Chapter 3

35 1 0
                                    

Follow aku ya gaes... biar ndak ketinggalan update... hihihi

---

Bright tidur dengan gelisah. Dalam mimpinya ia bertemu dengan makhluk itu lagi. Si jubah merah itu melayang-layang di udara. Sekarang ia bisa melihat dengan jelas bahwa jubah merah hanya seperti sebuah kain tipis tanpa isi. Tanpa tangan dan kaki. Hanya sebuah kepala dengan rambut hitam panjang. 

Mereka saling berhadapan di sebuah tempat yang tandus dan penuh dengan batu-batu besar. Angin menderu-nderu, membuat si jubah merah meliuk-liuk di terpa angin. Memperlihatkan naga emas yang menghiasi kain itu seperti hidup. Terbang di udara. 

Tidak ada percakapan, hanya saling memperhatikan satu sama lain. Bright tak pernah mengalihkan pandangannya. Ia tidak merasa takut. Hanya rasa penasaran dan banyak pertanyaan. 

Siapa dia? 

Satu detik kemudian, Bright bisa melihat dengan jelas. Ada sepasang mata yang perlahan muncul di wajah itu. Seperti sebuah kanvas yang sedang digambar oleh pelukis. Mata itu lalu terbuka, sepasang bola mata merah yang menyala-nyala. 

Bright kaget dengan perubahan yang tiba-tiba. Ia melangkah mundur. Tak sengaja kakinya tersandung bebatuan. Tubuhnya oleng dan seketika ia mencari pegangan. Dalam mimpinya ia sekarang sedang berdiri di tepi jurang yang dalam dan gelap. Dari dalam kegelapan menggaung suara-suara menakutkan. Seperti teriakan dan rintihan yang campur aduk. 

Bright ketakutan setengah mati. Dengan buru-buru ia  mengalihkan pandangannya pada makhluk yang tak ia ketahui sudah berdiri di hadapannya. Tanpa berpijak tanah dan mengawasi gerak-geriknya dengan mata merahnya. 

Wushh....

Tubuh Bright diterjang makhluk itu dengan cepat. "Arghh!!!" Teriaknya. 

Bright sadar dari mimpinya. Badannya basah oleh keringat. Napasanya tak beraturan. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. Mimpi macam apa ini? Kenapa terasa sangat nyata? Ia bahkan masih bisa mendengar gaung dari kegelapan. 

Tak ingin berlarut memikirkan mimpinya yang aneh, ia lalu beranjak dari tempat tidur. Menyalakan lampu kamarnya dan menelpon asistennya. Pada dering ke tiga, panggilannya baru terjawab. 

"Pagi, bos." Sapa Pond kepada atasannya. Sehabis pulang dari desa yang terpencil, dia masih harus melakukan beberapa panggilan dan menyelesaikan dokumen penting. Pukul dua belas malam, baru ia bisa naik ke atas tempat tidur. Dan sekarang pukul setengah dua pagi, tiba-tiba mendapat panggilan dari Bright. Pantas dia tak mendengarnya, tubuhnya lelah sekali. 

Biasanya Bright tak menganggu istirahan dua asistennya pagi buta seperti ini. Kecuali urusan yang benar-benar mendesak. Dan meeting paling pagi yang pernah mereka lakukan adalah jam empat. Itu karena artis di agensinya membuat skandal yang menggegerkan negara. "Gavin sudah pulang?" tanya Bright. Ya, dia dan dua asistennya tinggal di penthouse miliknya. Untuk memudahkannya jika ada urusan yang mendesak.

"Sudah, Pak. Jam setengah dua belas. Ada apa, Pak?" Pond tak paham dengan atasannya ini. Kenapa tiba-tiba menanyakan rekan kerjanya. Mereka kan tidur di kamar terpisah, kenapa tidak menelponnya langsung ke kamar Gavin? Atau si kebo itu tidak mau mengangkat panggilan dari bosnya karena tidurnya terlalu nyenyak? 

Si bos yang menyebalkan. Rutuk Pond dalam hati. Tapi ia tak rela resign dari pekerjaan ini. Selama menjabat sebagai asisten Bright dia sudah punya tanah puluhan hektar, dan kontrakan puluhan pintu. Lagipula di hari-hari biasa, Bright tidak separah seperti pandangan orang-orang. Dia peduli dengan orangtuanya, dan juga karyawannya. 

Bright menjawab singkat, "Oh." 

"Bukannya kemarin kau bilang Gavin akan menginap sehari di desa itu?" 

Ghost Marriage | Bright x WinWhere stories live. Discover now