2

16 11 2
                                    

Di sekolah Rara tak bisa fokus, pikiran nya terus membayangkan kejadian tadi pagi di rumah.

Pasti kak Pina sedih, diakan baru masuk kelas 6 dan tinggal setahun lagi. Ibu malah tega mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Kak Pina memang sedikit malas pergi ke sekolah, dia kesusahan bangun pagi. Tapi kak Pina punya otak yang cerdas, kasihan kalau harus berhenti.

Bu Pidya masuk kelas dan mulai mengabsen.

"Adit Prasetya"

" Hadir bu." Jawab Adit sambil mengangkat tangan.

"Rara Riana Senja"

Tak ada tanggapan dari Rara dia masih bergelayut dengan lamunannya.

Bu Pidya menatap dan melangkah ke arah Rara yang sekarang sedang menopang dagunya diatas meja, dengan pikiran yang entah melayang kemana.

"Raraaaaaa..." Teriak bu pidya di depan Rara.

"Iii.. iya Bu." Jawab Rara terbata, dia begitu terkejut dengan teriakan dan kehadiran bu pidya yang tiba-tiba.

"Ibu sejak kapan ada disini?" Rara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, paham bahwa dia salah melontarkan pertanyaan.

"Ma.. maaf bu, tadi saya.." bingung harus mengatakan apa, akhirnya Rara hanya bisa menunduk.

Padahal setaunya tadi di kelas belum ada ibu pidya, kenapa tiba-tiba muncul di depannya.

Semua temannya tertawa menatap kearahnya, seakan Rara sedang melawak sekarang.

"Kalau di kelas jangan melamun!"

"Iya bu."

"Fokus belajar!"

"Iya bu."

Selama pelajaran Rara terus menunduk, malu dengan kejadian tadi.

Ka Pina masih terisak, meski Nina sudah menghiburnya dengan berbagai cara. Katanya dia menangis bukan karena tidak diijinkan sekolah, tapi karena tamparan ibu tadi terlalu keras dan sekarang masih terasa sakit.

Rara menatapnya aneh. Sakitnya tamparan ibu kan bisa hilang, tapi berhenti sekolah sama saja kehilangan masa depan. Entah bagaimana jalan pikiran kak Pina?

"Kenapa? Kenapa menatapku begitu?"

"Kak Pina aneh. Masa menangis karena tamparan ibu, harusnya yang kak Pina tangisi itu kehilangan masa depan."

"Hahaha.." kak Pina malah tertawa mendengar penjelasan Rara.

" Kenapa tertawa? Ada yang lucu?"

" Yah lucu lah, emang masa depan cuman di sekolah? Masih banyak jalan menuju masa depan Ra."

"Emang iya?"

"Iyalah."

Rara terdiam dan berpikir. Apa iya, masa depan tidak harus ditemukan di sekolah?

"Emang di masa depan kak Pina mau jadi apa?"

"Maunya menikah, dan  jadi istri yang disayang suami."

"Aaah dasar." Rara memukul kepala kak Pina dengan bantal, sedikit kesal dengan jawabannya.

"Stooop! Aduuhh Rara sakit, yang dipipi ajah belum sembuh."

Rara berhenti, menarik tangannya dan membuang bantal ke arah Nina, takut dengan tatapan kak Pina, matanya selalu membuat Rara segan.

"Rara.." Nina kesal karena bantal mengenai kepalanya.

"Kenapa dengan kamu? Itu kan masa depan kak pina, terserah dialah." Kata Nina dengan nada kesal.

"Benar tu." Kak Pina mengacungkan jempol ke arah Nina.

Pahitnya Takdir RaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang