Cahaya matahari menembus masuk ke kamar, begitu mudah melalui celah dinding yang terbuat dari bambu yang di anyam. Padahal sekarang baru pukul 06.00, tapi matahari sudah mengganggu tidur nyenyaknya.
Rara segera bangun, sebelum alaram ibunya berkumandang. Mengatur tempat tidur dahulu lalu bergegas mandi, sebelum di dahului oleh dua saudaranya. Mereka berdua masih sibuk di alam, entah sedang menjelajah kemana?
Rara berniat membangunkan tapi urung karena kemarin Nina marah, sebab Rara mengganggu mimpi indahnya. Sedang kak Pina, dia orang yang paling malas diganggu saat tidur. Katanya tidur itu adalah ibadah, jadi jangan mengganggu orang yang sedang ibadah.
"Hehehe.." Rara terkekeh sendiri mengingat kata-kata kak Pina kemarin.
Selesai mandi Rara segera mengenakan seragam merah putihnya, menandakan bahwa dia masih duduk di bangku SD, sekarang dia baru kelas 5.
Kak Pina duduk di bangku kelas 6, bertubuh tinggi dan berisi membuatnya terlihat sangat dewasa di usianya. Padahal, hanya terpaut dua tahun dari Rara. Dia gadis yang memiliki wajah cantik khas timur tengah. Tatapan mata kak Pina selalu mampu membuat Rara bergidik, itulah mengapa Rara sangat segan padanya.
Sedang Nina dia adik Rara yang pemarah, itulah sebabnya dia kurus. Gadis tinggi berkulit putih dengan iris mata coklat itu sekarang duduk di bangku kelas 4.
Rara juga punya dua kakak perempuan yang sudah menikah kak Ana dan kak Eno. Kak Ana sudah punya rumah sedang kak Eno dan suaminya serta dua anaknya masih tinggal bersama kami. Rara juga punya dua adik. Caca gadis kecil yang masih belajar merangkak dan Roy cowok berambut keriting yang sudah bisa lari ke mana saja, dia sedang menikmati masa kanak-kanaknya. Laki-laki kedua penghuni rumah setelah ayah.
Rumah ibu Rara besar meski sederhana, hanya beratap daun rumbi dan berdinding anyaman bambu. Tapi itu seperti surga bagi Rara, begitu banyak kehangatan di dalamnya. Meski suara ibunya sering kali mengacaukan.
"Aliheo bongulo! Jamotinao-nao de sikolah timongoli?"
"( Cepat bangun! tidak pergi kesekolah kalian )" teriak ibu dengan dialek bahasa daerah yang kental. Ibu memang sering berbahasa daerah dari pada bahasa baku.Rara yang sibuk memakai kemeja terperanjat dengan teriakan ibunya di depan pintu. Kak Pina dan Nina yang sedang dia alam mimpi pun terlonjak kaget. Nina segera menyambar handuk yang tersampir di kursi, berlalu dengan cepat dari kamar.
Kak Pina duduk mengucek mata masih dengan keadaan mengantuk, berusaha mengumpulkan nyawa yang tertinggal di alam mimpi. Rara pura-pura sibuk mengancing kemeja, ada rasa ingin tertawa melihat reaksi kak Pina tapi urung saat tatapan tajam ibu tertuju padanya.
"Longola timongoliyo japiluomu?"
"( Kenapa mereka tidak kamu bangunkan?)"Rara menunduk tanpa menjawab. Merasa ngeri dengan tatapan tajam ibunya. Untung ibunya segera berlalu dari depan pintu tanpa menunggu jawabannya. Menggendong Caca yang sekarang sedang merengek.
"Alhamdulillah Selamat." gumam Rara mengusap dada penuh syukur.
Rara tidak mungkin mengadu pada ibunya, kasian kak Pina dan Nina, mereka bisa dapat ceramah pagi dari ibu.
" Bagus Rara." ucap Ka Pina berdiri mengacungkan jempol. "Untung tadi kami tidak ngadu. Kalau sampai, waduh, bisa lima lembar ceramah pagi ini." kak Pina tertawa lalu menyambar handuk di kepala Nina. Rara juga ikut tertawa.
"Kenapa?" Nina menatap Rara dan kak Pina penuh tanya, merasa aneh dengan tawa kami.
"Kamu tidak mandi?" Rara menatap Nina yang menyisir rambutnya.
Yang ditanya malah nyengir "Cuman cuci rambut tadi yang penting basah kan."
"Astaga." Rara menepuk jidatnya.
"Kalian ngetawain aku tadi?" Nina menatap kak Pina dan Rara curiga.
"Bukan." Rara menggeleng.
"Tadi ada yang mau ceramah, tapi tidak jadi, jamaahnya kurang, hahaha..." tawa kak Pina meledak. Membayangkan ibunya yang akan berceramah pagi seperti sebelumnya.
Nina menatap kak Pina dan Rara dengan bingung, belum mengerti dengan maksud kak Pina.
"Dikutuk jadi batu baru tau rasa." Rara melangkah ke arah kak Pina dengan gaya hendak mengutuk.
"Hahaha..."
Kali ini Rara dan kak Pina tertawa memegang perut yang sakit.
"Sudah.. sudah!" ucap Rara menghentikan tawa kak Pina. "Bisa terlambat kita kesekolah."
Rara segera memasang sepatu dengan buru-buru. Nina meraih seragam dan bergegas memakainya. Tidak ingin tertinggal oleh Rara.
"Kak Pina kenapa masih berdiri di situ? Mandi sana!" usir Rara. "Mau terlambat? Atau masih nunggu ceramah?" Rara terkekeh kecil meledek kak Pina.
"Perutku sakit tertawa tadi." Sambil memegang perutnya.
"Hehe.. perutku juga." Rara terkekeh kembali mengingat kegaduhan tadi. Hal kecil seperti itu selalu membuat kamar mereka ramai oleh tawa.
"Buruan mandi kak!"
" Kalian pergi saja! Aku malas kesekolah." Melempar handuk ke arah Nina dan kembali berbaring.
Nina mendengus marah "mentang-mentang lebih tua seenaknya melempar handuk, dasar pemalas."
Rara keluar kamar diikuti Nina yang tergesa mengejar. Diteras sudah ramai. Rara meraih tangan ayahnya yang sibuk meneguk secangkir teh, mencium pundak tangan ayahnya, begitu pula dengan Nina. Lalu beralih ke ibu.
"Mana Pina?" Ibu menatap kami berdua menunggu jawaban.
"Di kamar." Tunjuk Nina kearah kamar.
Ibu berdiri melangkah ke kamar, menyerahkan Caca kegendongan ayah. Kucubit pipi cabi Caca yang menggemaskan.
"Auuuu.. cakit." Rengek Caca mendongkak meminta pembelaan ayah.
"Sana berangkat! Nanti terlambat." Usir ayah.
Baru saja Rara dan Nina ingin melangkah tiba-tiba terdengar teriakan ibu dari kamar, seiring dengan bunyi tamparan.
"Didu posikola yio! Awasi Lombu yio longgo monao de sikolah, boliyou ti uatumu. Parcuma olo boti yio mosikolah, jamali wolo bomo'o pulita doi."
"( Tidak usah sekolah kamu! Awas besok ibu lihat kamu kesekolah, ibu patahkan kakimu. Percuma juga kamu sekolah, tidak akan jadi apa-apa, cuma menghabiskan uang saja.)" Teriak ibu geram.Terdengar isakan kak Pina setelahnya
Rara, Nina, sana berangkat! Bisa terlambat nanti." Usir ayah kembali.
Rara menoleh ke arah kamar.
"Rara berangkat ayah."
" Nina juga, dada Caca." Nina melambai ke arah cara dan mengandeng tangan Rara.
Kata-kata yang di ucapkan ibu tadi yang membuat kak Eno dan kak Ana berhenti sekolah. Mereka tidak ingin jadi beban, memilih menikah muda agar lepas dari ibu. Tapi sayang kak Eno bertemu dengan suami pemalas dan terpaksa harus bergantung kembali kepada ibu. Ibu sudah beberapa kali mengusirnya tapi ayah menahannya, lagi pula kak Eno tak punya rumah.
"Kasian kak Pina yah Ra."
Nina memang sering menyebut Rara, dia tak pernah memanggilnya kakak. Rara juga tidak ingin dipanggil kakak, lagi pula usia mereka cuman beda setahun dan Nina lebih tinggi dari Rara.
"Iya."
"Jangan sampai Ka Pina berhenti sekolah hanya karena perkataan ibu tadi."
"Semoga." Rara sangat berharap kak Pina tidak terpengaruh dengan perkataan ibunya.
Jangan lupa vote yah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahitnya Takdir Rara
Short StoryRara Riana senja. Gadis ceria berkulit hitam manis, bertubuh mungil dengan rambut keriting yang selalu di ikat, rambut keriting itu warisan ibunya, kelima saudara perempuannya juga punya rambut yang sama. Rara sangat menyukai senja, mungkin itu seba...