"
"Tidak. Kenapa harus malu? apa yang salah dengan menjadi penjual ikan? itu halal. Justru aku bangga pada ibuku, dia mampu melakukan pekerjaaan sulit untuk membesarkan ku . Tanpa meminta-minta atau mencuri. Ibuku berjalan keliling kampung dengan keringat, berteriak meski suaranya mulai parau, melangkah dengan semangat walau kakinya terasa letih, namun dia tak sedikit pun mengeluh. Karena ibuku hebat. Ibu hebat tak harus berpangkat kan." Ucapku dengan bangga.
"Tapi..,"
"Tapi apa? Aku tau ibumu seorang guru dan bagimu dia sangat hebat. Begitu pun aku, ibu yang sedang menenteng ikan diluar sana itu bagiku sangat hebat. Setiap ibu pasti hebat di mata anaknya. Karena defini hebat itu berbeda-beda, tergantung cara kita melihatnya."
Meli mengangguk, sepertinya dia paham apa yang ku maksud. Dia hanya sedikit tersinggung dengan kata terakhirku tadi. Pandanganku kembali ku arahkan ke arah gerbang. Kini semua ikan yang ibuku tenteng tadi telah beralih ke tangan beberapa orang guruku.
"Alhamdulillah." Gumamku.
Aku kembali fokus pada suasana kelas. Ku edarkan pandangan ke arah teman-teman ku. Sebagian sibuk dengan aktivitas masing-masing sedangkan beberapa orang tersenyum menatapku. Tapi salah seorang teman laki-laki ku memandang dengan pandangan tak suka. Entah kenapa? Bukankah aku tak punya masalah dengannya.
Yah, sudahlah tak perlu dipikirkan. Sekarang yang harus kupikirkan adalah menyelesaikan tugas ini. Hari ini ibu Lidya berhalangan hadir, jadi dia menitipkan beberapa tugas yang harus kami kerjakan. Dan tugas itu akan dikumpul hari ini.
"Yang ini jawabannya apa yah? Tanya meli mengagetkanku.
"Nomor berapa? "
"Yang ini." Meli mendekati mejaku dan menunjukan nomor yang dimaksud.
"Oh ini, kamu tinggal pakai rumus pytagoras saja." Ucapku sambil menulis rumus yang ku maksud.
"Oh." Meli mengangguk dan kembali ketempat duduknya.
Kini kami fokus menyelesaikan tugas, meski ada beberapa orang yang sibuk mondar-mandir mencari jawaban.
Ting... Ting... Ting...
Bel istirahat menandakan bahwa tugas kami harus telah selesai.
"Yeeehh selesai." Teriak meli bersemangat.
"Waktunya di kumpul." Ucap Fidi sang ketua kelas yang kini mulai mengumpul satu persatu buku kami.
Teman-teman ku pun keluar kelas untuk mengisi energi yang terkuras karena tugas tadi.
"Sila, ayo kekantin." Ajak meli.
"Kamu ajah!" Pintaku.
"Hmm, kebiasaan." Ujarnya sambil beranjak pergi.
Aku memang jarang ke kantin, seolah kantin adalah musuhku. Kata meli aku takut dengan kantin atau lebih tepatnya aku takut uangku habis. Pendapatnya benar, aku selalu diberi uang jajan setiap pagi. Tapi aku tidak ingin menghabiskannya di kantin. Ibuku mencari uang itu dengan sulit. Jadi aku tak ingin menghabiskan untuk hal yang sia-sia, lagi pula aku kan sudah mengisi perut dari rumah. Sebagian temanku bilang kalau aku pelit. Menurut mereka makan itu bukan hal yang sia-sia. Mereka benar, tapi aku juga tak sepenuhnya salah kan. Setiap orang berbeda pendapat. Ini hidupku dan aku hidup pada pendapatku.
Jangan lupa vote yah!