"Bukan aku yang akan melakukan pendekatan dengannya," Yuri tersenyum penuh makna. "Tetapi kau."
Pernyataan barusan sontak membuat Minju melotot, bola matanya hampir saja keluar saking syok. "Kau gila yah?! Aku ini sudah memiliki kekasih! Kau saja sana yang mendekatinya!"
"Berhenti bicara ngelantur," Yuri memijit pangkal hidung sebelum balas menatap tajam gadis di sebelahnya. "Sadarlah, kau pikir hubungan percintaan jarak jauh semacam itu akan bertahan lama? Lagipula kau tak tahu kan siapa yang berada di balik akun Yujin itu? Bisa saja dia seorang pria tua gendut, berkumis, dan pedofil. Atau Kakek-kakek tak sadar umur yang menyukai gadis muda sepertimu. Kau tidak takut?"
Minju mendengus keras-keras, sorot matanya menyatakan seberapa dia tak setuju dengan tindakan Yuri. Okay, kalau terus mendapat ejekan dan nasihat bodoh yang cukup membuat telinganya berasap, Minju tak terlalu mempermasalahkan. Dia seorang gadis millenial yang mana selalu terbuka pada pendapat apapun, meski berbeda dengannya. Dia memaklumi sikap Yuri yang selalu menunjukkan perangai menyebalkan alih-alih memberi dukungan terhadap hubungannya. Dia sakit hati setiap kali dianggap bodoh hanya karena selalu tersenyum ketika bertukar pesan dengan sosok 'Yujin' yang dikenal lewat dunia Roleplay. Tetapi ini sudah kelewat batas, mencampuri urusan orang lain apalagi sampai memaksakan kehendak bukanlah contoh teman yang baik. Tindakan Yuri benar-benar masuk dalam kategori tersebut.
"Sudah cukup. Aku pergi saja." Minju tak peduli kalau ponselnya masih disandera oleh Yuri. Dia bisa menghubungi Yujin lewat perangkat komputer nanti saat di rumah, yang berarti dia harus bersabar hingga bel pulang berbunyi.
Sebelum rencananya terlaksana, sebelum kakinya menjauh barang selangkah, sebelum satu detik terlewat, Yuri dengan segala otak jenius kebanggaannya menahan kepergian Minju dengan cara liciknya.
"Well, Chaewon, ada yang ingin Minju tanyakan padamu mengenai Basket. Kau punya waktu luang kan?"
Mendengar itu, Minju tentu saja langsung berbalik badan. Dia menatap sengit ke arah Yuri, yang tentu saja diabaikan. "Tida—"
"Oh, tentu saja boleh~ Bagaimana kalau sepulang sekolah? Sebentar lagi bel masuk berbunyi." Chaewon tersenyum ramah ke arah Minju sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna biru tosca. Sekali lagi, tindakan sepele semacam itu mampu membuahkan sorak sorai para penonton yang entah kenapa masih berdiri setia di sekitaran lapangan meskipun permainan bola basket sudah berhenti beberapa saat yang lalu.
"Apa sih? Tidak mau," tukas Minju seraya berlalu dari lapangan basket. Meninggalkan dua orang yang masih bercakap-cakap di belakang sana.
"Hehehehe.. Maklumi saja sikapnya tadi, dia terlalu malu untuk mengaku di depanmu," jelas Yuri tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
"Tidak apa-apa kok," balas Chaewon masih dengan senyuman melekat pada wajahnya. "Untuk tempatnya, kira-kira di mana?"
Yuri mengerutkan pangkal hidung, memikirkan tempat dengan nuansa yang cocok untuk berkencan, tetapi tak menimbulkan kesan canggung. Tempat yang tidak terlalu kentara untuk pendekatan hubungan. "Bagaimana kalau Cafe di pertigaan jalan depan?"
Chaewon menggangguk, kemudian merapikan barang-barang seperti handuk kecil —yang sudah cukup basah— dan botol minuman, memasukan ke dalam tas olahraga kecil. "Baiklah, biar aku yang traktir."
"Sungguh?" Wajah Yuri nampak berseri-seri dengan binar-binar kecil memenuhi kedua bola mata. "Minju pasti akan sangat senang~"
"Ya sudah, sampai ketemu nanti." Chaewon melangkah pergi sambil melambaikan tangan ke arah Yuri. Tas olahraga berbahan parasut bergoyang seiring dengan ayunan kaki yang kian menjauh.
Sepeninggal pemuda itu, Yuri masih berada pada tempatnya, menyusun rencana yang akan dia gunakan nanti.
"Ini pasti akan berhasil.."####
"Ah~ lelah sekali, apa masih lama?"
Seorang pemuda tampan berjalan lunglai lalu menjatuhkan tubuhnya pada sofa panjang di pinggir ruangan. Dia melonggarkan dasi yang mengikat pada batang leher. Pemotretan kali ini memiliki konsep Pria metropolitan, kesan sexy serta maskulin paling ditonjolkan dalam pengambilan gambar. Tubuhnya yang atletis menjadi sorotan utama, tanpa kain menutupi pahatan eksentrik dari lekukan-lekukan otot juga guratan urat yang menonjol. Bertelanjang dada tetapi masih mengenakan dasi. Potret yang mampu membuat siapapun akan merasa kegerahan hanya dengan melihat, itupun secara tidak langsung.
"Ini minumnya." Yena menyodorkan botol air mineral yang langsung di tenggak dengan rakus oleh Yujin. "Sebentar lagi akan selesai. Kau hanya perlu memakai dua pasang pakaian lagi lalu jadwalmu kosong sampai malam," jelasnya sambil menggeser layar IPad, mengecek jadwal harian Yujin.
"Ini pemotretan paling lama, kau sadar kan?" desis Yujin. "Apa ini yang namanya agensi ternama? Kenapa sangat tidak profesional?" Yujin sengaja mengeraskan suara agar dapat didengar oleh staf dari agensi sebuah majalah yang tengah menyewanya untuk pemotretan.
Mendengar itu, Yena segera merebut botol minum yang masih berada dalam genggangam Yujin dan langsung memukulkan tepat di kepala pemuda itu.
"YAK!"
Teriakan keras dari si model tampan cukup membuat seluruh orang di ruangan serempak menoleh ke asal suara. Bingung dan penasaran. Beberapa orang juga nampak berbisik satu sama lain, menduga-duga apakah akan terjadi pertikaian antara Manajer dengan Model tampan tersebut, sebagian kecil malah sudah mengeluarkan ponsel mereka. Tak ingin ketinggalan momen apapun, barangkali kedua orang lelaki itu sebentar lagi akan saling adu jotos.
"Perbaiki ucapanmu itu kalau tak mau dianggap tidak profesional." Si Manajer lantas melemparkan kembali botol minuman yang jatuh tepat di atas pangkuan Yujin. "Model macam apa yang selalu mengeluh, dulu bahkan kau biasa saja ketika hanya tidur 3 jam sehari." Yena menendang kecil kaki Yujin, secara tak langsung menyuruh model 'topless' itu agar menyisakan ruang untuknya duduk.
Yujin —dengan wajah cemberut— menggeser pantatnya beberapa senti sembari masih mengelus bekas pukulan dari botol minuman. Bagaimana tidak sakit, air di dalam botol itu masih tersisa setengah. Massa benda cair yang berada di dalam wadah bisa membuat kepala benjol.
"Itu kan dulu, jangan bandingkan dengan sekarang," sergah Yujin. Baginya pengalaman pertama memang harus dilalui dengan penuh perjuangan, tidak pilih-pilih pekerjaan juga tidak protes saat jam tidur menjadi lebih sedikit. Tetapi sekarang semuanya sudah berbeda, dengan kerja keras yang telah dia lakukan di masa lampau harusnya saat ini jam kerjanya menjadi lebih fleksibel. "Lagipula, dalam perjanjian kita hanya bekerja selama 3 jam saja. Itu berarti sekarang tidak masalah kalau aku pulang."
"Ya benar."
Wajah yujin langsung berubah cerah setelah mendengar pembenaran dari sahabat yang merangkap sebagai manajernya tersebut.
"Tetapi mereka sudah membayar dua kali lipat," tutur Yena sambil menunjukkan layar ponsel tepat di depan wajah si model tampan, sebuah bukti pembayaran yang telah masuk beberapa saat lalu terpampang jelas. "Kau tak bisa pergi seenaknya," sambungnya lagi.
"Sial," umpat yujin dengan suara lirih. Dia tak ingin kepalanya menjadi korban pemukulan lagi. "Kalau begitu mana ponselku?"
Benda pipih berwarna hitam langsung di rebut oleh Yujin tepat setelah Yena mengeluarkan dari dalam tas selempang coklat tua miliknya.
"Astaga.." Yena hanya bisa menggeleng pasrah melihat perilaku Yujin yang langsung mengucilkan diri ketika berhadapan dengan gadget kecil tersebut. "Jadi ini alasanmu membawa ponsel ke sini? Untuk berhubungan dengan kekasih gaibmu?".
.
.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROLEPLAY WORLD | JINJOO ( Yujin x Minju )
FanfictionBagaimana jika pasangan RP kita adalah idol sungguhan? [Warning!] Gender-bender content.