Bab 1. Ketuk Pintu

24 16 1
                                    

*Hanya Fiksi belaka*
*Jangan baper apa lagi laper...hehe*

*Jangan lupa kritik dan sarannya*
*Selamat membaca*

#ExclusiveLoveRinz
#ExclusiveWritingChallenge

***

"Setiap hati manusia, pasti ada masanya dirinya merasa terpuruk dan merasa tersakiti. Adakalanya, merasa sejuk dan tenang. Senang dan bahagia dalam hidupnya."

***

Setelah menghadap Pak Kiai, Aku yang masih duduk di teras rumah Pak Kiainya bersama Ahmad dan beberapa temannya. Tanpa dia sadari,  Pak Kiai sedari tadi memperhatikan dirinya. "Mas Basith," panggil Pak Kiai.

"Njeh, dalem." jawabku.

"Tadi kamu kenapa? Tidak konsen begitu?" tanya Pak Kiai.

"Saya rindu sosok Ayah, Pak Kiai," jawabku sembari menunduk.

"Doakan saja beliau. Apa kamu pernah bertemu Ayahmu?"

"Belum pernah sama sekali, Pak Kiai. Sedari saya bayi," jawabku menunduk menahan air mata yang mau menetes lagi.

"Begini Mas, kamu doakan saja Ayahmu. Bagaimanapun juga beliau tetap orang tuamu, mintakan ampun kepada Sang Kuasa atas semua dosanya." lanjut Pak Kiai.

"Kalian juga, Mas Ahmad, Mas Maki dan Mas Wahyu. Hibur Mas Basith, bukan malah ngeledek kalau ada teman sedih."

"Njeh, Pak Kiai." jawab mereka.

Keesokan paginya, seperti biasa aku membantu teman-teman di dapur pondok. Sebelum memulai kegiatan seperti biasa. Daripada diriku diam di kamar asrama, aku memilih membantu di dapur.

Mentari menyapa dengan senyuman termanis. Menemani langkahku menuju sekolah. Menyemangati diri agar fokus sekolah. Mengejar cita dan cinta dari Sang Maha Mengetahui segala gerak hamba-Nya.

Saat istirahat, aku ditemani oleh tiga sahabat yang terkadang buat hati gondok karena ulah usil mereka tapi hati ini kadang rindu. Kali ini kami berempat duduk di salah satu bangku di depan kelas. Mas Maki, yang terlihat sedikit serius dengan buku di tangannya, Mas Ahmad yang bodi amat dengan aneka ulangan dan Mas Wahyu yang khusyuk komat-kamit. Entah, dirinya sedang hafalan atau sedang berdoa.

"Mas Basith, njenengan tidak hafalan?" Maki menyenggol lenganku.

"Iya, ini aku juga mau hafalan." jawabku.

"Sudah belajar, jangan melamun saja." celetuk Ahmad.

"Iya, Mas." ucapku.

Bel berbunyi, bismillahirrohmanirrohim. Ucapku dalam hati.

"Ya Allah, semoga bisa menjawab soal dengan mudah," ucapku.

"Aamiin," jawab ketiga sahabatku.

"Yuk, masuk. Semangat ujian!" kata Wahyu.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa ujian semester hari ini bisa kulalui dengan baik. Masih ada tiga hari lagi ujian semester baru usai. Konsentrasi dan konsentrasi, agar semua berlalu dengan indah.

Aku ingat nasihat Kakek dulu. Denganku masuk pesantren, membimbing diri agar lebih belajar mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Tidak bermain lagi-lagi, harus fokus dengan apa yang di cita-citakan.

Malam menjelang, selesai salat isya. Tadarus bersama para santri sembari menunggu Pak Kiai Mudaris datang untuk mengisi kajian malam ini. Diteruskan dzikir dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Pukul delapan malam. Saatnya kajian dimulai. Kami semua siap menyimak apa yang akan di sampaikan oleh Pak Kiai Mudaris hari ini.

"Semoga tidak terlalu lama," bisik Mas Ahmad, "aku belum belajar materi matematika," lanjutnya.

Menyingkap Masa Lalu [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang