Siang itu meli memaksaku ke kantin. Katanya cuman sekedar beli minuman dingin, dia tidak akan makan atau berlama-lama di sana. Karena meli paham aku tak menyukai kantin.
"Ayo sila! Cuman sebentar saja setelah itu kita langsung balik ke kelas. Aku malas ke kantin sendiri,
nanti ku traktir minum. Yah, mau yah!" Meli manangkupkan kedua tangan di depan dada, menatapku penuh harap."Baiklah." Aku melangkah pasrah, tak sanggup melihat wajah memelas meli.
"Makasih." Meli menggandeng tangan ku dengan tersenyum."
Suasana kantin begitu ramai, wajarlah itu kantin satu-satunya disekolah kami. Aku dan meli segera ketempat minuman dingin. Meli mengambil dua gelas minuman beku berwarna kuning yang bertulis panther, satunya diserahkan padaku.
Aku segera merogoh uang seribu dari saku kemeja seragam dan menyerahkan pada meli.
"Aku yang bayar." Katanya sambil menolak uang yang kuberikan.
"Jangan nanti aku kesenangan lagi." Candaku.
"Tadi kan aku yang janji aku yang traktir, asal di temani ke kantin, lagian cuman seribu."
Kurebut selembar uang dua ribu dari tangannya dan kuserahkan pada mas tedi pemilik kantin. Kugandeng tangan meli dan kumasukkan uang seribu tadi ke sakunya.
"Ayo balik!" Ajakku.
"Hmm, yuuk!" Ajaknya balik.
Baru saja aku dan meli mau melangkah pergi, tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku dari belakang.
"Hey, anak penjual ikan. Oh bukan, anak penjual nasi kuning." Laki-laki itu tertawa menatapku.
Aku membalas tatapan dengan heran.
"Tumben ke kantin? Punya duit juga atau manfaatin teman."
Kulihat semua orang di kantin memandang ke arah kami, ucapan keras Fiki tadi menarik perhatian mereka. Fiki teman sekelas ku yang sering kali mengejek, ini kali kedua dia mengejekku, dari saat dia tau pekerjaan ibuku.
"Kau, dasar anak..." Segera kutarik tangan meli keluar dari kantin.
" Pencuuriii..." Teriak meli dari pintu kantin.
"Kenapa kau menarikku? Harusnya tadi Fiki kuberi pelajaran, supaya dia tobat dan tidak lagi mengejekku." Meli mentapku dengan kesal.
"Ibunya pencuri?" Tanyaku penasaran.
"Entahlah, aku tak tahu. Tapi mungki saja ibunya pencuri, dia tak pernah membantah kan setiap kali kubilang begitu."
"Jangan memfitnah, ayo ah ke kelas!" Aku menggandeng tangan meli dan melangkah ke arah kelas.
"Kamu tidak marah di ejek Fiki seperti tadi?"
"Marah. Tapi kata ibuku apapun hal buruk yang orang lain katakan, biarlah berlalu seperti angin. Angin yang berhembus dapat dirasakan tapi tak bisa menyakiti."
" Hmm, aku salut pada ibumu."
"Lalu padaku tidak? Padahal tadi aku susah payah menahan marah." Aku pura-pura cemberut.
" Iya, padamu juga." Meli menggelitik ku dan berlari, aku pun ikut berlari mengejarnya.