8

695 71 5
                                    

"Dadaku.." Yujin meremas dada sebelah kiri. "Dadaku terasa sesak..."

"OH YA AMPUN!!" Ekspresi Yena menjadi sangat cemas. Dia sekonyong-konyong mengeluarkan ponsel miliknya, mengetik beberapa digit angka yang membuat layar ponselnya bergetar. "Halo! Rumah sakit—"

Sebelum perkataan lanjutan keluar, Yujin dengan cepat berdiri lalu menyambar ponsel dari tangan Manajernya. Menekan tombol berwarna merah dan menatap tajam ke arah pria yang hanya mematung dengan wajah panik bercampur bingung. "Kau tidak bisa membaca situasi yah?!"

Mendengar dirinya seolah disalahkan Yena tidak bisa diam saja. Dia merebut kembali ponselnya. "Kau tidak lihat?! Ini namanya membaca situasi bodoh!"

"Kenapa kau menghubungi Rumah sakit?!"

"Lalu aku harus menghubungi apa?!" Yena semakin berapi-api. "Pemadam kebakaran ?! Kau tidak mungkin berharap aku akan diam saja melihat seseorang sedang sekarat bukan?" Nada bicaranya terdengar menyindir, atau memang begitu.

"Aku bukannya sedang sekarat. Aku hanya... bukan.." Yujin menggeleng beberapa kali, yang terakhir terlihat lebih lemah. "Tidak tahu kenapa dadaku terasa sesak tiba-tiba. Seperti seseorang telah merebut hal yang paling berharga darimu."

"Oh bagus!" Yena mengangkat kedua tangannya ke udara. Barangkali begitu caranya menyalahkan keadaan, menyalahkan langit, menyalahkan kebodohan si model tampan ini. "Harusnya kau meningkatkan kemampuan beraktingmu itu, dan bukannya bermain peran konyol di internet. Itu membuat pikiranmu kacau."

"Diamlah.." Satu kata sebagai perwujudan sikap defensif, Yujin sama sekali tak menyangkal ucapan Yena. Karena, kalau boleh jujur ucapan si Manajer itu tidak sepenuhnya salah. Yujin lah yang tidak ingin mengiyakan secara terang-terangan. Itu bisa menghancurkan harga dirinya. "Kau sama sekali tidak membantu."

Yena mendengus, namun dia juga cukup prihatin dengan Yujin. Terutama pada kejiwaan pemuda itu. Banyak dampak negatif yang disebabkan oleh kecanduan bermain internet. Sebagian orang menjadi sosiopat —tidak peduli dengan sekitar— sebagian lagi malah bersikap agresif. Tetapi untuk kasus Yujin bisa dibilang lain. Pemuda itu bukanlah sosiopat. Karirnya sebagai model dan aktor terbilang cukup sukses meski usianya muda, 26 tahun.

Hanya saja, kadang-kadang Yujin memang menunjukan sikap agresif, terlebih saat Yena membahas kekasih RP nya. Wonyoung Jang. Yang mana itu benar-benar akun palsu, seseorang lain berada di balik akun tersebut. Siapa saja bisa menjadi siapa pun. Seorang remaja bisa bermain peran sebagai bintang ternama, aktor, aktris, idol bahkan sekedar animasi dua dimensi. Tidak ada peraturan yang mengikat, kebebasan adalah satu hal yang dijual dalam dunia Roleplay. Termasuk umur, jenis kelamin, dan bagaimana sifat sesungguhnya.

Itulah yang Yena khawatirkan. Tidak ada yang tahu jika seseorang dibalik akun Wonyoung adalah nenek tua kesepian, lelaki hidung belang, para penjahat kelamin. Siapapun bisa menjadi siapa saja.

"Tumben sekali kau tidak bermain ponsel?" tanya Yena tanpa menatap Yujin. Makanan jepang di hadapannya lebih menarik daripada seorang pemuda berwajah sendu. Oh, itu bisa membuat nafsu makannya hilang.

"Ponselku mati." Yujin merapatkan alis-alisnya saat dia meluruskan pandangan ke arah depan. Sayangnya, Yena masih fokus melahap sushi. "Seseorang meninggalkannya di atas meja yang basah."

"Oh.." Yena sepertinya belum tahu jika nyawanya sebentar lagi terancam. "OH!" Dia baru saja sadar.

Tetapi sudah terlambat. Yujin bertindak lebih cepat, memasukan satu sashimi yang dipenuhi oleh wasabi ke dalam mulut Yena. Membungkamnya, memaksa si Manajer untuk mengunyah dan menelannya.

"Rasakan itu!"

.
.
.
.
.

Lembaran tisu yang tadinya berada di tangan Chaewon, berpindah pada Minju. Gadis itu merebutnya, secara cepat tanpa izin lebih dulu. "Kau tidak perlu melakukan itu," ucapnya di sela-sela membersihkan noda kecoklatan. Dessert keparat itu banyak membuatnya terlihat kotor, meski rasa manis memang tidak bisa disalahkan.

Chaewon tersenyum . Entah sudah berapa lama bibirnya tertarik. Minju rasa, pemuda ini sudah seperti robot penyambut tamu yang biasa di letakan di gerbang depan arena bermain.

"Aku tidak bisa mengabaikan sesuatu yang sudah terlanjut ku lihat."

"Berusahalah.."

Chaewon menegakkan tubuhnya, ekspresi pemuda itu telah beralih menjadi sayu. Seolah-olah memancing rasa iba dari gadis di depannya. "Apa kau keberatan dengan yang ku lakukan?"

'Sangat. Aku sangat keberatan. Ini salah, tidak seharusnya aku mendapat perlakuan seperti ini dari orang lain.'

"Aku tidak mau lebih merepotkanmu.." Harusnya bukan kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Sopan santun sialan ini telah membuat Minju tidak bisa mengutarakan ketidaksukaannya dengan lantang. Terkecuali pada Yuri. Mungkin dia hanya bisa menjadi dirinya sendiri pada orang-orang yang cukup lama bersama dengannya, seperti si gadis berambut sebahu yang menyebalkan.

Senyum Chaewon mengembang lebih lebar dari sebelumnya. Ini titik dimana Minju menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan. "Tidak sama sekali. Justru aku senang melakukannya.."

Baiklah.. Ini terdengar cukup intim di telinga Minju. Dia harus cepat-cepat mengalihkan pembicaraan sebelum obrolan menuju ke arah yang tidak diinginkan. "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Chaewon memiringkan kepala (berusaha terlihat imut rupanya) sedang mengingat-ingat percakapan mereka. Walau ditarik garis lurus ke belakang, mereka tidak berbicara sejak bertemu di sekolah. "Ah benar.." seru pemuda itu tiba-tiba. Rupanya telah menemukan potongan ingatan yang menghilang. "Kenapa aku tidak ikut klub Basket?" Pertanyaan itu tak lebih dari pengulangan. Seakan meminta Minju untuk mengiyakan.

"Kau punya keahlian di sana. Aku melihatmu sering memasukan bola ke dalam keranjang," tutur Minju sambil sesekali melahap dessert box cokelat dalam gigitan lebih kecil dari sebelumnya.

"Benarkah?" Wajahnya lebih berseri-seri dan deretan gigi putihnya memantulkan cahaya matahari di luar sana, lebih cerah. "Aku senang kau memperhatikanku~"

Minju hampir saja tersedak. Lalu tangannya tergesa-gesa meraih gelas plastik berisi cairan cokelat dan kotak-kotak batu es. Sebelum mengernyitkan dahi ketika menyadari itu adalah es kopi, dan bukannya susu dingin. "Bukan aku saja, seluruh orang memperhatikannya.." Dia menegaskan lagi sambil memasukan suapan kue cokelat ke dalam mulutnya. Lebih banyak. Untuk menetralkan rasa pahit yang mulai masam di seluruh permukaan dinding-dinding mulutnya.

"Setidaknya kau juga~"

Minju tidak tahu harus merespon bagaimana selain mengangkat bahu. Tidak mengiayakan, tidak juga mengelak. Sebentuk respon netral tanpa memberikan kesan negatif pada lawan bicara. Sejujurnya dia tak terlalu pandai mengobrol secara santai dengan orang asing. Dalam artian, orang yang berada cukup jauh dari jangkauan seorang 'teman'. Tetapi dia bukanlah seorang introvet, Minju secara sadar membantah jika orang lain menganggapnya demikian.

Hanya tidak bisa terlalu lama memasang tampang lain yang bukan merupakan kepribadiannya. Minju tidak bisa memasang muka kedua, memunculkan perasan yang bertolak belakang dengan sesungguhnya. Meski istilah bermain peran, Roleplay, kebanyakan orang disana lebih menunjukan kepribadian asli daripada ketika di dunia nyata.

"Hanya itu saja yang kau ingin bahas mengenai Basket?"

"Aku tidak tahu hal lain tentang basket, tidak tahu harus bertanya mengenai apa." Minju pikir dengan cara ini dia bisa melarikan diri dari topik pembicaraan bersama si pangeran sekolah (sebutan dari Yuri).

"Kalau begitu.." Chaewon mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku bisa ajarkan apapun yang kau mau, mengenai Basket."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ROLEPLAY WORLD | JINJOO ( Yujin x Minju )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang