Aku lanjutkan kembali yah
Ibuku sering bilang, jangan cepat terpengaruh dengan ucapan orang, jangan mudah tersinggung, dan jangan pernah menyinggung perasaan orang lain. Apapun hal buruk yang orang lain katakan tentangmu, biarkan melintas begitu saja seperti angin. Angin yang lewat dapat kamu rasakan tapi dia tak bisa membuatmu terluka. Jadi jangan pernah terluka dengan ucapan orang lain.
Yah, bagiku ibu selalu benar dalam segala hal. Dia guru pertamaku, saat pertama kali membuka mata untuk dunia. Menghabiskan waktunya demi mengajariku semua hal. Tak ada yang bisa sesabar dan seikhlas dia dalam mendidik.
Bahkan saat masuk bangku sekolah pun dia tetap berperan sebagai seorang guru. Mengajariku menulis, membaca, dan menghitung di malam hari. Padahal itu waktu istirahatnya, namun dia habiskan untukku.
Mentari pagi ini menyapa kamarku dengan sinarnya. Memintaku segera bangun dari alam mimpi. Kubuka separuh mata untuk mengumpulkan semua kesadaran ku.
"Sila bangun!" Suara lembut wanita hebat itu dari balik pintu kamarku.
"Iya Bu." jawabku dan segera bangkit dari tempat tidur.
Kurapikan kembali tempat tidur yang tadinya seperti kapal pecah. Lalu bergegas mandi dan memakai pakaian.
"Kok pakai training bukan seragam?" tanya ibuku heran.
"Hari ini tak ada kegiatan belajar mengajar, kami hanya akan jalan pagi lalu dilanjutkan dengan kegiatan olaraga di sekolah." Jelasku.
"Oh, ya sudah makan sana! Nanti terlambat." Pinta ibu sambil menata piring.
"Nasi kuning?" Keluhku saat mendapati nasi kuning yang tersedia di meja.
Aku tak begitu suka dengan rasa nasi kuning, lagi pula makan nasi kuning di pagi hari bisa mengundang kantuk.
" Ambil telurnya saja!"
Aku pun mengambil sebutir telur yang sudah direbus mengupasnya dan kusantap dengan nasi.
" Ibu jualan nasi kuning?" tanyaku memastikan.
"Iya."
"Oh."
Begitulah ibuku, saat tak ikan yang di jual waktu luangnya dia gunakan untuk berjualan nasi kuning. Seperti pagi ini.
"Aku berangkat yah, assalamualaikum." Kuraih tangan ibuku dan menciumnya.
"Waalaikumussalam, hati-hati di jalan yah, perhatikan kenderaan kalau mau menyebrang."
"Siap." Aku meletakan tangan di kepala bergaya memberi hormat lalu terkekeh. Ibuku tersenyum melihatnya.
Kulangkahkan kaki dengan semangat menuju sumber ilmu. Butuh beberapa menit untuk sampai.
Ting... Ting... Ting...
Bel tanda apel dimulai berbunyi, semua siswa berbaris dengan rapi sesuai kelas masing-masing. Semua menunggu giliran untuk segera melangkah keluar dari gerbang untuk jalan pagi. Kali ini rute yang kami tempuh menuju kearah kampungku. Perjalanannya cukup jauh tapi terasa biasa bagiku karena itu jarak yang hampir dua tahun ini ku tempuh.
Beberapa temanku mulai mengeluh capek. Aku hanya tersenyum, andai mereka jadi aku mungkin setiap hari mereka mengeluh seperti ini.
Kulihat ibuku masih stay menjual nasi kuning di tempatnya. Kulemparkan senyuman manis ke arahnya. Ibuku juga membalas senyum.
" Wah, ibumu hebat sekali yah, dia bisa berganti-ganti profesi sesukanya, dari penjual ikan ke penjual nasi kuning. Hebat.. hebat.. terus selanjutnya apa? Pemulung?" Dia tertawa sambil bertepuk tangan menatapku dengan tatapan mengejek.
Seketika telingaku terasa panas mendengar ejekannya tadi. Aku tak ikhlas ibu yang kubanggakan di ejek. Padahal tak ada yang salah dengan pekerjaan ibuku. Ingin kutampar mulut kotornya itu. Tapi kulihat pandangan ibu masih ke arah kami. Ibu mungkin tak mendengar perbincangan itu karena jaraknya sudah lumayan jauh dari kami. Jika aku menamparnya ibu bisa melihat dan aku tidak ingin ibu melihatku bertengkar.
"Lalu kenapa kalau ibunya penjual nasi kuning? Apa masalahmu? Setidaknya itu pekerjaan halal, dari pada ibumu pencuri." Meli mendorongnya dan menatapnya marah.
Laki-laki itu terkejut dengan reaksi meli, dia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Beberapa teman yang memperhatikan kami kembali dengan kesibukan mereka, ada yang kembali bercerita, ada yang mengipasi tubuhnya dengan buku, dan ada yang melap keringatnya.
Aku menatap belakang meli penuh tanya. Benarkah ibunya pencuri? Kenapa dia diam saja saat meli berkata seperti tadi atau mungkin dia takut berdebat dengan meli, meli kan anak guru. Meli berbalik dan menatapku, berjalan mundur.
"Tenang saja sila, aku pasti akan selalu membelamu, kita kan sahabat. Jangan pernah malu karena ibumu penjual nasi kuning ataupun penjual ikan. Kita harus bersyukur karena masih diberi ibu. Beberapa anak yang kulihat di tv hidup mereka kurang beruntung mereka tak punya ibu, tak bisa merasakan enaknya masakan ibu dan tulusnya kasih sayangnya." Meli sekilas menatap sinis ke arah laki-laki tadi.
"Subhanallah ukhty meli. Ceramahnya bagus." Aku tersenyum dan mencolek dagunya. Meli tertawa terbahak.
"Sudah berbalik sana, nanti jatuh!"
Meli segera berbalik dan menyesuaikan dengan barisan.
Meli memang anak yang ceplas-ceplos, apa yang ada dipikirannya itu yang dia ucapkan. Bahkan sering dia mengkritik ku dan mengataiku pelit. Kata yang keluar dari mulutnya tak pernah di saring, bahkan beberapa temanku tak menyukainya, kata mereka meli sombong karena ibunya guru.
Tapi kali ini aku benar-benar kagum padanya.Selama perjalanan kuhabiskan bercanda dengannya. Ucapan anak laki-laki tadi kubiarkan jadi angin lalu.
Jangan lupa vote yah!