Mungkin sejak awal semesta sedang memberikan serpihan pantun jenaka di dalam kehidupan Ariella dan ditambah dengan berbagai kejutan tak terduga seperti insiden kapal pesiar yang dinaiki ayahnya nyaris tenggelam hingga kehidupan masa kecilnya yang bisa dibilang menyenangkan tiba-tiba berubah total kala krisis ekonomi melanda. Hidup itu memang nyatanya seperti roda, akan selalu berputar. Namun tidak hanya tentang perekonomian, bisa saja rusaknya koneksi antara anak dengan orang tua hingga urusan tentang perceraian.
Namun kali ini dunianya terguncang teramat sangat, ketenangannya terusik dan bahkan ia sampai melangkah sedikit jauh dari kenyataan. Catatan pertama, Ariella tidak pernah mempercayai mitos, hal itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya ingin menampar diri jutaan kali agar setidaknya tersadar bahwa apa yang ia alami adalah nyata, bukan fana.
Ariella ingin sekali membuang dirinya jauh-jauh pada daerah tak berpenghuni, sebab kesannya lucu, ia ingin menertawakan diri sepuas mungkin. Ia masih tidak bisa memercayai apa yang ia alami, terutama hal itu menyangkut dirinya—tubuhnya. Sepasang kakinya berubah menjadi ekor hanya karna terkena oleh air, dia jelas merasakannya, melihatnya dan bahkan menyentuhnya sebab ia masih tak bisa menerima kenyataan. Ya jelas, terutama bagi dia yang memegang teguh adanya prinsip sihir itu tidak ada, sihir itu hanya ilusi.
Sebelumnya Ariella tidak pernah mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya dengan gegabah, setidaknya mengambil jeda seharian untuk memikirkan dan menimang-nimang kemungkinan risiko yang akan terjadi. Tapi malam ini dia mendadak berubah tolol dan menjadi sosok orang teramat panik. Gadis itu tidak bisa berpikir dengan jernih hingga secara tiba-tiba menempatkannya dalam sebuah kamar kosong di dalam rumahnya, lengkap dengan setelan pakaian milik ayahnya.
Malam Ariella berubah menjadi sangat lama, detik berubah menjadi menit dan menit berubah menjadi jam. Di dalam setiap detik yang mengerikan itu, Ariella terasa ditampar oleh kenyataan dengan amat perih, membuatnya sukses merintih. Ini bukan takdir yang ia pilih, tapi bukannya bisa lari dari semua ini, satu satunya hal yang hanya ia bisa lakukan hanya menerima sebab semesta tidak pernah mau peduli.
Setelah usai membersihkan diri, berganti pakaian dengan hanya sebuah bathrobe berwarna putih polos yang panjangnya nyaris menyentuh mata kaki. Sementara Gio, gadis itu sediakan setelan berwarna abu-abu, kaos lengan pendek dengan boxer. Sebenarnya Ariella sedikit takut untuk memberikan setelan pakaian itu pada Gio, lantaran semua itu adalah milik ayahnya. Dia tidak memiliki waktu untuk membeli pakaian pada pertengahan malam seperti ini dan satu-satunya solusi yang bisa ia pikirkan adalah meminjam pakaian milik Ayahnya.
"kutukannya terbagi dua."
Perkataan konyol jenis apa lagi itu, terlalu konyol sampai setiap Ariella mengingatnya lagi, dia tidak percaya akan realita yang ia hadapi saat ini.
"Jadi tolong, siapapun dirimu, bagaimana caraku agar terbebas dari semua hal gila ini?"
Dia hanya melirik sekilas dan menggeleng. "Aku juga tidak tahu."
Jelas bukan jawaban yang ingin Ariella dengar dan hal itu membuatnya semakin kebingungan, kalap dan panik bersamaan. Rasanya sedang diobrak-abrik, mengerikan. Sukses membuat Ariella seakan kehilanan oksigen pada sekelilingnya.
"Jadi, begini, oh ya, siapa namamu?" tanya Ariella dengan sedikit memiringkan kepalanya, menyandarkan tubuh pada dinding kamar.
"Sejujurnya, aku lupa. Aku lupa siapa namaku, semenjak aku menjadi siren, aku lupa semua mengenai diriku saat menjadi manusia," jelasnya dengan wajah meyakinkan. "Tidak penting, panggil aku apa saja, aku juga tidak akan keberatan."
"Zergio bagus. Kau suka?" Sebuah nama yang mendadak terlintasdipikiran Ariella, nama yang sama dengan anjing miliknya yang mendadak menghilang 3 tahun lalu. Tidak masalah, toh nama Zergio juga masih sama bagusnya dengan nama manusia pada umumnya. Mendengar hal tersebut lelaki berambut pirang itu mengangguk dan tampaknya dia setuju dengan nama yang Ariella beri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] HELLO MY SIREN
FantasyAriella Beatrice tidak pernah percaya mitos. Namun sebuah kilatan kejadian menusuk dadanya begitu dalam hingga hendak membuatnya tenggelam bersamaan dengan realitas magis yang ia terima. Fantasi yang berubah nyata, menenggelamkannya dengan suka cita...