Bella melangkahkan kakinya menyusuri parkiran dimana mobilnya terparkir dengan aman. Memasuki mobilnya dan membelah jalanan untuk menuju tempat istirahatnya-apartemen.
"Apa ini?" monolognya memungut amplop coklat yang tergeletak di depan pintu. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat siapa yang menyimpan ini. Dibukannya amplop tersebut namun isinya nihil tidak ada apapaun baik itu secarik kertas atau segepok uang tunai namun Bella terus meneliti apakah ada tulisan yang mungkin saja tertera di sisi amplop. Tapi nyatanya tidak ada sedikitpun petunjuk.
"Hah, ini hanya sampah, kenapa aku menghabiskan waktu hanya untuk melihat amplop kosong." Menghela nafas berat tanda ia kesal dengan dirinya sendiri. Sebodoh itu.
"Ya itu memang kosong aku sengaja menyimpannya," interupsi suara yang sebelumnya pernah Bella dengar. Sontak Bella membalikkan tubuhnya dan mendapati laki-laki yang beberapa jam lalu bertemu dengannya di rumah sakit. Ya, pasien yang menyebalkan.
"Kenapa kau ada disini?" tanya Bella panik dan melihat ke arah sekitar. Bingung, itu yang dirasakan karena sejak tadi lorong ini kosong dan tidak terdengar ada langkah orang yang berjalan atau menghampirinya. Apakah pasiennya ini hantu?
"Hanya ingin," Jawabnya santai dan memasukkan kedua lengannya kedalam saku celana.
"Dan kenapa kau menyimpan amplop ini dengan sengaja?"
"Hanya ingin," Jawaban yang sama Bella dapatkan untuk kedua kali.
"Lupakanlah. Pergi!" usir Bella dengan mendorong tubuh Samudra namun tidak ada pergerakan sedikitpun.
"Kau tidak menyuruhku masuk? Aku ini tamu," desaknya.
"Aku tidak menerima tamu. Jadi pergilah," kibasan tangan Bella di udara tidak digubris sama sekali oleh Samudra justru ia hanya tersenyum dan menatap Bella lekat.
"Tadi kau bertanya kenapa aku menyimpan amplop ini dengan sengaja. Jadi aku akan memberitahu."
"Aku bilang lupakan lagi pula aku tidak penasaran. Pergilah kau mengganggu istirahatku," ucap Bella dan membalikkan badannya untuk membuka pintu namun tanggannya dicekal.
"Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Ibu dokter," ucapnya terkesan dingin dengan penekanan di kata yang terakhir.
Hal itu tentu saja membuat Bella menegang seketika. Gugup, takut, itu yang Bella rasakan. Posisinya kini sulit untuk berlari. Masuk kedalam peecuma karena bisa saja laki-laki ini mendorongnya dan ikut masuk. Jika mendorong pun rasanya percuma juga karena tenanganya sangat besar dan sudah pasti Bella kalah.
"Baiklah. Jelaskan!" tegas Bella berusaha memperlihatkan keberaniannya.
"Ayo kita masuk," meraih kunci yang dipegang Bella memutar pintu dengan santai dan masuk lebih dulu. Membuat Bella diam menganga melihatnya.
"Kenapa? Kau tidak mau masuk? Tidak usah sungkan lagipula ini apartemenmu." Mempersilahkan sang pemilik masuk. Oke disini perannya menjadi terbalik.
Bella masuk dan membanting pintu sangat keras meluapkan emosinya. Dasar penguntit. Samudra duduk di sofa depan TV tanpa memperdulikan Bella yang sudah menahan emosi melihatnya.
"Jelaskan!" Perintah Bella setelah meneguk segelas air putih yang kini sudah tandas. Menyimpan gelas sangat kasar di meja yang menjadi sekat antara keduanya sebagai ungkapan kekesalannya.
"Kau tidak memberiku minum? Tenggorokanku kering sekali," ucapnya dengan menyandarkan tubuh pada punggung sofa sembari merentangkan kedua tangannya.
"Tidak ada air lagi di rumahku. Itu hanya tersisa satu gelas. Kecuali kau mau minum air keran," hardiknya.
"Kau kasar sekali Bu dokter." Bella mengalihkan pandangannya dan berlalu mengambil segelas air, enggan untuk menatap balik atau bahkan berada di hadapan Samudra yang masih menatapnya lekat.
"Kau mau aku menjelaskan yang mana?" sambungnya dengan tawaran agar memperpanjang waktu.
"Sebenarnya aku tidak tertarik dengan penjelasanmu. Hanya saja aku kasihan melihat orang yang datang meminta segelas air putih," jawabnya dengan menyodorkan air putih yang baru saja ia bawa.
"Berarti kau tertarik denganku?" percaya diri sekali.
"Jangan buang-buang waktu dan silahkan pergi setelah minumnya habis," Samudra menghentikan tegukkannya dan menyisakan seperempat air dalam gelasnya.
"Kau buru-buru sekali Nona." Bella tidak menjawab dan memberikan tatapan sinis agar tamu menyebalkannya tidak betah.
"Baiklah begini, isi amplop itu adalah tanda kerjasamaku dengan pemilik rumah sakit. Karena kau tahu sendiri bukan pemilik rumah sakit itu berhutang besar padaku. Aku bisa saja mengambilnya secara paksa namun aku masih memiliki sedikit nurani untuk membantu orang. Sayangnya, semakin aku memiliki hati nurani semakin dia lupa tanggungg jawabnya," jelasnya.
"Aku sudah bernegosiasi dengannya, dan dia menyetujui itu," sambungya dengan menggantukan ucapan agar sang lawan bicara mengeluarkan suaranya.
"Apa isi negosiasi itu?"
"Kau sebagai direktur rumah sakit harus menjadi dokter pribadiku," ujarnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Sialan!" kesal Bella.
"Jangan mengumpat padaku. Salahkan saja pada pemilik rumah sakit itu."
"Dia tidak akan menyetujuinya kalau anda tidak menawarkan itu," ketusnya
"Aku lebih suka negosiasi yang menguntungkan pihakku saja. Tapi karena itu menyangkut kau jadi aku terpaksa menyetujuinya. Dia mendapat untung karena aku berikan keringanan untuk hutangnya, dan aku untung karena mendapatkanmu."
"Pergilah! Waktumu sudah habis."
"Airku masih sisa seperempat. Jadi aku masih bisa diam disini," tunjuknya dengan dagu pada seperempat air di hadapannya.
Bella kesal, sangat kesal ia megambi kasar gelas itu dan membuang airnya. Bodoh memang, karena itu hanya permainan Samudra namun Bella terbawa perasaan.
"Sudah habis, silahkan pergi," usir Bella. Samudra berdiri dan melangkahkan kakinya menuju pintu, namun langkahnya terhenti saat ia akan membuka pintu.
"Aku anggap kau setuju dengan hasil negosiasiku."
"Terserah aku tidak peduli." Membuka pintu agar tamunya segera pergi.
"Siapkan dirimu, karena aku akan sangat rajin mengunjungimu ke rumah sakit, atau kau yang harus mengunjungiku ke rumah." Pernyataan Samudra membuat Bella naik pitam dan emosinya sudah akan meledak saat ini juga. Emosinya memunculkan kekuatan yang sangat besar hingga berhasil mendorong Samudra keluar dan menutup pintu dengan sangat keras.
"Sialan!" umpat Bella sungguh kesal.
Siapa yang tidak kesal jika dirinya di jadikan jaminan hutang. Padahal Bella tidak tahu menahu masalah hutang itu.
Tak habis pikir, itu yang Bella rasakan. Bisa-bisanya seorang pemilik rumah sakit menjadikannya jaminan hutang. Belum lagi entah bersembunyi dimana orang itu hingga seorang mafia kelas kakap seperti Samudra tidak bisa menemukannya. Jangankan Samudra, Bella saja yang berperan penting di rumah sakitnya tidak pernah melihat batang hidungnya sedikitpun. Saat Bella di angkat menjadi seorang direktur pun yang datang hanya orang kepercayaannya. Begitupun saat Samudra bernegosiasi ingin meminta Bella sebagai jaminan itu tetap dilakukan oleh orang kepercayaannya. Entah takut atau mungkin wajahnya terlalu tampan untuk keluar dari persembunyian, atau jangan-jangan sebenarnya pemilik rumah sakit itu berkeliaran di sekitar sini, secara 'kan dia memiliki hutang pada mafia jadi bisa dipastikan dia juga memiliki cara seperti mafia—menyamar. Bella bergidik ngeri memikirkannya.
Ada ketakutan di dalam diri Bella—itu pasti. Secara dia dijadikan jaminan dan pasti berurusan dengan Samudra. Takut dibunuh itu menjadi ketakutan utama. Meskipun dia bilang terserah dan tidak peduli, tapi Bella cukup paham bahwa seorang mafia tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
Bella menjadi malas untuk keluar dari apartemen, bahkan untuk bekerja sekalipun. Dia sudah pasti akan digiring oleh Samudra untuk menemuninya. Hah, rasanya Bella juga ingin bersembunyi seperti pemilik rumah sakit itu.
"Apa yang harus aku lakukan? Agh, bodoh sekali aku mengatakan terserah. Tapi mau aku mengatakan apapun orang menyebalkan itu akan tetap menemuiku. Sialan!" monolognya di akhiri dengan umpatan.
Keputusan sang pemilik rumah sakit berhasil mengambil waktu tidur Bella di malam ini. Ia hanya bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri mencari tempat ternyaman untuk tidur namun itu nihil karena matanya tidak mau terpejam akibat tidak bisa berkompromi dengan pikiran yang dipenuhi Samudra sialan.To Be Continue~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Mafia
Misteri / ThrillerBella Cenora seorang dokter bedah terbaik sekaligus direktur rumah sakit Widhibrata melabuhkan hatinya pada seorang mafia bernama Samudra Adara. Bukan Bella yang lebih dulu melabuhkan hatinya melainkan Samudra Adara. Keduanya terlibat perasaan saat...