Chapter 5

10 5 1
                                    

"Deri, ke rumah sakit." Perintah Samudra yang masih asyik memainkan ipad di tangannya.
Mobil yang Samudra tumpangi membelah jalanan di siang hari. Terik matahari serta langit biru bersih tanpa gumpalan awan putih menjadi pengiring Samudra di perjalanan.
Sudah tiga hari lamanya Samudra tidak menemui Bella. Padahal ia sudah mengatur jadwal untuk bertemu Bella besoknya setelah ia datang menemui Bella di apartemen. Tapi nyatanya itu hanya jadwal karena Samudra harus menuntaskan orang kotor, dan itu berpengaruh pada diri Samudra dimana dia akan mengurung diri setelah melancarkan aksinya. Bukan takut di tangkap, karena itu tidak mungkin. Tapi ada satu hal yang selalu bergejolak dalam tubuhnya yaitu kesalahan dan ketakutan. Rasa itu yang selalu muncul setelah menuntaskan misinya–membunuh. Mungkin terdengar aneh seorang mafia memiliki rasa itu, tapi itulah kenyataannya dan Samudra tidak bisa menampik itu.
"Tuan, sudah sampai." Samudra tidak menggubrisnya ia hanya memandang kosong keluar jendela.
Sudah 25 menit Samudra masih duduk manis di kursi belakang dengan orang kepercayaannya yaitu Deri yang masih setia menunggu tuannya di kursi kemudi sambil ikut memperhatikan tuannya lewat kaca spion.
"Itu dokter Bella," interupsi Deri saat melihat Bella yang keluar di gedung rumah sakit. Sepertinya untuk makan siang mengingat matahari yang berada tepat di atas kepala.
Deri melihat tuannya ke belakang namun sudah tidak ada di tempat, ternyata Samudra sudah berdiri dihadapan Bella mengahalangi langkahnya. Deri tidak tahu saja, saat ia mengatakan presensi Bella, Samudra dengan cepat membuka pintu mobil.
"Anda ingin Check up?" tanya Bella saat Samudra berada di hadapannya.
"Aku menagih janjimu." Bella mengerutkan keningnya tanda ia bingung terkait 'janji' yang laki-laki ini sampaikan.
"Terkait kondisi tubuh anda? Saya akan memeriksanya setelah jam makan siang, Anda bisa tunggu di ruang tunggu silahkan," jelasnya dengan menunjuk ruang tunggu, sungguh berani sekali Bella untuk saat ini.
"Kau pandai dalam berakting ternyata...," mengikis jarak dengan tatapan mengintimidasi pada Bella membuat sang perempuan ketakutan. "Sayangnya aku tidak terbohongi oleh akting itu," sambungnya membuat Bella menegang dan menatap Samudra.
"Ayo kau ingin makan siang? Aku temani." Menarik tangan Bella dan menggenggamnya erat. Sedangkan sang empu diam tak berkutik dan mengerjapkan matanya beberapa kali–takut itu yang Bella rasakan saat ini.
"Aku tidak menepati janji untuk datang menjemputmu tiga hari lalu." Samudra membuka pembicaraan terlebih dahulu sambil menunggu pesanannya tiba.
"Lalu kenapa kau menagih janji padaku?" ketus Bella yang kini menanggapinya dengan informal.
"Karena sekarang kau harus ikut aku."
"Aku tidak pernah berjanji untuk ikut denganmu."
"Kau bilang terserah, ku anggap itu iya," jelasnya.
Bella memaki dirinya sendiri. Sudah diduga bukan jika Samudra tidak main-main dengan perkatannya.
"Aku tidak mau."
"Aku akan tetap memaksa."
"Kau keterlaluan!"
"Itu benar."
Selama menunggu makanan mereka berdua hanya berdebat. Perihal kesepakatan yang tidak masuk akal menurut Bella. Bella pikir dengan tidak hadirnya Samudra selama tiga hari kebelakang itu ia lupa dengan kesepakatan atau lebih baik jika Samudra tidak memunculkan lagi presensinya di kehidupan Bella namun nyatanya itu salah besar.
"Makanlah, kau perlu energi untuk menolak paksaanku nanti." Disodorkannya makanan kehadapan Bella membuat sang wanita di hadapannya ini mendengus sebal. Makan siangnya terganggu dan sudah dipastikan citarasanya sudah hilang semenjak laki-laki ini muncul di hadapannya.
"Kau ikut denganku hari ini," Bella tidak menggubris sama sekali dan masih asyik dengan makanannya. "Kau mendengarku?" sambungnya karena tidak ada respon sama sekali.
"Tentu, aku punya telinga."
"Baguslah."
"Aku tidak akan ikut denganmu." Membuat Samudra menghentikan suapannya.
Bella sangat berani sekali mengatakan itu, meskipun ia tahu bahwa sebesar apapun dia memaksa ujungnya pasti akan mengikuti kemauan Samudra.
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku." Tatapan tajam yang mampu membuat Bella takut. 
"Kenapa kau selalu memaksa?!" sentaknya untuk menetralisir ketakutan.
"Aku tidak akan memaksa jika kau mau menurut, manis."
Bella diam, ia sudah kehilangan cara untuk kabur karena percuma saja ia pasti bisa di temukan. Oh ya Tuhan, rasanya saat ini Bella ingin memiliki kekuatan untuk bisa menghilang.
Bella memikirkan secara matang apa saja kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya mengikuti keinginan Samudra. Pertama Samudra mungkin tidak akan mengganggunya dengan paksaan. Kedua sepertinya ia tidak akan di sibukkan dengan urusan rumah sakit, meskipun ia memiliki tanggung jawab besar dalam berjalannya rumah sakit, tapi bukankah dirinya sudah dijadikan jaminan oleh pemilik rumah sakit? Jadi sudah pasti pikiran Bella bisa lebih tenang. Lagipula hanya mengurus bayi besar satu saja. Baiklah, ada dua kemungkinan yang sedikitnya membuat hidupnya lebih tenang. Bella putuskan untuk mengikuti keinginan Samudra sialan ini.
"Aku akan ke ruangan untuk mengambil barangku, kau tunggu saja di sini," ucap Bella setelah menandaskan makanannya. "Aku tidak akan kabur, tenang saja," sambungnya karena melihat Samudra yang sudah membuka mulut untuk menimpal ucapannya.

***

Bella mengistirahatkan tubuhnya setelah berjalan dari rumah makan menuju rumah sakit, tidak jauh sebenarnya. Hanya saja banyak pikiran yang bersarang di kepalanya semenjak Samudra datang ke kehidupannya.
"Agh! Kenapa aku harus menolongnya saat itu, bukanlah lebih baik dia mati." Bella frustasi dan bangkit dari duduknya. Mondar-mandir di dalam ruangan sambil melirik jam dinding yang waktunya terus maju. Ingin rasanya Bella memiliki kekuatan menghentikan waktu. Oke, semenjak pertemuannya dengan Samudra, Bella selalu berpikir di luar nalar yaitu memiliki kekuatan yang sangat mustahil.
"Masuk saja," ucapnya setelah menjawab telpon.
"Kau akan kemana?" tanya Shafira melihat Bella yang sudah rapih dengan pakaiannya dan tas yang sudah dijinjing Bella.
"Aku akan pergi, tidak lama hanya ada urusan tak masuk akal. Kau bisa mengosongkan jadwalku setiap harinya, aku akan datang kesini jika ada waktu luang," jelasnya yang cukup ambigu.
"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti dengan jalan bicaramu." Shafira mengerutkan keningnya dan masih mencerna perkataan Bella.
"Aku juga tidak tahu apa yang aku ucapkan," terangnya santai.
"Kau aneh sekali hari ini. Apa ada masalah?" Tanya Shafira hati-hati karena Bella cukup sensitif jika Shafira bertanya seperti itu. Bella bilang jika Shafira bertanya seperti itu, itu mengingatkannya pada semua masalah dalam hidupnya. Bella benci itu. Dan Shafira paham itu.
"Diamlah!" Benar bukan? Itu sebabnya Shafira hati-hati.
"Yang jelas aku akan tetap mengurus rumah sakit ini, hanya saja aku tidak sering untuk datang ke sini. Aku ada urusan tak masuk akal. Kosongkan saja jadwalku untuk bertemu pasien, kecuali jika aku menghubungimu lebih dulu," jelasnya membuat Shafira mengangguk paham.
"Baiklah, semoga harimu menyenangkan. Jaga kesehatanmu. Jika kau butuh teman cerita hubungi saja aku," ucap Shafira meninggalkan Bella sendirian.
Bella dan Shafira berteman sudah cukup lama, semenjak Shafira diangkat menjadi perawat dalam membantu Bella mengurus pasien. Keduanya semakin dekat dan menjadi akrab. Saling bertukar cerita terkadang mereka lakukan jika memiliki waktu luang. Layaknya sudah seperti sahabat. Maka tak ayal mereka sudah cukup paham karakter satu sama lain.
"Menyenangkan? Mungkin mulai hari ini hidupku akan seperti di neraka. Dasar manusia brengsek," monolognya dengan makian yang sudah pasti ditujukan untuk Samudra.
"Aku jamin mulai hari ini hidupmu akan seperti di surga, dan aku suka panggilanmu untukku. Brengsek?" interupsi Samudra yang sudah berdiri di ambang pintu yang terbuka.
"Tidak baik menguntit, dan kau cukup keras kepala juga. Bukankah aku sudah katakan untuk tunggu diluar? Kau tidak punya sopan santun masuk ke ruangan orang tanpa permisi."
"Kau lama sekali. Lagi pula aku sudah mengetuk pintu kau saja yang tidak mendengar."
"Jika kau tahu aku tidak mendengar bukan berarti kau bisa seenaknya masuk!"
"Kau cerewet sekali! Ayo cepat sebelum aku menyeretmu." Samudra keluar dari ruangan Bella terlebih dahulu, meninggalkan Bella yang masih mematung menetralisir amarah.
'Kau cukup mengikuti permainannya, ingat!'
Bella mengikuti Samudra setelah menyimpan ponsel ke dalam sakunya.


















To be Continue~

My Sweet MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang