Chapter 1

45 3 1
                                    

Siang itu Bright terpaksa mengunjungi salah satu tempat yang akan dibangun sebagai hunian mewah. Proyek yang sudah ia rencanakan sejak dua tahun lalu itu terus tertunda. Penyebabnya adalah negosiasi dengan pemilik tanah yang sulit terpecahkan.

Ia dan dua asistennya, Pond dan Gavin berangkat dari pusat kota pagi buta. Menyusuri jalan berupa tanah merah yang membelah perbukitan yang masih hijau. Butuh waktu tiga jam hingga mereka sampai di mulut gapura desa.

"Pak, para warga sudah menunggu di aula. Kita langsung menuju ke sana." ujar Pond kepada Bright yang duduk di jok tengah bersebelahan dengan Gavin-si asisten kedua.

Empat mobil mewah berjalan berjalan mengular di jalan bebatuan. Selain Bright dan dua asistennya serta supir yang mengantarnya, ada tiga mobil yang berisi pengawal pribadi dan juga sewaan untuk mengamankan proses negosiasi, juga secara tak langsung memberi tekanan kepada warga sekitar.

Sebenarnya Bright tak suka berurusan langsung seperti ini. Karena masih banyak agenda yang harus dia selesaikan ketimbang mengambil alih pekerjaan dari manajer lapangan. Alotnya negosiasi ganti rugi, membuatnya mau tak mau harus datang ke lokasi.

Tanah tersebut tidaklah strategis. Berbentuk dataran tinggi dengan sungai yang membelah, membuat pembisnis properti enggan merubah tempat tersebut. Tapi intuisi Bright tidak pernah meleset. Meskipun posisi tanah yang agak menyulitkan pembangunan, di kaki bukit ada kota yang sedang berkembang dengan pesat. Dan hal itu menjadi salah satu bahan pertimbangan berinvesntasi untuk tempat ini.

Harga jual tanah juga tergolong murah. Tapi setelah warga tahu kalau bukit tersebut akan dirombak lalu dijadikan perumahan mewah, mereka menaikkah harganya. Bright merasa geram, masalahnya perusahaannya dengan penduduk sekitar sudah menyepakati harga awal.

Karena masalah tersebut, rencana pembangunan tertunda. Bright akhirnya datang untuk membujuk mereka. Sekarang ia duduk di hadapan warga yang tanahnya menjadi bagian dari mega proyeknya. Wajahnya terlihat angkuh, dan berwibawa. Dua asistennya, Gavin dan Pond berdiri di kedua sisinya. Dan bodyguard yang ditempatkan di sekelilingnya. Kita tak pernah tahu seseorang akan menjadi lebih beringas ketika berurusan dengan uang.

"Pak, saya tidak setuju dengan harganya." Ucap salah satu warga bertubuh gempal dan kulit cokelat tua menantang Bright.

Bright tak langsung menjawab, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, menatap mereka dengan angkuh.

"Iya, Pak. Saya keberatan. Nenek moyang saya semua dikubur di tanah ini. Ini adalah tanah leluhur kita. Kalian orang kaya jadi seenaknya saja!"

Pond bertukar pandangan dengan rekan kerjanya, Gavin. Bos mereka terlihat santai dan biasa saja menghadapi warga yang agaknya mulai murka.

"Oke, saya setuju, asalkan kalian bisa memberi saya dokumen sertifikat kepemilikan tanah ini. Kalau kalian tidak bisa, maka saya akan membayarnya dengan harga setengahnya." Jawab Bright santai. Bright tahu jika dari seluruh warga yang hadir sekarang, yang memiliki sertifikat tak ada setengahnya.

Orang-orang yang tidak berpendidikan ini ternyata perhitungan sekali soal uang. Bright kira karena desa mereka yang terpencil dan akses sekolah yang susah akan membuat mereka bodoh. Ternyata manusia bodoh juga serakah.

BRAKK!!!

Suara gebrakan meja menggema keras di telinganya. Pengawal pribadinya sudah siap bergerak, tapi Bright menahannya dengan memberi tanda untuk tidak melanjutkan.

Bright tidak suka. Tatapannya tajam ke arah pria muda berbadan besar yang baru saja menggebrak meja.

Cih, tidak punya tata krama.

Ghost Marriage | Bright x WinWhere stories live. Discover now